30.8 C
Jakarta

Maheer at-Thuwailibi: Ekstremisasi dan Radikalisasi

Artikel Trending

Milenial IslamMaheer at-Thuwailibi: Ekstremisasi dan Radikalisasi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Ekstremisasi dan radikalisasi beragama adalah teori yang menyalahgunakan doktrin untuk melakukan kekerasan atas nama agama (tekstual/literal). Sedangkan moderasi beragama adalah teori yang membenarkan adanya pengamalan doktrin sesuai dengan nilai-nilai luhur agama (kontekstual).

Bicara dua teori, tentu bicara soal Maheer at-Thuwailibi. Kini, ia bukan hanya da’i, tapi ia adalah pencaci dan pemaki. Media sosial sejenis facebook, twitter, instagram, dan youtube. Menjadi sarana dan prasarananya untuk sekedar numpang tenar supaya banyak dikenal generasi milenial.

Maheer giat berdakwah di media sosial, dakwahnya banyak menyasar kelompok milenial yang belum cukup kuat pemahaman keagamaanya. Sehingga logika dan retorika seolah-olah menjadi modal awal baginya untuk berdakwah dan meyakinkan banyak orang di media sosial.

Dalam setiap postingannya, isu-isu agama kian mantap menjadi lahannya. Ibarat menyarap gorengan pada waktu pagi tanpa ada nasi dan sambal trasi. Ditambah lagi, teori intoleransi, ekstremisasi, dan radikalisasi semakin nyata terkonfirmasi oleh doktrin agama melalui penyerapan aspirasi.

Teori-teori tersebut, tentu membuat pemikiran dan ideologi Maheer berubah drastis. Bahkan keindonesiaannya perlu menjadi pertanyaan.  Bagaimana tidak, ulama-ulama NU (Nahdlatul Ulama) kerapkali menjadi korban cacian dan makiannya. Di manakah akhlaknya sebagai seorang penceramah agama?

Korbannya di antaranya, Gusdur alias kiai Abdurrahman Wahid, kiai Said Aqil Sirajd, dan ulama NU lainnya. Pandangan ulam-ulama NU seolah-olah tak ada yang benar, dan hanya pandangan Maheer yang paling benar. Ironisnya, cukup sering dalam pelbagai ceramahnya menghina presiden Jokowi.

Tidak hanya itu saja, Maheer merupakan pengikut setia kelompok khilafah ‘ala manhajin nubuwwah. Baginya, karena Indonesia menolak ideologi khilafah dinilai sebagai negara kafir/thaghut. Tuduhan thaghut ini tidak berdasarkan substansi negara Indonesia yang menyebutkan sebagai negara kebangsaan.

Munculnya da’i atau penceramah agama seperti Maheer adalah tanda-tanda buruknya ulama dalam menyampaikan tentang wawasan keagamaan yang tidak rahmah. Demoralisasi ulama kian mudah muncul akibat ceramahnya yang intoleran, penuh ujaran kebencian, ekstrem, dan radikal.

Ekstremisasi dan Radikalisasi Agama

Ekstremisasi adalah proses pengerasan terhadap ideologi agama yang memiliki misi ataupun tujuan untuk formalisasi syariat. Baik itu, dalam sosial, budaya, ekonomi, politik, dan hukum. Doktrinisasi agama ke dalam sistem bernegara tentu bertentangan dengan visi-misi negara Pancasila.

Menurut Weine S (2017) mengutip pengertian USAID ekstremisme kekerasan sebagai “sokongan, pelibatan diri, penyiapan, atau paling tidak, dukungan terhadap kekerasan yang dimotivasi dan dibenarkan secara ideologis untuk meraih tujuan-tujuan sosial, ekonomi, dan politik. [208-221].

Ideologi ekstrem memang melekat dengan kekerasan-kekerasan yang sifatnya hanya kepada persoalan sistem, dan tidak menimbulkan korban kekerasan fisik. Kelompok masyarakat yang berideologi ekstrem adalah Hizbut Tahrir di Indonesia yang selama ini keras dalam persoalan ideologi.

Sedangkan radikalisasi agama tidak hanya mengarah kepada gerakan revolusi ideologi. Akan tetapi, dapat menimbulkan kekerasan yang dimulai dari pola pikir yang sederhana hingga aksi radikal ke akar-akarnya. Pun kekerasan itu potensial mampu menyebabkan adanya korban secara fisik.

BACA JUGA  Rajab, Bulan Penuh Pahala untuk Memerangi Khilafahisme

Khamami Zada (2002) mengutip pandangan Horace M. Callen, radikalisasi tidak berhenti pada upaya penolakan, melainkan terus berupaya mengganti tatanan tersebut dengan suatu bentuk tatanan lain. Ciri ini menunjukkan bahwa di dalam radikalisasi terkandung suatu program atau pandangan dunia (world view) tersendiri. Kaum radikalis berupaya kuat untuk menjadikan tatanan tersebut sebagai ganti dari tatanan yang sudah ada. [16-17]

Dalam konteks ini, radikalisasi agama tercatat dalam fakta aksi kelompok Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). ISIS adalah kelompok yang memainkan peran agama sebagai keabsahan legitimasi kekerasan demi tergantinya ideologi Pancasila dengan khilafah dan sistem syariat Islam.

Kekerasan atas nama agama tidak hanya terjadi di level praktis, tetapi banyak terjadi di level dakwah keagamaan dan pengerasan ideologi yang cukup kompleks. Maheer at-Thuwailibi sebagai cerminan kesejarahan tentang eksistensi munculnya penceramah ekstrem dan radikal secara ideologi.

Sehingga pandangan hemat penulis, teori ekstremisasi dan radikalisasi adalah term yang tak dapat terpisahkan dari pemahaman, pemikiran, dan ideologi Maheer at-Thuwailibi. Sebab itu, dakwahnya hanyalah semata untuk misi politik, tetapi bukan misi sungguhan untuk kebenaran agamanya.

Intropeksilah Maheerku!

Maheer adalah bagian yang tak terpisahkan dari golongan kaum jihadis. Sehingga bukan hal mudah untuk meluruskan pola pikirnya yang keras, dan intoleran. Jika ia memang seorang ulama, maka sesuai dengan hadits Nabi (al-‘ulama’ waratsatul anbiya’). Artinya, ulama adalah pewaris Nabi.

Jika merasa sebagai ulama dan pewaris Nabi, seharusnya Maheer hijrah dari radikal kepada aliran moderat. Karena itu, Nabi Muhammad sudah lama menjadi orang paling sempurna dalam menjalankan moderasi beragama. Ia adalah Nabi yang mengajarkan bagaimana keadilan ditegakkan dengan benar dan bagaimana hidup dalam persatuan dan kebersamaan.

Islam mengajarkan kita hidup dalam keberagaman, dakwah dengan cara membangun persaudaraan bukan memecah belah persatuan. Jika kita sebagai muslim mayoritas, terutama Maheer at-Thuwailibi sebagai pewaris Nabi, maka hendaknya mentaati ajaran agama Islam. Sebab Islam itu indah dan rahmah.

Bahkan Islam tidak menganjurkan dakwah dengan marah, yang ada hanya dakwah bil rahmah. Sehingga dengan model dakwah demikian mampu membuat kehidupan masyarakat Indonesia semakin sejuk, dan tercipta suatu perdamaian. Perdamaian tentu muncul dari da’i yang selalu mengayomi bukan yang mencaci-maki.

Paling tidak, al-aqidah al-wasathiyah menjadi landasan dan batu pijakan Maheer at-Thuwailibi dalam setiap berdakwah. Tanpa landasan tersebut dakwah Maheer bisa saja seterusnya menumbuhkan semangat ekstremisasi dan radikalisasi. Tetapi jika menggunakan landasan tersebut dakwah Maheer potensial menumbuhkan semangat moderasi.

Hasin Abdullah
Hasin Abdullahhttp://www.gagasahukum.hasinabdullah.com
Peneliti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru