29.7 C
Jakarta
Array

Literasi Digital Generasi Milineal

Artikel Trending

Literasi Digital Generasi Milineal
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Era digital menggempur generasi milineal Indonesia. Mereka mengalami gegap gempita gempa informasi di dua ujung mata pisau. Sisi pertama, memberikan keleluasaan mengetahui informasi apapun di dunia maya dalam rangka menambah ilmu pengetahun. Sisi hitam, melahirkan produsen hoax  yang juga di konsumsi oleh insan muda-mudi.

Hoax merupakan salah  satu sinyal kepada generasi milineal untuk melakukan rekonstruksi mengenai penerimaan setiap informasi dari dunia maya. Banjir informasi menuntut salah satu agen perubahan bangsa, yaitu pemuda untuk melakukan literasi media sejak dini. Sebagai upaya melakukan kontra-hoax dan mendewasakan pengguna internet dikalangan generasi milineal. Langkah apa saja yang bisa ditempuh oleh generasi milineal dalam gerakan literasi media ?

Kupperschmidt’s (2000) mendefinisikan generasi adalah individu-individu yang berada dalam kelompok berdasarkan faktor-faktor berupa, periode tahun kelahiran, umur, geografi, serta peristiwa sejarah dalam  anggota kelompok tersebut berpengaruh secara signifikan dalam fase pertumbuhan mereka.

Terdapat satu garis simultan dalam kategorisasi generasi berupa peristiwa sejarah. Ia mempererat ingatan senasib dan sepenanggungan guna membentuk pola psikologi dalam menghadapi situasi di masa yang akan datang.  Bentukan itu memiliki kekuatan menggerakkan persepsi yang akan mendominasi teritori. Dampaknya terhadap pilihan sikap budaya, ekonomi, dan politik individu-individu.

Generasi milineal. Satu dari tiga kategorisasi yang disampaikan oleh  Bencsik , Csikos, dan Juhas (2016) dalam artikelnya Y and Z Generations at workplaces, bahwa generasi Y berdasarkan periode kelahiran pada tahun 1980-1995 sedangkan Z pada tahun 1995-2010. Masih menurut Benchik dan Machova (2016) dalam Knowledge Sharing Problems from the Viewpoint of Intergeneration Management. Penguasaan informasi dan tekonologi bagi generasi milineal menjadi satu paket dalam kehidupan. Bersatunya dalam “kampung global” di dunia maya memberikan efek pada nilai dan cara pandang yang berpengaruh pada laku hidup.

Salah satunya problem di dunia maya adalah penyebaran hoax. Hoax yang membanjiri media sosial membuat kondisi generasi muda sebagai produsen sekaligus konsumen harus memberikan sentuhan berupa literasi media antar pengguna media sosial memberi manfaat kepada lainnya.

Arus deras informasi bodong  menurut survei Mastel tahun 2017 sebaran teratas ditemui di media sosial (facebook, twiiter, path, dan instagram) sebanyak 92,40% disusul aplikasi pengirim pesan dengan presentase 62,80%.   Media sosial dan aplikasi pengirim pesan, merupakan dua dari sekian aplikasi yang berulang kali di buka oleh pemilik gawai.

Media sosial dan aplikasi pengirim pesan menjadi wahana generasi milineal untuk mendapatkan kabar. Data CSIS pada tahun 2017 generasi milineal membaca berita melalui media sosial FB 81.7%, Twitter 23.7, Path 16.2%, dan aplikasi pengirim pesan whatshapp 70.36%. Bentuk-bentuk hoax yang muncul pun berupa tulisan ,10% -berita atau pesan berantai-, gambar sebanyak 37,50% -editan foto-, dan tak lebih dari 1% berupa video

Angka-angka di atas mepakan salah satu bukti fenomena diantara pengguna internet Indonesia pada tahun 2017 yang berjumlah 143, 26 juta -54,68% dari total penduduk Indonesia-   pun mengalami peningkatan 10,56 juta jiwa dari data 2016. Generasi milineal menempati urutan teratas perkara penggunaan internet dengan jumlah 94, 38 juta -66,20% dari seluruh pengguna internet di Indonesia-Presentase ini gambaran bahwa individu-individu milineal di Indonesia telah masuk pada zaman virtual.

Strategi Kaum Milineal

Perbedaan signifikan antara generasi milineal dan non milineal sebenarnya tidak begitu mencolok ketika dikatikan dengan persepsi politik. Milineal lebih memfokuskan pada kenyamanan atas akses media sosial, dimana platform tersebut berpotensi menggerakan dalam aspek politik dan ekonomi.

Kaum muda memiliki kewajiban untuk menggerakkan literasi digital melalui laman internet. Berfungsi sebagai kontraproduktif terhadap maraknya hoax yang berseliweran di dunia maya. Edukasi demikian penting untuk menjaga psikisologi pengguna internet, terutama generasi milineal yang memiliki karakter fleksibel terhadap perubahan.

Kemampuan memahami, menganilisis, mengatur serta mengevaluasi informasi yang diterima menggunakan teknologi digital adalah bagian dari literasi digital. (Maulana, 2015: 3). Efek positif dari kegiatan edukasi memberikan bekal kepada remaja akan perbedaan pendapat dari “dunia nyata” ke “dunia maya” sebagai sesuatu yang lumrah. Layaknya berkicau di dunia nyata, alam maya memberikan ruang dialektika untuk saling berbalas gagasan tanpa merujuk pada generalisasi SARA. Mengapa demikian ? Ketidakpekaan pengguna media sosial atas kebutuhan psikologi milineal yang haus akan informasi dibarengi dengan emosi cenderung fluktuatif dan tak terkendali. Justru berujung pada generalisasi informasi tanpa dibarengi kemampuan keutuhan informasi. Dampaknya adalah sikap dan karakter individu cenderung posesif.

Dialektika dalam literasi menekankan pada kemampuan pada khalayak umum agar memahami bahwa kebenaran pada media sangat relatif.  Perlu ada check-balance  dari media lainnya bagian mengolah kemampuan emosi, selain itu kematangan moral di alam maya pun menjadi konsekuensi bagi penggunanya itu sendiri. (Tamburaka Apriadi, 2013:13)

Ungkapan Zen RS atas kekurangpekaan terhadap kegiatan literasi, menurunya kegiatan baca adalah meningkatnya berkomentar Generasi milineal dengan segudang kemampuan di dalam menggerakkan dunia maya agar mengurangi sebaran hoax harus mampu membaca produksi narasi dari empat aspek.

Pertama, problematika bahasa yang sebenarnya multi-tafsir ketika sudah dilemparkan berupa narasi di dunia maya. Konten-konten yang berupa tulisan  telah diciptakan oleh pemilik laman tentu dengan aneka kode dan konvensi yang ia ingin sampaikan kepada  pengguna media sosial.

Persoalannya, ketika bahasa itu tidak dipahami sebagai retorika yang memiliki varian berupa eufimisme atau hiperbola. Warganet yang cenderung reaksioner akan sesegera mungkin menggerakkan jarinya entah membagikan atau berkomentar dengan caption yang mengajak lainnya untuk bersimpatik. Dalam kasus ini misalnya berita yang memiliki judul bombastis dan isinya tidak sesuai dengan judul.

Kedua, representasi media  hanyalah alat penyampai pesan. Pun media digital belum sepenuhnya merepresentasikan dunia nyata. Ia hanyalah satu alat yang digunakan oleh individu untuk bertukar informasi yang memiliki beragam interpretasi dan seleksi dari kenyataan.

Dalam kasus fake news, survei Mastel di tahun 2017 bahwa berita bohong 98,2% berupa politik disusul SARA sejumlah 88,60%. Presentase tersebut kurang lebih menggambarkan representasi fake news pada tataran politik dan SARA yang cukup mempengaruhi terhadap fondasi kebangsaan.

Ketiga, memberi edukasi pada setiap pembaca agar memahami konteks mengenai siapa yang berkomunikasi dengan siapa dan alasannya apa. Motif komunikasi ini terkadang disorientasi oleh warganet.

Keempat, kita harus memahami salah satu cara media menempatkan, menarget, dan merespon khalayak termasuk di dalamnya cara-cara  media digital mendapatkan informasi. Dari kahalyak inilah berkaitan dengan isu privasi dan keamanan pengguna.

Pemahaman akan aspek-aspek tersebut digunakan dalam melakukan kampanye untuk mendorong kontraproduktif terhadap sebaran hoax. Komunitas-komunitas kreatif ala milineal pun mengajak warganet melalui berbagai platform yang terbuka luas di dunia maya sebagai dialektika bukan sebagai “penghegemoni” atau “terhegemoni” atas informasi itu sendiri.

Upaya meningkatkan kegiatan membaca pun sebagai suatu kewajiban –bukan sekadar kaum terdidik- guna memotong jaring-jaring hoax  yang disadari atau tidak, kita berada dalam lingkaran tersebut. Mengajak anak-anak hingga orang tua untuk sadar akan kepentingan membaca sekaligus klarifikasi setiap berita yang diterima bukan di makan mentah-mentah.

Walhasil, generasi milineal mewarnai peradaban informasi di alam maya dengan mengajak warganet agar sadar akan hak dan kewajiban dalam menggunakan media. Tak mudah memproduksi tanpa klarifikasi, tak mudah berkomentar secara berlebihan, dan tak mudah membagikan sebelum menelusuri kebenaran. Kita sedang berada di masa jarimu karmamu.

Mengenal Harakatuna

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutnya

Artikel Terkait

Artikel Terbaru