Mahasiswa dan Kaderisasi Islam Radikal
Oleh: Ahmad Fathoni Fauzan*
Lonceng revolusi dan intoleransi di bumi pertiwi, semakin hari semakin berdentang kencang. Kini, dunia kampus menjadi sarang bagi lahirnya generasi-generasi radikalis yang dengan lantang memproklamirkan jargon “Back to Quran and Sunnah”. Dengan semangat jihad fi sabilillah, gerakan-gerakan yang mendaulat dirinya sebagai pejuang Islam tersebut, kini menyusup dengan begitu senyapnya ke sudut-sudut kampus di mana mahasiswa-mahasiswa yang miskin pemahaman keagamaan direkrut dengan doktrin-doktrin agama.
Gelombang radikalisme di dunia kampus bukan hanya sekadar ilusi. Bukan pula narasi yang dibangun berdasarkan imajinasi. Dalam sebuah penelitian “Membedah Pola Gerakan Radikal”, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) merilis sebuah fakta mengejutkan pada 2016 yang silam. Hasil penelitian yang dilakukan Anis Saidi ini mengungkap bahwa radikalisme sudah merasuk ke kampus-kampus melalui jaringan organisasi kemahasiswaan.
Hasil survei yang dirilis Anis Saidi menunjukkan bahwa 25 persen siswa dan 21 persen guru menyatakan Pancasila tidak lagi relevan. Sementara 84,8 persen siswa dan 76,2 persen guru menyatakan setuju dengan penerapan syariat Islam. Sementara, hasil survei penelitian pada tahun sebelumnya menunjukkan, 4 persen orang Indonesia menyetujui kelompok militan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Mereka berumur antara 19-25 tahun. Sedangkan 5 persen di antaranya adalah mahasiswa, CNN Indonesia (18/02/2016).
Dalam konteks ini, apa yang dilakukan oleh Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta patut diapresiasi. Sebagai salah satu upaya mencegah radikalisme, persis pada tanggal 04 April 2017, rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Drs. Yudian Wahyudi, mengeluarkan surat edaran resmi perihal “Pencegahan Paham Anti NKRI dan Pancasila”. Surat edaran tersebut berisi himbauan kepada semua civitas akademika untuk mewaspadai maraknya gerakan radikal yang semakin meresahkan.
Kebijakan tersebut tentu saja harus diapresiasi dan bahkan wajib dijadikan inspirasi bagi kampus-kampus lainnya. Mengingat, semakin kuatnya gelombang arus radikalisme di kampus-kampus yang akan mengancam stabilitas keamanan nasional dan merusak ideologi Pancasila. Kampus adalah tempat di mana mahasiswa sebagai generasi bangsa menanamkan cinta kebangsaan. Namun melihat situasi yang terjadi, bukan hal yang tidak mungkin kelompok-kelompok radikalis semakin leluasa merekrut mahasiswa untuk dijadikan tumbal-tumbal khilafah.
Propaganda Ideologis
Kelompok-kelompok radikalis memiliki mekanisme yang terstruktur dalam hal rekruitmen. Proses perekrutan, jaringan hingga pemberdayaan jaringan mereka pun dilakukan secara terorganisir. Dengan dalih membimbing mahasiswa mendalami kajian keislaman, dan jaminan jabatan strategis kampus, mahasiswa yang terkesan “polos” menjadi lahan potensial kaderisasi. Kecenderungan mereka lebih banyak melakukan propaganda-propaganda ideologi. Di sinilah pencucian otak dilakukan dengan begitu kuatnya.
Di berbagai kampus, mereka gencar melakukan kegiatan-kegiatan yang seolah-olah bersifat kemahasiswaan. Bahkan, mereka seolah-olah mengapresiasi NKRI dan Pancasila sebagai ideologi yang final. Akan tetapi, langkah tersebut hanyalah sebuah strategi agar banyak di antara mahasiswa tertarik bergabung.
Dalam situasi seperti itulah proses awal pengkaderan dimulai. Dari kaderisasi yang massif muncullah kader-kader militan yang siap memberikan segala-galanya demi ideologi yang sudah tertanam kuat dalam pikiran mereka. Digelarlah sejumlah kegiatan untuk menyatukan visi bahwa mereka adalah pejuang-pejuang yang siap berjihad di bumi Indonesia yang dianggap sekuler dan kafir. Untuk menyembunyikan “pemberontakan” besarnya, mereka menamakan kegiatan tersebut sebagai halaqah atau liqo’, yang berarti lingkaran atau pertemuan.
Radikalisme adalah kejahatan serius yang tidak bisa dibiarkan keberadaan dan keberlangsungannya. Kampus sebagai agensi, harus merespon hal ini secara serius. Ini adalah bukti nyata yang tidak bisa disangkal. Perlu campur tangan dari semua pihak civitas akademika, khususnya birokrasi kampus, dalam melakukan kontrol terhadap kegiatan-kegiatan kemahasiswaan, yang bahkan muatannya cenderung mengarah kepada doktrinasi intoleransi yang akan memecah-belah NKRI.
Disamping itu, upaya membendung derasnya aliran radikaslisme yang tengah merasuk ke setiap sudut-sudut kampus, juga butuh peranan dosen di setiap ruang-ruang kelas dalam memberikan pemahaman, membimbing, sekaligus memberikan penyadaran terhadap mahasiswa-mahasiswa akan bahaya radikalime yang mengancam keberagaman dan keberagamaan di negeri ini.
*Pengamat sosial dan politik Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta