Harakatuna.com – Tidak sedikit dijumpai ketika makan daging di restoran cepat saji, daging yang disajikan masih mengandung darah. Biasanya daging yang seharusnya berwarna putih menjadi berwarna merah karena terkontaminasi dengan darah. Lantas bagaimana syariat Islam menjelaskan makan daging yang masih ada sisa darahnya ini?
Syariat Islam dengan jelas menghukumi bahwa mengkonsumsi darah adalah sebuah keharaman. Hal ini dilandaskan pada Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 173.
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Artinya: “Sesungguhnya Allah Swt hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 173)
Para ulama mengambil sikap tegas tentang keharaman makan darah. Tentunya makan darah di sini bisa berwujud makanan yang berasal dari olahan darah atau makan darah secara langsung. Namun demikian ulama memberikan maaf (ma’fu) ketika memakan sisa darah yang jumlahnya sedikit yang menempel pada daging. Di dalam kitab Fathul Ar-Rahman dijelaskan bahwa status sisa darah yang ada pada daging hukumnya adalah dimaafkan (ma’fu).
والدَّم الباقى على اللَّحْم وعظامه نجس مَعْفُو عَنهُ لِأَنَّهُ من الدَّم المسفوح وَإِن لم يسل لقلته وَلَعَلَّه مُرَاد من عبر بِطَهَارَتِهِ
Artinya: “Darah yang tersisa pada daging dan tulangnya adalah najis yang dima’fu (ditoleransi). Hal ini karena sisa darah tersebut berasal dari darah yang tumpah dalam daging dan tidak mengalir karena sembelihannya.”
Imam Nawawi dalam kitabnya Majmu’ Syarhu Muhazab juga menyatakan tidak perlu mempermasalahkan sisa darah yang ada pada daging.
قوله (فرع) مما تعم به البلوى الدم الباقي على اللحم وعظامه وقل من تعرض له من اصحابنا فقد ذكره أبو إسحق الثعلبي المفسر من اصحابنا ونقل عن جماعة كثيرة من التابعين انه لا بأس به ودليله المشقة في الاحتراز منه وصرح احمد واصحابه بان ما يبقى من الدم في اللحم معفو عنه ولو غلبت حمرة الدم في القدر لعسر الاحتراز منه وحكوه عن عائشة وعكرمة والثوري وابن عيينة وأبى يوسف واحمد واسحق وغيرهم واحتجت عائشة والمذكورون بقوله تعالي (الا أن يكون ميتة أو دما مسفوحا) قالوا فلم ينه عن كل دم بل عن المسفوح خاصة وهو السائل
Artinya: “Sebagian hal yang umum terjadi adalah darah yang tersisa pada daging dan tulang hewan. Sedikit sekali ulama yang menjelaskan tentang hal ini dari para Ashab. Permasalahan ini dijelaskan oleh Abu Ishaq Ats-Tsa’labi, pakar tafsir dari golongan Ashabus Syafi’i, dan dinukil dari segolongan ulama tabi’in bahwa darah tersebut tidak perlu dipermasalahkan.
Adapun dalilnya adalah sulitnya menghindari darah ini. Imam Ahmad dan para Ashab Ahmad menjelaskan bahwa darah yang menetap pada daging dihukumi ma’fu (dimaafkan), meskipun warna merah dari darah mendominasi pada cawan (untuk mewadahi daging). Ketentuan tersebut juga diceritakan dari Sayyidah Aisyah, ‘Ikrimah, Ats-Tsauri, Ibnu ‘Uyainah, Abu Yusuf, Imam Ahmad, Ishaq, dan ulama-ulama yang lain. Sayyidah Aisyah RA dan para ulama tersebut mendalilkan kema’fuan darah yang ada pada daging ini dengan ayat ‘Kecuali daging hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir’. Para ulama berkata, Allah tidak mencegah (mengkonsumsi) semua jenis darah, tapi pada darah yang mengalir saja.” (Nawawi, Al-Majmu’ ala Syarhil Muhadzdzab, juz II, halaman 557)
Dari keterangan ini menjadi jelas bahwa makan daging yang masih ada sisa darahnya adalah dimaafkan dan tidak termasuk dalam hukum haram, Wallahu A’lam Bishowab.