29.7 C
Jakarta
Array

Lebaran dan Sindrom

Artikel Trending

Lebaran dan Sindrom
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Kumandang azan magrib nanti sore pastilah menjadi titik puncak kerinduan dibanding dengan magrib-magrib yang lain. Azan nanti menjadi rinduan bagi mereka yang berpuasa, namun setelahnya menjadi rinduan secara berlebih perkara azan magrib sore nanti merupakan azan perpisahan Ramadan. Hingga banyaklah ucap sana-sini tentang rindu akan datangnya dan enggan melepas Ramadan, secara langsung maupun melalui status di media sosial. Sesuai dengan zaman millenial sekarang, banyak kreativitas tertuang dalam mengungkapkan kerinduan tersebut. Kadang, ungkapannya seperti jeritan perut kosong.

Bersyukurlah orang yang tinggal di daerah dengan orang muslim yang banyak. Kami, para mahasiswa luar negeri dan pekerja migran Indonesia (PMI), merindukan akan suasana di kampung halaman yang mayoritas merupakan muslim. Azan selalu berserukan sebanyak 5 kali dengan nada bersaut-sautan nian harmonis. Sedang di sini, kekalau ingin mendengar azan, haruslah kita sendiri yang mengumandangkannya, karena masjid di Taiwan biasanya hanya 1 dan terletak di tengah kota. Harus juga bertoleransi, seperti halnya perkara azan subuh di masjid, tiada menggunakan pengeras suara.

Takbir belumlah berkumandang, namun gema takbir lebaran sudah bisa kita ilhami dengan betul-mahasiswa dan PMI yang masih menetap tinggal di negeri orang. Suasana saat melaksanakan buka bersama keluarga, melihat anak-anak melakukan takbir keliling dengan membawa obor, penat yang terindukan atas macetnya jalanan, melakukan ziarah bersama, dan suasana syahdunya bersalaman dengan hati fitrah yang bahkan ada yang sampai tersedu-sedu. Kami, benar-benar merindukan kampung halaman.

Namun, mata dan hati haruslah tetap menatap kedepan dengan tajam! Karena ini Taiwan, berbedalah kalendernya dengan Indonesia. Kalender pendidikan belumlah masuk musim liburan dan bagi para PMI haruslah ada yang mengisi pabrik guna melaksanakan proses produksi-kebutuhan industri. Teguhlah niat kami di sini dengan semua yang ada dan dengan apa adanya. Meluruskan niat, mahasiswa ingin membawakan perubahan untuk Indonesia dengan semua intelektualitasnya dan PMI ingin meningkatkan taraf kehidupan dan menyumbangkan devisa untuk Indonesia. Besok, akhirnya, kami mahasiswa Indonesia dan PMI sepakat untuk merayakan hari raya Idul Fitiri bersama, dan bersama dengan semua masyarakat muslim di Taiwan-antara lain dari Taiwan, Turkey, India, Pakistan, Thailand, dan Malaysia. Semuanya melebur menjadi satu, masyarakat muslim. Apa adanya, antara menetap dengan tidak bisa pergi itu beda tipis, tipis sekali!

Perihal yang kami rindukan tadi marilah kita katakan itu Sindrom lebaran, rindu akan suasana di kampung halaman beserta kebudayaan yang melingkupinya. Syindrome itu bisa mewakili rindu, namun tidak bisa sebaliknya, karena syindrome ini mewakili integritas, di mana suasana lebaran dengan kebudayaanya yang khas tidak bisa dilepaskan satu dengan yang lainnya. Bermula dari Ramadan beserta yang melingkupinya, saut-sautan suara bilal tarawih, bedug yang didendangkan setelah solat tarawih, juga tak lupa bunyi bedug yang berada di perut saat berpuasa, suasana kegiatan buka bersama yang menjadi ajang reuni. Kemudian lebaran itu sendiri, padusan (ritual mandi supaya menjadi fitrah) saat sehari sebelum datang tanggal 1 syawal, haru birunya saling bermaafan, suasana berziarah bersama sebagai wujud untuk mengingat pendahulu kita, juga suasana saling silaturahmi antar tetangga dan saudara-jauh maupun dekat. Oh iya, satu yang terlupakan, ialah ketupat lebaran!

“Kami memang pergi untuk membawa sebuah perubahan dan perkembangan, namun setidaknya ketika nanti pulang, izinkanlah kami untuk mengobati sindrom itu sewaktu pulang nanti,” tutur Parman (PMI) kepadaku, sembari mempersiapkan amplop putih yang banyak, entah apa itu isinya.

 

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru