31 C
Jakarta

Mahasiswa, Pemartabatan, dan Afinitas Buku Bajakan

Artikel Trending

KhazanahLiterasiMahasiswa, Pemartabatan, dan Afinitas Buku Bajakan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Buku-buku menandakan kualitas hidup manusia. Hidup semakin berbuku, semakin berkualitas. Hipotesis argumentatif semacam ini bukan suatu kenyataan subjektif, ada realitas objektif di baliknya. Sekian abad buku dikenalkan pamrih pemartabatan. Buku mampu menyadarkan umat manusia pada suatu bagian penting yang belum tersentuh nalar. Dari situ manusia pembelajar mulai mengakrabi buku. Berkelana sejauh mungkin meneguk pengetahuan sebagai ikhtiar adiluhung melepas kebobrokan moral yang membelenggu.

Fenomena berbuku pun ditaja kampus-kampus tanah air dengan mendirikan perpustakaan sebagai jantung pemartabatan itu. Perpustakaan didirikan megah serupa imajinasi Borges yang membayangkan perpustakaan serupa surga. Menyaingi bahkan melebihi gedung fakultas. Didirikan megah supaya mahasiswa tertarik menyambangi ruangannya.

Melalui perpustakaan, sebagian mahasiswa akhirnya tergoda bacaan-bacaan. Merentang dari genre filsafat hingga sastra. Non-fiksi hingga fiksi. Dari yang berat hingga yang ringan. Tergoda bacaan-bacaan memungkinkan mahasiswa akhirnya berhasrat berbuku. Keinginan memiliki buku mesti berurusan dengan kondisi finansial. Mereka yang mendapat kiriman orang tua mesti berpikir dua kali mengalokasikan sebagian kiriman itu untuk urusan berbuku.

Di balik hasrat berbuku itu, ada tujuan-tujuan yang sifatnya temporal dan pemartabatan. Tujuan temporal merujuk usaha berbuku untuk kepentingan kuliah serupa pemenuhan tugas skripsi dan makalah. Sehabis tugas kuliah tertunai, buku-buku dibiarkan menumpuk tak terbaca. Beda halnya dengan tujuan pemartabatan. Ia murni lahir dari kesadaran bahwa berbuku merupakan medium paling penting untuk mengangkat martabat mereka menjadi manusia beradab dan berintelektual.

Untuk pemenuhan dua tujuan di atas, tak jarang mesti berakhir pada dua kondisi yang nampak dilematis, antara membeli buku yang asli dan bajakan. Yang terakhir itu seringkali menggoda mahasiswa karena suatu dasar afinitas.

Afinitas yang Paradoks

Afinitas atau ketertarikan yang ditandai oleh persamaan kepentingan menjadi dasar munculnya fenomena buku bajakan di kalangan mahasiswa. Sebagian besar dari mereka sama-sama tertarik membeli buku bajakan karena harganya murah dan mudah dijumpai di pelbagai beranda market place ; Shopee, Tokopedia, dan Lazaada.  Banyak toko online yang berafiliasi dengan market place tersebut mendistribusikan buku dengan harga murah.

Murahnya harga buku nyatanya tak selalu berbanding lurus dengan kualitas yang ditawarkan. Buku-buku dengan harga murah tersebut kebanyakan hasil duplikasi dari buku aslinya. Artinya, buku tersebut merupakan buku bajakan. Dari segi fisiknya pun tampak tak enak dibaca dan membikin mata terasa perih. Bagi mahasiswa yang bertujuan untuk berbuku yang sifatnya temporal, hal tersebut tak lantas membuat mereka sadar. Yang penting kewajibannya cepat kelar.

Padahal fenomena buku bajakan telah lama disorot sastrawan legendaris yang sempat digadang meraih Penghargaan Nobel Sastra cum mantan tahanan Pulau Buru, Pramoedya Ananta Toer. Dalam sebuah esainya “Pram dan Pembajakan Buku”, Muhidin M. Dahlan bercerita ihwal kehidupan Pram yang sepenuhnya menghidupi dirinya dari menulis, tidak punya pekerjaan lain selain menulis.

Pram sadar betul, bertungkus lumus dengan pekerjaan menulis menjadi sumber ekonomi satu-satunya. Medium menyambung hidup paling subtil dan lumayan menguras pikiran. Menyadari hal ini, ia pun tak bisa menolerir karya-karyanya dibajak. Bagi Pram, pembajakan buku telah melukai tugas kepengarannya dan tak menghormati seorang pengarang mendapatkan hak ekonominya. Bahkan, dirinya rela memutus buhul persahabatan dengan kawannya apabila diketahui membajak karya orang lain.

BACA JUGA  Menulislah, Ide Itu Begitu Berharga

Senggal narasi pergumulan hidup Pram dengan dunia pembajakan buku merupakan cambuk bagi mahasiswa. Sebuah kenyataan yang pada akhirnya berusaha menyadarkan diri bahwa ketertarikan untuk membeli buku bajakan atas dasar ‘harga murah’ sangat tak layak dilakukan seorang insan intelektual.

Jelas karena tidak ada keberpihakan pada hak ekonomi dan proses kreatif penulis. Karenanya, membajak dan membeli buku bajakan merupakan praktik kriminal yang berlawanan dengan idealisme mahasiswa yang menjunjung tinggi adab dan pemuliaan terhadap hak-hak manusia.

Tak terbayangkan jika bejibun buku bajakan menghias rak mereka. Sekian banyak buku bajakan itu secara eksplisit merupakan representasi dosa intelektual yang dengannya dijadikan instrumen pemartabatan. Padahal tak ada pemartabatan yang ditaja melalui tindak kriminal, sesubtil membeli buku bajakan, misalnya. Keinginan berbuku tak melulu soal afinitas pada harga murah. Tetapi juga apresiasi dan penghormatan pada realitas pergumulan hidup penulis dengan segala dinamikanya.

Dimensi ini pada akhirnya menyangkut persoalan ontologis mahasiswa. Bahwa, aktualisasi keberpihakan pada hak ekonomi dan proses kreatif penulis menjadi harkat hidup yang dapat menjaga muruahnya.  Nama baik mahasiswa tak hanya menyangkut soal prestasi di ranah akademik, melampaui dari itu tindakan keberpihakan dan apresiasi terhadap gugusan ide-ide orang lain yang terbukukan mesti menjadi kesadaran kolektif yang jauh lebih adiluhung dari sekadar prestasi akademik.

Memanggungkan adab apa pun yang berkelindan buku semestinya menjadi perhatian utama semua elemen. Mahasiswa sebagai elemen fundamental dunia akademik perlu digiring ke ranah pemuliaan ekosistem perbukuan. Dosen tak cukup hanya menjadi pemandu diskusi di ruang-ruang kelas, tapi juga menaja spirit penyadaran ihwal implikasi negatif saat membeli buku bajakan kepada mahasiswanya.

Penyadaran akan mewujud tindakan sadar jika dosen mampu menjadi role model (teladan) dalam pemaksimalan implementasi UU. No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta hingga persoalan etis yang menyangkut hak hidup orang banyak. Semisal, tak sepatutnya bagi seorang dosen berkirim file buku dalam bentuk PDF (Portable Document Format) ilegal ke mahasiswanya sebagai bahan bacaan. Karena hal itu sama saja dengan melanggengkan proses pembajakan buku yang mencederai UU Hak Cipta dan persoalan etis di atas.

Biar bagaiamana pun, sebagai medium pemartabatan, afinitas buku bajakan perlu segera ditanggalkan. Lebih baik tak berbuku berdalih tujuan pemartabatan dari pada merampas hak hidup penulis. Afinitas buku bajakan hanya akan menjadi tujuan yang semu dan paradoksal di balik tujuan mulia itu. Paradigma afinitas buku bajakan atas dasar harga murah perlu diluruskan kembali, bahwa menghargai hak penulis buku jauh lebih penting dari sekadar persoalan mahalnya harga buku yang dipatok.

Sebab dari situlah kesungguhan mahasiswa dalam ikhtiar memartabatkan diri benar-benar menemukan momentumnya. Momentum yang dapat dijadikan relfeksi agar tidak terjebak pada kunkungan pragmatisme dan urusan kalkulatif. Dengan demikian tak akan ada lagi segelintir mahasiswa yang tertarik untuk membeli buku bajakan atas dasar afinitas harga murah. Semua beralih ke buku asli berapa pun harganya demi tujuan pemartabatan itu. Semoga.

Muhammad Ghufron
Muhammad Ghufron
Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, bergiat di Jurnal Moderasi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, Komunitas Lensa Sosio-Agama. Tinggal di Bantul, DI Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru