26.3 C
Jakarta
Array

“Lawan” Pendidikan di Bumi Manusia

Artikel Trending

"Lawan" Pendidikan di Bumi Manusia
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
Kegiatan membaca bersama Komunitas Pamekasan Membaca (KOMPAK)

Bumi Manusia merupakan novel monumental yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer saat dia mendekam sebagai Tahanan Politik di Pulau Buru. Selanjutkan buku ini dikenal dengan sebutan Tetralogi Buru, disebut “Tetralogi” karena buku tersebut tumbuh diantara tiga saudaranya yang secara berurutan adalah Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, serta Rumah Kaca.

Novel gemuk sekaligus besar dalam pikiran manusia tersebut merupakan bentuk sajian besar tentang perjalanan sejarah perlawanan masyarakat Pribumi terhadap kebiasaan kepriyaian dan pemerintahan Kolonial Belanda. Sosok Minke dihadirkan oleh Pramoedya pada novel tersebut sebagai tokoh yang mempunyai peran penting dalam melakukan perubahan cara pandang terhadap kebiasaan-kebiasaan orang Jawa pada umumnya serta dari ketertindasan orang Pribumi oleh Kolonial Belanda menuju cara pandang yang modern.

Minke seorang priyai Pribumi yang menempuh pendidikan di sekolah HBS (Hoogere Burger School) milik Belanda, ia bisa menempuh pendidikan lantaran mempunyai latar keturunan berasal dari keluarga Priyayi. Seperti telah diketahui pada umumnya bahwa sekolah tersebut hanya menerima peserta didik yang berasal dari kalangan orang Belanda, Eropa, dan orang elite Pribumi. Dan Minke termasuk didalamnya.

Melalui perjalanan pendidikannya Minke yang digambarkan oleh Pramoedya sebagai bentuk propaganda perlawanan terhadap segala bentuk penindasan, baik penindasan secara fisik maupun secara pemikiran. Usaha pembebasan dan memperoleh kemerdekaan dengan jalan melompat jauh dari genangan kepandiran dan kepompong kejawaannya, merupakan dua hal utama yang harus Minke lawan. Sebab penindasan yang berlarut-larut terjadi pada bangsa Pribumi lantaran kepandiran yang melengket pada diri orang Pribumi ditambah lagi sistem patriarkis Jawa. Minke bersenjatakan pendidikan ingin menjebol dua persoalan yang harus diselesaikan. Pertama, menyelesaikan masalah kepriayaian Jawa yang cenderung feodal biar mampus. Kedua, membelah jiwa ke Eropa-an sebagai simbol dan kiblat ketinggian ilmu pengetahuan dan peradaban (Muhidin M Dahlan, 2016: 148).

Pendidikan merupakan sebuah gerakan yang dilakukan secara sengaja untuk membina keadaan kemanusiaan (sikap, pola laku, pola pikir, dll) baik secara jasmaniah maupun secara rohaniah demi tercapainya kondisi kemanusiaan yang lebih dewasa, inovatif, kritis dan dinamis. Sebagaimana yang dinyatakan Anas Salahuddin bahwa pendidikan merupakan proses mendidik, membina, mengendalikan, mengawasi, memengaruhi, dan menstranmisikan ilmu pengetahuan yang dilaksanakan oleh para pendidik kepada peserta didik untuk membebaskan kebodohan, meningkatkan pengetahuan, membentuk pengetahuan, dan membentuk kepribadian yang lebih baik dan bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari (Anas Salahuddin, 2011: 22).

Bertrand Russell menyatakan dengan apik bahwa pendidikan berperan penting dalam pengembangan proyek kemanusiaan. Katanya pendidikan bermaksud supaya manusia menginterprtasikan lingkungannya dengan tepat lewat pengetahuannya yang diperoleh dengan kecerdasan sehingga ia mampu melibatkan diri secara emosional, cinta, keramahan, dan keadilan pada sesama. Akhirnya, ia meraih kesadarannya agar mengembangkan kehendak dan kemampuannya untuk proyek-proyek kemanusiaan dan tidak mengalami kendala chauvinisme sempit (Siti Murtiningsih, 2004: 1).

Memandang piramida penindasan yang akhirnya akan terbentur dengan objektivisme dan subjektivisme. Akan menemukan kesulitan tersendiri  untuk melakukan gerakan. Mengantisipasi melalui tindakan aksi, hal ini akan menyeret pada aktivisme atau objektivisme. Sehingga diperlukan tindakan reflektif, namun yang demikian juga akan menyeret pada titik subjektivisme atau idealisme yang cenderung mengingkari dunia. Jadi, pilihan terbaik bagi strategi pembebasan dari piramida penindasan ini adalah integrasi tindakan praksis pembebasan, yaitu secara simultan melalui refleksi-kritis aksi refleksif. Dan skenario ini kata Freire hanya bisa dapat dilakukan melalui pendidikan (Siti Murtiningsih: 61).

Minke yang bersenjatakan pendidikan dengan visi seperti disebutkan pada alenia sebelumnya oleh Pramoedya disematkan pada dirinya sebagai pemeran revolusioner hero. Meskipun ada  tokoh lain yang oleh Pramoedya juga digambarkan berhasil bangkit dari ketertindasan, sebut saja itu adalah Nyai Ontosoroh. Dia perempuan yang harus mengorbankan masa kanak-kanaknya, sebab harus mematuhi perintah ayahnya yang telah menjadikannya gundik seorang Belanda pimpinan pabrik gula dimana ayahnya bekerja. Tapi dia berhasil bangkit dari ketertindasan itu atas dididikan yang diberikan oleh gundiknya sendiri, dia berhasil menemukan dirinya sebagai seorang perempuan Jawa yang lebih bermartabat. “Lamakelamaan aku merasa sederajat dengannya. Aku tak lagi malu bila toh terpaksa bertemu dengan kenalan lama. Segala yang kupelajari dan kukerjakan dalam selama satu tahun itu telah mengembalikan hargadiriku.” (Pramoedya Anan Toer, 2011: 130).

Jauh dari itu Minke sebagai revolusioner hero yang bersenjatakan pendidikan mulai membangkitkan dan menyadarkan orang-orang Pribumi agar keluar dari kepandiran dan kepompong kejawaannya. Setelah mendapat motivasi dari keluarga De la Croix bahwa dengan kekuatan ilmu pengetahuan dan sikap Keeropaan Minke yang tidak kebudak-budakan seperti orang Jawa pada umumnya, kelak bisa menjadi pemula untuk membangkitkan bangsanya yang sudah begitu rendah dan hina.

Menggunakan strategi membuat bahan bacaan terhadap masyarakat Pribumi Minke memulai melakukan gerakan perlawanannya. Minke dengan kemahirannya menulis memberikan pengajaran dan mendidik masyarakat Pribumi agar nilai kemanusiaannya yang selama ini direndahkan kembali ditinggikan. Meskipun gerakan tersebut mendapat pengerdilan dan teror dari pihak penguasa supaya Minke diputus sekolahnya, seperti pada pembelaan Magda Peters berikut; “Pekerjaan pendidikan dan pengajaran tak lain dari usaha kemanusiaan. Kalau seorang murid di luar sekolah telah menjadi pribadi berkemanusian seperti Minke, sebagaimana dibuktikan dalam tulisan-tulisannya terakhir, kemanusiaan sebagai faham, sebagai sikap, semestinya kita berterimakasih dan bersyukur, sekalipun saham kita terlalu amat kecil dalam pembentukan itu. Pribadi luar biasa memang dilahirkan oleh keadaan dan syarat-syarat luarbiasa seperti halnya pada Minke. Maka usulku: hendaknya dia diterima kembali sebagai siswa untuk dapat memberikan padanya dasar yang lebih kuat bagi perkembangannya di masa-masa mendatang” (Parmoedya: 2011).

Menciptakan budaya membaca dan rekontruksi sejarah dalam novel Tetralogi Buru bagi orang Pribumi merupakan inti pembuatan novel, hal ini dinyatakan oleh Chris GoGwilt. Dengan menciptakan budaya membaca sabagaimana dilakukan oleh Minke secara tidak sadar gerakan perlawanan terhadap penindasan telah dilakukan. Penulis menemukan perlawanan orang Pribumi terhadap penindasan pada tiga hal. Pertama, penindasan yang paling dekat pada diri orang Pribumi yaitu kebodohannya sendiri. Bahan bacaan yang diciptakan oleh Minke berhasil membuka mata hati dan pikiran orang pribumi baik tentang kemanusiaannya yang tertindas hingga keadilannya yang dirampas.

Kedua, penerapan pemikiran modern oleh Minke sendiri terhadap keningratan Jawa. Seperti tercermin pada kegundahan Minke saat menghadap pada Bupati B. Dalam keresahan itu Minke mengatakan “Apa guna belajar ilmu dan pengetahuan Eropa, kalau akhirnya toh harus merangkak, beringsut seperti keong dan menyembah seorang raja kecil yang barangkali butahuruf pula?”

Ketiga, pikiran orang Pribumi yang semakin meluas telah menemukan keberaniannya untuk menyampaikan pendapat terhadap pemerintah. Dibuktikan atas gerakan orang Pribumi muslim saat melakukan pengawalan kasus pernikahan Minke dengan Annelies yang diputus sewenang-wenang oleh pemerintah.

Minke ini yang kata Asisten Resident adalah seorang pemula dan gong bagi masyarakat Pribumi untuk bangkit dari kerendahan serta memberikan kehidupan dalam kelas. Melalui pendidikannya Minke orang yang tepat untuk melakukan perubahan terhadap bangsanya. Sebagaimana kata Freire bahwa pendidikan diciptakan untuk kehidupan di dalam kelas dan untuk mempergunakan pengetahuan dan transformasi sebagai senjata untuk mengubah dunia (Tim Redaksi Indopublika, 2017:7).

Akhirnya Minke mengungkapkan sendiri bahwa dari pendidikan ilmu pengetahuan yang diperoleh mampu membawa hidupnya yang tiada terhingga indahnya. Dan kesukaannya mencatat-catat membuatnya semakin sadar betapa bergunanya catatan yang dibuatnya itu. “Ilmu pengetahuan, yang kudapatkan dari sekolah dan kusaksikan sendiri pernyataannya dalam hidup, telah membikin pribadiku menjadi agak berbeda dari sebangsaku pada umumnya. Menyalahi wujudku sebagai seorang Jawa atau tidak aku pun tidak tahu. Dan justru pengalaman hidup sebagai orang Jawa berilmu pengetahuan Eropa yang mendorong aku suka mencatat-catat. Suatu kali akan berguna, seperti sekarang ini” (Pramoedya, 2011).

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru