33.2 C
Jakarta

Makna Kunjungan Ketua DPRD Bangka Tengah ke Harakatuna

Artikel Trending

Milenial IslamMakna Kunjungan Ketua DPRD Bangka Tengah ke Harakatuna
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

“Posisi beliau sekarang di Dirjen Lapas Veteran,” tiba-tiba pesan WhatsApp masuk, dari Mas Heri, asisten Ketua DPRD Bangka Tengah, Me Hoa. Perempuan yang sudah tiga periode menjadi anggota dewan, dan sudah setahun menjadi ketua definitif daerah, itu sebenarnya sudah ingin berkunjung sejak dulu. Pada rencana sebelumnya, terjadi reschedule, sebab kepentingan yang lain. Kunjungan Ibu Me Hoa pada Sabtu (3/10) kemarin, di Kantor Redaksi Harakatuna, tentu, merupakan kunjungan istimewa.

Bu Me, sapaan akrabnya, sesuai perjanjian, tiba di Kantor Redaksi pada jam 14.50 WIB. Bersama dua pendampingnya, dirinya menjelaskan, kunjungan tersebut adalah dalam rangka peningkatan kompetensi. Banyak yang diulas, sharing, bersama para tim Harakatuna. Sebelum itu, katanya, ia juga sudah pernah mengunjungi Dewan Pers. Koordinasi dengan persatuan wartawan Indonesia (PWI) pernah juga dilakukan, untuk mengetahui, misalnya, status kredibilitas sebuah media.

Menurut Bu Me, tidak sedikit media abal-abal, dengan penulis yang abal-abal pula, berkeliaran. Di Bangka Tengah, daerah dirinya tinggal, beberapa tulisan dilahirkan untuk menyudutkan, memelintir, bahkan memeras orang tertentu. ‘Menulis karena uang’ boleh jadi tidak bermasalah, tetapi ‘memeras melalui tulisan agar dapat uang’ itu tidak dapat dibenarkan. Bu Me juga mengatakan, narasi Islam garis keras juga mengganggu. Di situ ia merasa, pemuda butuh edukasi dalam banyak persoalan sosial.

Makna Kunjungan Ketua DPRD Bangka Tengah ke HarakatunaDikunjungi seorang pimpinan DPRD seperti Bu Me, tidak saja merupakan wujud apresiasi kalangan non-Muslim terhadap Harakatuna, melainkan juga menjadi ikhtiar kerja sama memberantas ideologi-ideologi riskan terhadap Pancasila. Hari-hari, terutama setelah kasus indoktrinasi peserta didik di Bangka Belitung, beberapa hari yang lalu, narasi Islamisme menguat, dan ada di pelbagai lini. Melalui kunjungan Bu Me ke Harakatuna, diharap, kasus serupa tidak terjadi di Kabupaten Bangka Tengah.

Harakatuna menjadi satu-satunya media keislaman yang Bu Me kunjungi, dalam tur kali ini ke Jakarta. Ia sharing banyak hal dan mengapresiasi konsentrasi Harakatuna, ikhwal kontribusinya terhadap kontra-narasi radikalisme dan sejenisnya.

Harakatuna dan Kontra-Narasi

Di era kejayaan pandemi COVID-19 seperti sekarang, bukan hanya imun tubuh yang harus dijaga, melainkan juga imun otak, agar mindset kita tidak terjajah oleh ideologi perongrong negara. Tidak berlebihan untuk dikata, virus khilafah jauh lebih riskan ketimbang virus corona. Bu Me mengunjungi Harakatuna, bertemu di tempat yang terbatas, dengan diskusi, sharing, kontra-narasi. Jika bukan karena ikhtiar yang kuat, jiwa patriotik, memegang teguh kebhinnekaan, persatuan, untuk apa?

Kebhinnekaan adalah sesuatu yang niscaya di negeri ini. Pada kenyataannya, non-Muslim selama ini dianggap tidak lebih Pancasilais daripada umat Islam. Dua hal yang terjadi di Bangka: yang non-Muslim berkunjung ke media keislaman moderat dan yang Muslim justru memaksa murid membaca literatur yang tidak pantas, membuat kita perlu menanyakan ulang, mana di antara Muslim dan non-Muslim yang lebih Pancasilais, yang lebih memegang teguh kebhinnekaan?

BACA JUGA  Masyarakat Harus Jadi CCTV dalam Pencegahan Terorisme

Harakatuna memiliki konsen kajian kontra-narasi. Itu artinya kebhinnekaan, keislaman, pluralitas, merupakan subbagian di dalamnya. Memupuk jiwa-jiwa majemuk merupakan ikhtiar, sehingga toleransi antarumat menguat, dan dengan sendirinya jiwa-jiwa eksklusif yang merasa benar sendiri dan mengafirkan yang lainnya mengalami penurunan yang signifikan. Kontra-narasi sebagai bidang utama Harakatuna bisa dibilang langkah yang kecil, melihat musuh yang terlalu besar. Beberapa kali diretas oleh siber kalangan radikal. Tetapi surut, tetap saja, merupakan sebuah pantangan.

Bagi Harakatuna yang berupaya melakukan kontra-narasi, kunjungan Bu Me menjadi nilai lebih. Sebab, kali ini, itu tidak terjadi kepada media lainnya dengan konsen yang sama. Boleh jadi, ini bukan saja merupakan sinyal kerja sama, lebih dari itu menjadi sinyal keberhasilan kontra-narasi itu sendiri. Non-Muslim dan Muslim harus berpangku tangan menyergap musuh bersama, yaitu kaum-kaum agama yang keras. Baik dari kelompok Islam sendiri maupun dari kelompok non-Muslim. Perbedaan harus dirawat, diruwat, sementara eksklusivitas dan kekerasan mesti disingkirkan demi terjaganya persatuan.

Pesan-pesan Persatuan

Di Bangka Tengah, cerita Bu Me, tidak sedikit kalangan keras, baik Muslim maupun non-Muslim. Regulasi struktural mereka sempurna, dan gerakannya masif sekali. Bu Me menyampaikan banyak pesan persatuan, mengedukasi masyarakat tentang bersatu dalam keberagaman. Dunia pendidikan yang sudah terpapar ideologi berbahaya harus diselamatkan. Pergerakan kontra-narasi tidak boleh kalah masif. Dan ia, menurutnya, bersedia mengakomodasi, untuk tujuan positif tersebut.

Pertanyaannya sekarang ialah: kalau yang non-Muslim saja mengapresiasi, kenapa dari kalangan Muslim sendiri justru tidak banyak? Kenapa umat Islam malah cenderung terpengaruh ideologi pan-Islamisme yang sama sekali tidak memberi ruang atas perbedaan, atau bermaksud merebut kekuasaan dengan berpangku terhadap otoritas politik masa lalu? Mau sampai kapan antarsesama Muslim beredebat soal politik? Kenapa tidak malu dengan non-Islam yang mengawasi laku keberagamaan mereka?

Kunjungan Bu Me, andai bukan di era COVID-19, boleh jadi dilakukan di tempat terbuka. Itulah yang disayangkan. Kendati demikian, kunjungan tersebut sangat berkesan. Sekelas dewan, non-Muslim pula, berkunjung ke media keislaman, adalah bukti konkret jiwa nasionalis. Apalagi, Bu Me berasal dari partai yang selama ini dituduh, oleh FPI cs, sebagai gerbong neo-komunis PKI. Silaturahmi dan sharing Bu Me dengan Harakatuna menjadi titik balik yang penting, di satu sisi untuk membatalkan stigma tadi, dan di sisi lainnya untuk progresivitas komitmen kontra-narasi.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru