30.1 C
Jakarta

Landasan Teologis Konsep Anti-Perang dalam Islam; Fathu Makkah Sebagai Sampel

Artikel Trending

KhazanahPerspektifLandasan Teologis Konsep Anti-Perang dalam Islam; Fathu Makkah Sebagai Sampel
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Rentetan perang atas nama agama yang terjadi sepanjang sejarah adalah fakta historis yang tak dapat disangkal. Hampir semua agama-agama besar di dunia pernah memiliki masa peperangannya sendiri, bahkan sebagiannya masih berperang hingga saat ini.

Walaupun Hinduisme memiliki ajaran anti-kekerasan (ahimsa), Kekristenan memiliki ajaran cinta-kasih Yesus, dan Islam memiliki ajaran rahmatan lil ‘alamīn; dalam rekam jejaknya agama-agama ini tak luput dari tindakan-tindakan kekerasan atau peperangan. Hal ini membuktikan adanya kesenjangan antara agama jika dilihat dari sudut pandang normatif dan agama jika dilihat dari sudut pandang praktis-historis.

Boleh jadi agama mengajarkan nilai kasih dan sayang namun para pemeluknya malah melakukan peperangan, mungkin kadang dengan label perang suci [holy war] seperti yang terjadi dalam Perang Salib.

Dalam sejarah awal Islam, akan ditemukan rentetan peperangan yang dilakukan oleh kaum Muslim baik melawan kaum kafir, seperti Perang Badar dll, maupun melawan sesama Muslim seperti perang Shiffin. Pasca-pemerintahan Khulafa’ al-Rasyidin, yaitu ketika Islam menjadi dinasti dan kerajaan di mana masih belum ada sistem yang mapan tentang demokrasi dan konsep negara-bangsa [nation-state], peperangan yang dilakukan oleh kaum Muslim tetap berlanjut.

Mungkin kenyataan inilah yang mendasari para ulama klasik membicarakan seluk-beluk berperang dalam kitab-kitab fikih mereka; mereka biasanya membuat satu bab khusus mengenai perang ini, yaitu bab al-Jihad. Namun pada masa kontemporer, di mana kondisi sosial-politik sangat berbeda ketika pada masa Rasulullah dan masa dinasti dan kerajaan Islam, para ulama meyakini bahwa hukum-hukum peperangan yang ada dalam fikih-fikih klasik sudah tidak lagi relevan untuk diterapkan.

Sebagaimana sebuah kaidah mengatakan, taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-azminah wa al-amkinah, bahwa perubahan hukum terjadi dengan berubahnya kondisi zaman dan tempat. Jika pada masa lalu peperangan adalah suatu kewajaran karena tidak adanya sistem baku tentang hukum negara dan hubungan diplomasi antar-negara, maka pada masa kini peperangan sudah seharusnya tidak lagi ada karena sistem demokrasi dan hukum internasional sudah lebih maju.

Kalau melihat kondisi masa lalu di mana kerajaan-kerajaan dan imperium-imperium menormalisasi perang, tidak heran jika Islam sebagai agama yang lahir dalam kondisi budaya tersebut mau tidak mau ikut terlibat. Namun hal yang menarik adalah, walaupun Islam melakukan sekian kali perang, khususnya pada masa Rasulullah, ia tidak pernah berperang untuk tujuan kolonialisasi.

Bahkan hampir seluruh perang yang dilakukan oleh Rasulullah adalah bentuk pertahanan diri terhadap kaum kafir maupun Ahli Kitab yang berkhianat. Hal ini membuktikan bahwa ajaran Islam terkait hubungan antarmanusia atau antar negara adalah hubungan kemaslahatan, adapun terdapat sesuatu yang akan mencederai kemaslahatan tersebut maka “terpaksa” akan menggunakan cara lain, yang pada hukum asalnya tidak diperbolehkan, misalnya berperang.

Sebagai contoh bagaimana Islam sesungguhnya menyikapi peperangan, akan dibahas secara singkat salah satu peristiwa penting yang terjadi di masa Rasulullah, yaitu Fathu Makkah, Pembebasan Kota Mekah. Sebelum tahun 630 waktu peristiwa ini terjadi, kaum Muslim telah menandatangani kesepakatan gencatan senjata dengan kaum kafir Quraisy dalam Perjanjian Hudaibiyah.

Namun dua klan yang memiliki sejarah konflik panjang di Mekah waktu itu, Bani Bakr dan Bani Khuzā’ah, berseteru dengan keras dan berakhir dengan dibunuhnya dua puluh orang Bani Khuzā’ah oleh Bani Bakr. Bani Bakr yang disokong oleh kaum kafir Quraisy merasa memiliki kekuatan untuk mendiskriminasi hingga membunuh Bani Khuza’ah, sekutu kaum Muslim.

BACA JUGA  Menghindari Tafsir Tekstual, Menyelamatkan Diri dari Radikalisme

Akhirnya kejadian ini diceritakan oleh utusan Bani Khuza’ah kepada Rasulullah, dan setelah memastikan kebenaran kejadian ini akhirnya Rasulullah mempersiapkan pasukan untuk melakukan pengepungan. Hal ini tentu saja merupakan reaksi yang wajar terhadap suatu pengkhianatan, apalagi pengkhianatannya adalah dengan membunuh anggota klan sekutu kaum Muslim.

Namun Rasulullah sama sekali tidak berniat menaklukkan kota Mekah dalam arti membalas dendamnya dan menindas warganya—hal yang tak dapat dibayangkan akan dilakukan oleh seorang penyayang. Beliau ingin melihat kota Mekah sebagai tempat suci yang aman bagi semua orang, tanpa penindasan dan juga kesyirikan.

Hal ini dapat terlihat salah satunya ketika di pertengahan menuju Fathu Makkah, pimpinan kaum Anshar bernama Sa’d bin ‘Ubadah berkata bahwa “hari ini adalah hari pembantaian, hari di mana Kakbah dihalalkan (bagi kaum Muslim untuk melakukan pembantaian di sana).” Perkataan Sa’d ini sampai di telinga Rasulullah dan beliau pun menegurnya, bahwa “Sa’d telah keliru, hari ini (justru) adalah hari di mana Allah memuliakan Kakbah.”

Ketika kaum Muslim telah mengepung kota Mekah, mereka tidak mendapati perlawanan dari kaum kafir Quraisy kecuali Khalid bin Walid, ia sempat menghadapi beberapa orang kafir Quraisy dan dapat membunuhnya. Ketika kaum Muslim memasuki kota Mekah, Abu Sufyan menyeru kepada kaum kafir Quraisy: “Wahai kaum Quraisy … siapa yang masuk rumah Abu Sufyan maka dia akan aman, siapa yang menutup pintu (rumahnya masing-masing) maka dia akan aman, dan siapa yang masuk masjid maka dia akan aman.”

Ketika itu juga orang-orang berhamburan ke dalam rumah mereka masing-masing dan ke dalam masjid. Rasulullah dan para rombongan kemudian menuju ke Kakbah dan bertawaf, sedangkan kaum kafir Quraisy bertanya-tanya apa gerangan yang nanti akan dilakukan oleh Rasulullah terhadap mereka, yang telah menyakiti hingga mengusirnya dulu. Namun ketika Rasulullah menghadap mereka, beliau bersabda, “Pergilah, karena kalian telah bebas (Idzhabū fa antum al-thulaqā’).”

Kalimat ini menandakan bahwa beliau telah memaafkan kekejian kaum kafir Quraisy terhadap beliau dulu, dan hal ini menandakan pula bahwa Rasulullah memiliki sifat pemaaf dan kasih sayang yang sangat agung. Alih-alih membalas dendam dengan membantai atau mengusir, beliau justru memaafkan dan mengasihi.

Peristiwa Fathu Makkah ini merupakan fragmen sejarah Islam yang memiliki faidah yang patut untuk direnungi, terutama terkait ajaran kasih-sayang dan toleransi yang terkandung di dalamnya. Kesimpulan yang dapat kita petik adalah, (1) bahwa rentetan peperangan yang terjadi di masa Rasulullah adalah peperangan dengan tujuan defensif, atau kalau tidak, dengan tujuan pengepungan dikarenakan lawan perang berkhianat atau mengingkari janji, seperti yang terjadi dalam Fathu Makkah.

Artinya ia tidak pernah bertujuan untuk hegemoni atau kolonialisasi; hal tersebut dikarenakan (2) ajaran-ajaran Islam yang termanifestasi dalam perilaku Rasulullah pada dasarnya adalah ajaran yang memiliki nilai keadilan dan perdamaian, bukannya kezaliman dan permusuhan; karena itu (3) nilai keadilan dan perdamaian yang diajarkan Islam seharusnya dapat diresapi dan dipraktikkan oleh kaum Muslim khususnya dalam konteks modern saat ini, baik dengan cara menjaga hubungan baik antar anggota masyarakat yang heterogen, maupun, dalam konteks politik, melakukan diplomasi atau kerjasama multilateral dengan negara-negara dunia.

Badrul Jihad
Badrul Jihad
Mahasiswa Yarmouk University, Yordania.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru