30 C
Jakarta
Array

Makar: NU, Hizbut Tahrir, dan KH. Mahrus Aly

Artikel Trending

Makar: NU, Hizbut Tahrir, dan KH. Mahrus Aly
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Makar: NU, Hizbut Tahrir, dan KH. Mahrus Aly

Oleh: Dr. Ainur Rofiq al-Amin*

Sebagai organisasi Islam yang berakar pada budaya setempat, NU mampu beradaptasi dengan sistem dan tradisi yang berkembang di masyarakat. Ketika semangat kebangsaan mulai bangkit, NU menegaskan diri sebagai organisasi yang berwawasan kebangsaan. Sikap itu dipertegas dalam Muktamar di Banjarmasin 1936, NU menerima Hindia Belanda (Indonesia) sebagai Darul Islam, bukan Daulah Islamiyah (pemerintahan Islam), melainkan dalam pengertian walayah Islamiyah (daerah Islam) karena mayoritas penduduk nusantara ini adalah muslim, dan selama beberapa abad dikuasai oleh kerajaan Muslim, sehingga terbentuk masyarakat Islam dan budaya Islam.

Selanjutnya NU tampak gigih membela kemerdekaan hingga lahir Indonesia. Banyak kelompok yang memberontak menuntut negara Islam, seperti kelompok muslim modernis yang bergabung dalam Darul Islam (DI) yang ingin mendirikan Daulah Islamiyah. Tetapi NU menolak bergabung karena kita telah memiliki daulah Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Langkah DI itu dianggap sebagai bughot, makar, atau pemberontakan.

NU menolak kepemimpinan Kartosuwiryo, dengan mengukuhkan kepemimpinan Presiden Soekarno dan mengukuhkan sebagai waliyul amri yang secara darurat bisa diangap sebagai pemimpin umat Islam. Dengan keputusan ini maka petualangan DI bisa dilumpuhkan.

Begitu juga ketika kelompok Islam modernis yang termasuk sisa-sisa DI bergabung dalam PRRI melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah pada tahun 1958. NU dengan tegas menolak. Akibat pemberontakan itu, Masyumi dilarang dan terhenti seluruh aktivitasnya. Ironisnya,  nama umat Islam ikut tercoreng akibat ulah segelintir kelompok, sehingga Islam sering distigma sebagai kaum pemberontak.

Pada masa orde baru,  bekas DI dan PRRI masih terus berulah dengan gerakan Komando Jihad. menghadapi hal ini,  NU juga menolak keras gerakan tersebut. Melihat gejala ini pada tahun 1970-an ada sekelompok militer yang menangkap dan mengintimidasi seorang ketua MWC NU Lumajang dipaksa mengaku sebagai pimpinan Komando Jihad. Dengan harapan NU sebagai partai terkuat bisa dipukul dengan isu itu.

Melihat kenyataan itu, KH Machrus Aly, Pimpinan NU Wilayah Jawa Timur mendatangi Pangdam Brawijaya, Mayjen Witarmin yang terkenal galak dengan marah besar Kiai Machrus mengatakan, “Orang seperti ini pasti bohong, tidak ada ceritanya orang NU memberontak, di mana-mana kalau ada yang memberontak pasti ABRI di dalamnya, karena yang punya senjata seperti Kartosuwiryo, Kol  Husein, Kol Warrow dan Kol Simbolon, dalam PKI ada Kol. Untung, Kol Latif, Marsekal Omar Dhani dan sebagainya semuanya tentara tidak ada NU-nya”. Mendapat dampratan dari kiai kharismatik itu Pangdam Witarmin hanya tertunduk malu.

Efek dari komando jihad untuk kiai NU juga bisa dibaca dari tuturan KH.  Abdullah Kafabihi Mahrus,  “Dulu banyak kiai-kiai ditahan dengan tuduhan komando jihad. KH. Mahrus Aly mengeluarkan para kiai-kiai yang ditahan di kota-kota yang ada di Jawa Timur. Ada kiai yang diancam atau diburu oleh oknum  pemerintah yang nota bene waktu itu Golkar sedang berkuasa dan galak. KH. Mahrus Aly membentak kepada panglima TNI kalau tidak bisa menyelesaikan masalah itu,  akan diselesaikan sendiri oleh beliau. Untuk selanjutnya para kiai yang diancam itu merasa aman. Ketika orang-orang ketakutan dan mengungsi  ke KH. Asad Situbondo, pada waktu itu Kapolda sedang sowan kepada KH. Mahrus Aly dan ditawari  helikopter menuju Asembagus (KH. Asad Syamsul Arifin untuk memberi jaminan perlindungan masyarakat yang ketakutan).

Ketika Jenderal Murdani datang ke Lirboyo,  KH. Mahrus Aly mengumpulkan para ulama Jatim seperti KH  Asad, KH. Ahmad Shiddiq  dan lain-lain. Jenderal Murdani dimarahi jangan sampai terulang peristiwa Tanjung Priok.

Kiai Mahrus adalah pewaris kelihaian dan keberanian Kiai Wahab Chasbullah. Walaupun perawakannya kecil,  tetapi tidak pernah gentar pada siapapun dalam menghadapi situasi apapun. Inilah tipe pemimpin NU yang berkarakter benar-benar ber-NU untuk membela negara agama dan bangsa. Tidak mempan digertak balik dengan uang maupun dengan senjata.

Begitulah NU tegas terhadap para perongrong NKRI, dan akhirnya pemerintah menjadi tegas.  Bisa direnungkan kalau Kartosuwiryo yang pernah ikut berjuang melawan penjajah saja, bahkan diriwayatkan bagian dari pasukan Hizbulloh, tapi akhirnya diperangi karena mengingkari kesepakatan terhadap NKRI.  Padahal Kartosuwiryo mau menegakkan syariat (tentu syariat ala Kartosuwiryo).

Lha saat ini ada aktifis Hizbut Tahrir yang unyu unyu,  mereka hidup dan bahkan menjadi PNS.  Mereka sama sekali tidak pernah berjuang melawan penjajah.  Eh maunya meruntuhkan NKRI dan mendirikan di atas reruntuhannya itu sebuah negara yang disebut Khilafah.  Naifnya masih ada ormas atau tokoh yang membela dari pembubarannya.  Padahal baru dibubarkan,  belum diperangi. Mau nunggu perang ya?  Untuk saat ini yang tegas hanya NU yang lain kemana yach?

*Penulis adalah pengasuh Padepokan Al Hadi 2 Tambakberas, dan dosen UIN Surabaya

Diolah dan diramu dari Fragmen Sejarah NU Abdul Mun’im, juga dari tuturan putra KH.  Mahrus Ali,  yakni KH.  Abdullah Kafabihi.

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru