Harakatuna.com. Jakarta. Nasib Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sebagai organisasi kemasyarakat menurut Pakar Hukum Tata Negara Mahfud MD sudah tamat dengan disahkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Ormas menjadi Undang-undang. Termasuk upaya HTI yang menggugat Perppu Ormas ke Mahkamah Konstitusi.
“Kalaupun mereka (HTI) kembali mengajukan judicial review ke MK atas UU Ormas dan diterima, tetap saja secara hukum statusnya sudah selesai,” ujar mantan Hakim Mahkamah Konstitusi ini saat berbincang dengan Rakyat Merdeka, kemarin. Alasan Mahfud, pembubaran HTI sebagai ormas dilakukan oleh pemerintah berdasarkan undang-undang yang berlaku. Sementara putusan MK tidak berlaku surut, melainkan ke depan.
Lantas apa pandangan Mahfud tentang rencana sejumlah parpol untuk melakukan revisi terhadap UU Ormas yang baru saja disahkan? Berikut wawancara selengkapnya :
Dengan disahkanya Perppu menjadi UU, bagaimana nasib judicial review HTI di Mahkamah Konstitusi yang sampai sekarang ada putusan?
Tidak ada pilihan lagi bagi MK untuk menolak judicial review terhadap Perppu Ormas yang kemarin diajukan. Karena dengan disahkannya menjadi undang-undang, maka Perppu sudah tidak ada lagi. Karena itu MK harus menolaknya, sebab nggak ada objeknya.
Lantas kalau HTI sekarang melakukan judicial review terhadap UU Ormas gimana?
Itu sah saja. Namun kalau gugatan judicial review ke MK itu agar statusnya dipulihkan, saya anggap keliru. Sebab, seumpama MK mengabulkan gugatan, di mana ada pasal atau UU Ormas secara keseluruhan batal demi hukum, maka status HTI tidak bisa berubah. Sebab putusan MK itu tidak berlaku surut. Artinya pembubaran HTI itu sudah final. Karena pembubaran dilakukan di saat UU sah. Sedangkan dinyatakan batal oleh MK itu berlaku setelah ketuk palu. Jadi HTI sudah selesai kalau dilihat dari sudut UU.
Sesaat setelah disahkan, sejumlah parpol saat ini ngotot untuk melakukan revisi terhadap UU Ormas. Apa tanggapan Anda?
Saya melihat upaya merevisi UU Ormas ini terlalu didramatisir oleh parpol tertentu. Bahkan ada pimpinan parpol yang langsung bertemu presiden agar revisi segera dilakukan. Saya pikir ini terlalu genit dan berlebihan. Sebab revisi itu hal yang wajar, biasa saja. Karena itu bisa dilakukan oleh parpol yang punya kursi di parlemen.
Tapi alasan parpol mendesak revisi UU Ormas karena ada janji dari presiden untuk melakukannya pasca-disahkan dalam paripurna?
Saya katakan begini, revisi itu hal yang biasa dan bisa dilakukan parpol lewat perwakilannya di parlemen. Apalagi sampai mengatakan presiden harus menepati janji. Saya pikir presiden tidak pernah janji, tapi partainya itu yang berjanji sendiri. Katanya begini, kami menerima Perppu menjadi UU dengan catatan perlu direvisi. Berarti jelas kan yang berjanji itu partai, bukan presiden.
Namun kita tahu bahwa untuk merevisi sebuah undang-undang, harus ada kesepakatan dari dua pihak yakni DPR dan pemerintah…
Kalau memang punya kepercayaan diri sebagai parpol, maka buat dong draf revisinya untuk kemudian diajukan ke DPR. Sebab menurut UUD nyang berlaku sekarang, titik berat pembuatan undang-undang itu justru dari DPR. Sebab sekarang bunyinya. DPR membuat UU dengan persetujuan presiden. Kalau dulu, presiden membuat UU dengan persetujuan DPR. Jadi terbalik. Kok sekarang malah desak-desak presiden itu berlebihan.
Jadi Anda pikir desakan revisi UU Ormas ini hanya pencitraan parpol saja?
Parpol mau revisi UU Ormas, tapi desak-desak presiden. Padahal revisi itu seperti yang saya bilang merupakan hal biasa dan bisa dilakukan parpol melalui wakilnya di Senayan. Kalau seperti itu, orang melihatnya ini hanya manuver politik saja. Mengelabui publik yang merasa punya keinginan untuk merevisi undang-undang, tetapi tidak tahu. Padahal itu hak partai sendiri padahal punya
Ada prosedur, bikin naskah akademiknya, kirim ke baleg, dibahas dan disahkan paripurna. Apalagi bulan ini bulan penyusunan prolegnas di DPR. Ajukan saja, kalau disetujui tinggal panggil presiden melalui perwakilan pemerintah untuk ikut membahasnya.
Namun kita tahu dalam proses penyusunannya hingga sekarang, UU Ormas ini masih menimbulkan pro dan kontra. Tanggapan Anda?
Saya pikir yang berdebat itu sama-sama benar. Yang menolak karena ingin demokrasi itu berjalan itu tertib menurut aturan hukum sehingga tidka sembarang ormas dibubarkan.
Tapi yang satu lagi berpendapat, bila saat ini ada fenomena berbahaya dari keberadaan ormas sehingga perlu dibuka lebar-lebar keran untuk pembubaran ormas ini agar lebih mudah. Jadi ini diskursus yang harus diselesaikan secara politik.
Tapi ketika politik sudah memutuskan, maka itulah hukumnya dan itu mengikat dengan segala konsekuensinya. Kalau misalkan mau diubah, maka ubah dulu secara politik di parlemen.
Tapi tujuan dari pemerintah saat itu mengeluarkan Perppu Ormas hingga akhirnya menjadi UU adalah untuk ‘membunuh’ HTI?
Memang benar mulanya dari HTI. Ada tindakan yang awalnya rasional, tapi lama kelamaan menimbulkan potensi berbahaya bagi ormas lain dan negara. Sekarang HTI sudah bubar. ***