Harakatuna.com – Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang dihelat pada 23-26 November 2022 lalu telah sukses melahirkan beberapa rekomendasi dan keputusan progresif. Berbagai poin-poin penting hasil musyawarah tersebut dapat disarikan dalam dua hal penting; pelibatan perempuan dalam berbagai sektor strategis dan perlindungan hak-hak perempuan dari segala macam bentuk diskriminasi dan kekerasan.
Ikhtiar para perempuan hebat di negeri ini untuk bangkit dan terus berdaya patut diapresiasi. Bagaimanpun, langkah-langkah mereka untuk menembus batas-batas patriarkal bukan perkara mudah. Karena budaya kita—pada tatanan tertentu—masih mencerminkan dominasi kaum laki-laki, terutama yang banyak terjadi di berbagai kawasan pelosok yang belum mengalami pemerataan pendidikan. Gerakan-gerakan perubahan yang dimotori oleh kaum muslim perempuan akan membantu gerak cepat kemajuan bangsa ini secara berkeadilan dan tentunya tanpa diskriminasi.
Ada banyak isu-isu krusial kontemporer yang minim pelibatan perempuan. Gagasan-gagasan pencerahan yang digaungkan oleh sejumlah intelektual muslim perempuan—yang sebenarnya juga tak banyak—kerap kali dianggap penyimpangan, sehingga tak patut didengarkan.
Perempuan sering kali disalahpahami sebagai penggugat suatu tatanan mapan yang telah terbentuk dan mengakar sejak berabad-abad lamanya. Perempuan seolah terhalanag untuk mendefinisikan dirinya secara independen dan tanpa intervensi otoritas subversif di luar dirinya.
Saat pertama kali Islam datang, salah satu perubahan revolusioner yang dilakukan Nabi Muhammad adalah mengangkat martabat kaum perempuan dari jurang kenistaan. Bukan perkara mudah bagi Nabi Muhammad untuk menghapus tradisi yang sangat diskriminatif itu. Berbagai resistensi pun datang dari masyarakat Jahiliyah yang hanya menganggap perempuan sebagai makhluk hina. Misi pembebasan yang sangat mulia ini sayangnya kerap kali disalahpahami oleh sekelompok kalangan muslim konservatif.
Kelompok dalam barisan ini justru banyak terlibat dalam upaya melanggengkan tafsir-tafsir agama yang selalu menempatkan perempuan dalam titik persimpangan. Sikap-sikap bias semacam ini akhirnya menciptakan ketegangan hegemonik yang merusak relasi antara laki-laki dan perempuan.
Dampaknya jelas sangat fatal, sebab perempuan dan laki-laki menjadi saling berhadap-hadapan secara diametral, baik dalam relasi rumah tangga atau pun dalam relasi sosial. Dalam konteks ini, teks-teks agama dihadirkan secara sangat kaku untuk memosisikan perempuan sebagai objek yang tak berdaya, bukan sebagai subjek yang berdauat atas dirinya.
Untuk memulihkan keretakan relasi yang sangat distortif ini, peran-peran perempuan perlu mendapatkan panggung di ruang-ruang publik. Keterlibatan mereka dalam isu-isu penting dan strategis tidak hanya secara pasif, namun harus secara aktif. Artinya keterlibatan para perempuan bukan semata karena ketersediaan ruang bagi mereka, melainkan karena mereka sendiri secara sadar serta berdaulat atas diri mereka untuk ikut terlibat aktif dalam persoalan dan isu yang relevan bagi kehidupan mereka.
Untuk membuka keran-keran yang masih tersumbat, kehadiran para ulama dan kaum intelektual perempuat dalam arus utama wacana keislaman kontemporer menjadi tak terelakkan. Sudah saatnya kaum perempuan terdidik mengambil peran secara aktif untuk mengimbangi otoritas-otoritas keagamaan yang selama ini didominasi oleh kaum laki-laki, terutama dalam melahirkan fatwa yang didasarkan atas tafsir-tafsir kitab suci.
Pikiran-pikiran bernas kaum intelektual perempuan dari berbagai latar belakang pendidikan perlu mendapat perhatian serius. Cara terbaik untuk mengapresiasi pikiran-pikiran perempuan, tentu tidak hanya sekedar memberi akses ke berbagai saluran publik yang tersedia, melainkan dengan cara menguji pikiran-pikiran tersebut, agar dialektika intelektualisme antara kaum ulama laki-laki dan kaum ulama perempuan bisa setara dan bisa saling melengkapi, tanpa perlu saling menegasi satu sama lain.
Jika iklim kebudayaan semacam ini sudah terbentuk secara matang, baranagkali tak perlu menunggu 2045 bangsa ini mencapai masa keemasannya.
Kemajuan sebuah bangsa akan senantiasa beriringan dengan ketercerahan kaum perempuan. Seorang penyair ternama dari Mesir pernah mengatakan dalam salah satu bait puisinya, al-umm madrasah idza a’dadtaha, a’dadta sya’ban thayyib al-a’raqi (seorang ibu adalah madrasah, jika kau menyiapkan (madrasah) dengan baik, maka kau sudah menyiapkan generasi bangsa yang luhur).
Betapa sangat lalim suatu bangsa yang justru melanggengkan diskriminasi atas kaum perempuan, sedangkan kaum perempuan adalah penyangga utama bagi stabilitas suatu bangsa, sebagaimana dalam salah satu pribahasa Arab, al-nisa’ ‘imad al-bilad, idza shaluhat shaluha al-bilad, wa idza fasadat fasada al-bilad (kaum perempuan adalah tiang bagi tegaknya negara, jika tiangnya tegak, maka tegaklah negara, jika tiangnya rapuh, maka runtuhlah negara).
Melalui KUPI, pintu harapan tentang pemberdayaan perempuan tampaknya semakin terbuka lebar. KUPI telah menginisiasi langkah-langkah besar untuk melahirkan kaum perempuan yang tercerahkan.
Dengan segala tantangan era digital yang sangat disruptif serta dinamika sosial yang kompleks, KUPI mampu menyatukan simpul-simpul berbagai gerakan keperempuanan dari berbagai latar belakang menjadi gelombang perjuangan yang bergerak ke arah masa depan yang cerah dan penuh harapan.
Kini sudah saatnya kita berharap agar bangsa yang besar ini diasuh oleh sentuhan-sentuhan kasih sayang, terutama dari tangan-tangan kaum perempuan yang tercerahkan. Wallahua’lam.