27 C
Jakarta

Lelaki Feminin sebagai Penyimpangan, Haruskah Dinormalisasi?

Artikel Trending

KhazanahPerempuanLelaki Feminin sebagai Penyimpangan, Haruskah Dinormalisasi?
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Fenomena ini bukan tentang pria dengan sifat lembut bawaan, melainkan pria yang secara terang-terangan meniru perilaku perempuan hingga membingungkan identitas gendernya dan mengabaikan sifat kelelakiannya. Perlu kebijaksanaan dalam membedakan antara sifat alami dan perilaku yang menyimpang.

Masalahnya, perilaku ini sering disambut pujian dan dianggap biasa, dengan alasan kebebasan berekspresi. Beberapa bahkan menjadikannya konten viral yang lucu atau menarik perhatian. Namun, apakah fenomena ini sesuai dengan nilai-nilai agama kita? Sebagai umat Islam, patutkah kita membiarkan penyimpangan ini menjadi sesuatu yang dianggap wajar?

Fitrah Penciptaan

Menurut Islam, laki-laki dan perempuan diciptakan dengan peran dan sifat yang berbeda namun saling melengkapi. Allah SWT berfirman dalam surah al-Nisa’ [4]: 32:

وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللّٰهُ بِهٖ بَعْضَكُمْ عَلٰى بَعْضٍ ۗ لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبُوْا ۗ وَلِلنِّسَاۤءِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبْنَ ۗوَسْـَٔلُوا اللّٰهَ مِنْ فَضْلِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمًا

“Janganlah kamu berangan-angan (iri hati) terhadap apa yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Ayat ini menunjukkan bahwa perbedaan antara laki-laki dan perempuan mencakup lebih dari sekadar perbedaan biologis, tetapi juga peran dan tanggung jawab yang diberikan Allah. Islam menegaskan bahwa perbedaan ini menciptakan keseimbangan dalam kehidupan bermasyarakat dan berkeluarga. Jadi, ketika seorang laki-laki menunjukkan perilaku feminin, ia mengabaikan sifat maskulinnya, yang merupakan bagian dari fitrah yang telah ditetapkan.

Tidak Boleh Dinormalisasi!

Fenomena pria dengan perilaku feminin ini tidak boleh dinormalisasi karena jelas bertentangan dengan konsep gender dalam Islam. Rasulullah Saw. juga menekankan pentingnya menjaga perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Sebagaimana disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas:

BACA JUGA  Polemik Perempuan: Antara Kodrat atau Gender, Bagaimana Membedakannya?

“Allah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki” (HR. Bukhari no. 5.885).

Hadis ini menegaskan bahwa penyimpangan gender seperti perilaku pria yang feminin adalah sesuatu yang dilarang dalam Islam. Normalisasi perilaku ini bisa merusak tatanan sosial dan kepribadian yang seharusnya dijaga sesuai fitrah.

Dampak Sosial Normalisasi Lelaki Feminin

Normalisasi perilaku pria feminin ini tidak hanya bertentangan dengan ajaran agama, tetapi juga dapat berdampak negatif pada struktur sosial. Pria yang kehilangan sifat maskulinnya mungkin kesulitan menjalankan peran sebagai pemimpin dalam keluarga dan masyarakat. Hal ini dapat mengakibatkan disorientasi dalam peran sosial yang pada akhirnya bisa mengganggu kestabilan keluarga dan masyarakat.

Jika perilaku ini terus dianggap biasa, institusi keluarga bisa terancam. Ketika peran laki-laki dan perempuan kabur, keseimbangan dalam rumah tangga juga menjadi tidak stabil, dan peran kepemimpinan yang seharusnya diemban oleh laki-laki bisa terabaikan, yang pada akhirnya merusak harmoni keluarga.

Toleransi Salah Kaprah

Saat ini, sebagian masyarakat cenderung membenarkan semua perilaku atas nama toleransi dan pikiran terbuka. Toleransi memang penting, tetapi bukan berarti semua perilaku harus diterima begitu saja. Kebebasan individu tetap harus berjalan seiring dengan norma agama dan sosial. Kebebasan yang tidak didasari prinsip agama bisa merusak moral masyarakat. Islam adalah agama yang mengajarkan keseimbangan—kebebasan yang dibingkai oleh batasan syariat.

Maraknya fenomena lelaki feminin ini bukan hanya fenomena sosial, tetapi juga penyimpangan dari fitrah yang tidak seharusnya dinormalisasi. Fenomena ini seharusnya tidak diberi ruang atau apresiasi, karena semakin dipuji, semakin mereka merasa didukung. Tidak semua perilaku dapat diterima atas nama kebebasan atau toleransi, dan kita sebagai umat Islam harus cerdas memilah mana yang sesuai dengan syariat.

Rini Septiyani
Rini Septiyani
Mahasiswa Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru