26.1 C
Jakarta

Labirin Wahabisme di Dunia Pendidikan Kita (I)

Artikel Trending

Milenial IslamLabirin Wahabisme di Dunia Pendidikan Kita (I)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Susur galur penyebaran pemahaman Salafi Wahabi di Institusi Indonesia terlalu panjang dan karena itu tak bisa diringkas dalam satu tulisan saja. Tulisan ini mencoba mendongkel pemahaman Salafi Wahabi yang sudah-akan-sedang terlanjur tersebar di pendidikan Indonesia.

Pertama-tama, mari kita lihat terbentuknya dan genealogis masuknya Salafi Wahabi di Indonesia. Pemahaman Salafi Wahabi adalah paham atau aliran yang dianut oleh Kerajaan Saudi. Bermula dengan penamaan Wahabi yang dinisbatkan kepada Muhammad Ibnu Abdul Wahab, yang lahir pada tahun 1115 H dan wafat pada tahun 1206 H.

Sedang penamaan atau pemberian kata Salafi, berasal dari kata as-salaf yang secara bahasa bermakna orang-orang yang mendahului atau hidup sebelum zaman ini. Secara terminologis, as-salaf adalah generasi yang dimulai dari para sahabat, tabi’in dan tabi’at tabi’in. Mereka adalah generasi yang disebut Nabi Saw sebagai generasi terbaik.

Tapi kata salafi ini berbeda dengan salaf yang diartikan banyak orang. Di wahabi sendiri, salafi dianggap salah satunya kelompok yang sangat super baik dan tidak ada tandingannya. Salafi di bawah Wahabi diporoskan kepada Muhammad Ibnu Abdul Wahab, meski kata tersebut juga digunakan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridlo, saat hendak membangun gerakan pembaharuan di Mesir. Kemudian dipopulerkan oleh Nashiruddin Al-bani (1980) di Madinah. Kemudian kata salafi ini mengalami pergerseran makna.

Sedang salafi di tempat lain (misalnya menurut orang NU), salafi dirujukkan kepada model pemahaman para penganut Islam awal, yaitu Nabi dan para Sahabat. Kelompok ini menggunakan istilah salafi karena bentuk kesetiaan pada ajaran imam dan mazhab yang berporos pada “ahlussunnah waljamaah”. Namun demikian, semua golongan termasuk Wahabi hari ini mengaku bermanhaj “ahlussunnah waljamaah”.

Perkembangan Wahabi

Saat itu, perkembangan paham Salafi Wahabi di Arab Saudi mengalami kepesatan. Bahkan tidak hanya di Saudi Arabiah, di Timur Tengah seperti Jordan dan Yaman mengalami lonjakan. Namun di dunia internasional paham Salafi Wahabi kurang diminati karena terlalu tertutup dan tidak kompateble dengan perkembengan zaman.

Paham Salafi Wahabi berkembang pesat ketika Arab Saudi membuka keran bagi para aktivis Islam untuk tinggal dan berserikat di dalamnya. Ikhwanul Muslimin berbondong-bondong menancapkan dirinya. Ia mulai menajamkan ajaran dan politiknya di sana. Ia diberi dan mengajar di beberapa pendidikan di Arab Saudi saat kebetulan kurang tenaga pendidikan. Masjid-masjid pun mereka kuasai.

Tak berselang lama, Ikhwanul Muslimin harus hengkang kaki dari Arab Saudi. Aktivis ini dianggap tidak tahu diri karena sering mengkritik kebijakan Raja Arab yang terlalu pro terhadap politik Amerika Serikat. Kemudian mereka harus ditumpaskan dan gagasan Sayyid Qutb dianggap sebagai keonaran dan alul bid’ah.

Pengedaran Wahabisme

Dari sanalah ulama Wahabi seperti Nashiruddin Al-Bani berusaha menakar jelmaan aktivis Ihkwanul Muslimin yang sudah mulai kuat dengan paham dan gerakan as-sahwah. Ia mempropagandakan umat untuk memurnikan ajaran Islam. Mereka harus kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis. Jika ingin beribadah dengan benar, mereka harus mengambil ajaran dari Al-Qur’an dan Hadis, dan tidak boleh mengambil dari ajaran lainnya, termasuk fiqih.

Fiqih menurut mereka adalah buah pemikiran manusia. Sesuatu yang lahir dari manusia harus ditolak karena tidak murni dari Islam. Maka demikian, menurut Wahabi, jika ingin hidupnya benar harus dengan hati dan seluruhnya kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah an sich. Karena ini pula, semua jalur-jalur di bawah naungan Wahabi, baik agama, politik, kebudayaan, dan pendidikan, menjadi sangat-sangat konservatif dan bahkan radikal.

BACA JUGA  Menjaga Toleransi dan Moderasi Bukan Perbuatan Tercela

Ajaran wahabi dijadikan kebijakan yang menyasar ke semua lembaga pemerintahan dan pendidikan. Di pemerintahan, seperti disinggung sebelumnya harus berpaham Wahabi dan itu konservatif. Demikian juga di lembaga pendidikan, apalagi keagamaan.

Tapi tak berhenti di situ, ajaran Salafi Wahabi harus dipahami, dipraktikkan, dan dipropagandakan. Di universitas-universitas di Arab Saudi, semuanya menjadi basis kaderisasi salafi wahabi. Maka kemudian, jika ada salah satu orang Indonesia keluaran universitas ini, bisa dipastikan (meski tidak semua) menjadi agen penyebaran salafi wahabi. Paling tidak pemikirannya cenderung tekstual-kaku.

Apabila ingin menjadi bagian yang mempopulerkan ajarannya, maka tak tanggung-tanggung Arab Saudi dan Yaman akan memberi dukungan bantuan dan cuan yang sangat luar bisa fantastis, seperti Rabithah dan IIRO. Dari sini, orang-orang di dunia merasa terpantik untuk bergabung dan menjadi bagian dari gerakan Wahabisme ini. Maka lihatlah di Indonesia, hampir seratus lebih mungkin ribuan, pondok-pondok dan masjid berdiri yang mempopulerkan alias berafiliasi dengan Wahabi.

Di Indonesia sendiri, yang terkenal pondok pesantren Wahabi antara lain adalah: Ma’had Imam Bukhori – Solo, Ma’had Al-Ukhuwah – Sukoharjo, Ma’had Ibnu Abbas – Sragen, Ponpes Islam Al-Irsyad – Semarang, Ma’had Al-Furqon – Gresik, Ma’had Ali bin Abi Thalib – Surabaya, Sekolah Dirosah Islamiyah – Sumbersari, Ma’had Al-Qudwah – Kediri, Ma’had Abu Huroiroh – Mataram, Ma’had Al-Furqon – Pekanbaru, Ponpes Salman Al-Farisi – Kediri, Ma’had Imam Syafi’i – Banyuwangi, Ma’had Minhajul Sunnah – Bogor, Yatim Ibnu Taimiyah – Bogor, Ma’had Hidayatunnajah – Bekasi, Ma’had Ibnu Hajar – Jakarta Timur, Ma’had Ibnu Qayyim Al Jauziyah – Balikpapan, Ma’had Ummahatul Mu’minin – Jakarta Pusat, Ma’had Riyadusholihin – Pandeglang, Ma’had Al-Ma’tuq – Sukabumi, Ma’had Rahmatika Al-Atsary – Subang, Ma’had Assunah – Cirebon, Ponpes Annajiyah – Bandung, Ma’had Assunnah – Tasikmalaya.

Lainnya adalah: Ma’had Ali Imam Syafi’i – Cilacap, Islamic Center Ibnu bin Baz – Bantul, Ma’had Jamilurrohman – Bantul, Ma’had Madinatul Qur’an – Bogor, Pondok Al Umm – Malang, Pondok Pesantren Imam Syafi’i – Aceh, Pondok Pesantren Ibnu Katsir – Jember, Sekolah Tinggi Dirasah, Yayaysan Madinatul Iman – Kudus, Yayasan Al Huda – Bogor, Pondok Pesantren Darul Atsar – Kedu Temanggung, Yayadan Al Muwahhidin – Surabaya.

Labirin Wahabisme

Begitu gampangnya Wahabisme masuk di institusi pendidikan Indonesia. Sebagaimana gampangnya masyarakat menerima ajaran Wahabi di dalam institusi dan kehidupan kita. Seolah masyarakat kita seperti hidup di padang pasir yang tidak mempunyai arah dan tujuan jelas akan kehidupan. Karena alasan itu mereka menerima siapa saja yang datang dengan serangkaian ideologi, tujuan, dan maksud di baliknya.

Yang sungguh memiriskan adalah bilamana ajaran Wahabi diterima dengan kesadaran penuh oleh masyarakat. Mereka ikut mengamini bahkan mempraktikkan di semua lini kehidupan sehingga semakin subur perubahan masyarakat ke arah yang lebih konservatif. Bahkan cenderung saling menyalahkan dan menuduh umat Islam lain telah menyimpang dari ajaran Islam sebelumnya meski sesama muslim. Dengan itu pula masyarakat kita begitu gampang melakukan praktik kekerasan.

Apalagi, kekerasan demikian ditopang dengan serangkaian mekanisme ideologi dan pendanaan yang berlebih. Ceruk itulah yang melenggangkan kapitalisasi kekerasan bersumber dari ideologi dalam tatanan sosial. Akhirnya, kelompok-kelompok yang rentan baik secara ideologi dan defisit sumber daya (dana) meski mayoritas, makin kalah, tak berdaya dan tercebur dalam labirin Wahabisme dalam formasi sosial, agama, maupun dalam dunia pendidikan.

Kita tak terima. Tapi itu faktanya.

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru