29.7 C
Jakarta

Kritik Terhadap Islam Fundamentalis, Ektremis, dan Wahabi

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuKritik Terhadap Islam Fundamentalis, Ektremis, dan Wahabi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
Judul Buku: Dari Membela Tuhan ke Membela Manusia, Penulis: Prof. Dr. Aksin Wijaya, Penerbit: IRCiSoD, Tahun Terbit: 2023, ISBN: 978-623-8108-33-6, Halaman: 340, Peresensi: Bagis Syarof, S.H.

Harakatuna.com – Sejarah kekerasan yang dilakukan oleh sebagian orang Islam yang berpaham fundamentalis, ekstremis, dan Wahabi, sudah banyak memakan korban, baik dari kalangan muslim sendiri, atau non-Muslim. Di Indonesia, sudah banyak aksi mereka yang melukai saudara sesama manusia, mulai dari bom bali, pengeboman gereja, penutupan paksa tempat ibadah, dan lain-lain.

Di bulan Ramadhan seperti hari ini, mereka, Islam fundamentalis, mengusik orang-orang yang sedang mencari rezeki, membuka warung makan di siang hari. Mereka memaksa pencari nafkah keluarga tersebut, untuk menutup warung makannya dengan dalih menghormati umat Islam yang sedang berpuasa. Kenapa orang Islam minta dihormati karena sedang berpuasa, sedangkan orang Islam tidak bisa menghargai orang yang sedang mencari rezeki untuk keluarga?

Buku yang ditulis oleh Aksin Wijaya ini memberitahu kita bahwa, Islam yang cinta akan perdamaian, dirusak oleh kepentingan politik, hasrat untuk berkuasa. Fanatik terhadap agama, disertai hasrat besar untuk berkuasa, pasca wafatnya Nabi Muhammad S.A.W. mengawali perpecahan antar-umat muslim, pasca diangkatnya sahabat Ali bin Abi Thalib sebagai khilafah (pemimpin) umat pada saat itu.

Karena ada sebagian umat muslim yang ingin menggulingkan kekuasaan Ali bin Abi Thalib pada saat itu, maka mereka bersatu untuk memerangi kekuasaan. Kemudian terjadilah perang Siffin, kelompok pro Ali bin Abi Thalib, dan kelompok anti kekuasaan Ali, pimpinan Mu’awiyah. Perang tersebut kemudian menimbulkan kelompok baru dalam Islam pada saat itu. Adalah wahabi, dan khawarij.

Aksin Wijaya menjelaskan bahwa, kelompok khawarij, dan wahabi di atas, mempunyai ciri Islam yang kaku, intoleran, fundamentalis, dan tekstual. Bahkan misi politik mereka, adalah memperoleh kekuasaan dengan menafsirkan dalil-dalil Islam secara tektual, dan radikal.

Dua kelompok ektrem tersebut, menginginkan Islam yang berdasarkan Qur’an dan Hadits, tanpa melihat konteks masyarakat yang menganut islam. Mereka menolak metode ijtihad, untuk menyeleraskan antara dalil Qur’an dan Hadist, agar sesuai dengan budaya yang dianut masyarakat pemeluk agama Islam.

Pemeluk Islam yang fanatis, ekstremis seperti di atas, menurut Aksin, menjadi pemicu konflik, bahkan kekerasan antara umat islam, dengan umat islam lain yang berbeda pemahaman, atau dengan non Islam, karena kurangnya sikap menghargai orang yang berbeda pemahaman. Islam yang ekstrem tersebut berpedoman bahwa, membela Tuhan, lebih penting dari pada membela manusia.

Gus Dur dalam artikelnya, “Tuhan Tidak Perlu Dibela”, menuliskan bahwa ada seorang cendekiawan, lulusan kampus luar negeri, yang pulang ke Indonesia, setelah delapan tahun lamanya tinggal di negara orang yang tidak ada umat Islam sama sekali.

BACA JUGA  Trik Pintar Berdebat Dengan Wahabi

Cendekiawan tersebut lantas kaget dengan keadaan Islam yang ada di Indonesia pada saat itu. Karena dihadapkan dengan fenomena Islam fundamentalis, kaku, dan radikal. Dia resah dengan hal tersebut, kenapa wajah Islam begitu mengerikan, dan menakutkan.

Dari keresahannya, kemudian dia bertemu dengan guru tarekat yang berhasil mengobati keresahannya. Guru tersebut mengatakan bahwa, hal yang dapat merusak Islam tidak perlu diladeni (dipikirkan sampai segitu mumetnya), cukup lawan dengan informasi, dan ekspresi diri yang kontruktif.

Jadi, Tuhan tidak perlu dibela. Tuhan sudah Maha Kuasa, tanpa harus mendapatkan pembelaan dari makhluk-Nya. Yang perlu dilakukan saat ini, adalah menghargai sesama manusia atas pemikiran, dan pemahamannya, tanpa harus menghakimi, apalagi melakukan kekerasan terhadapnya. Menghargai manusia, sebagai ciptaan Tuhan adalah sama halnya menghargai—membela—Tuhan.

Buku Akwin Wijaya ingin membuka wawasan pembaca, bahwa Islam, tidak semengerikan, tidak sekejam yang dianut kaum Wahabi, ekstremis. Penulis memberikan informasi Islam dari wajah yang berbeda. Dalam buku tersebut, Aksin membandingkan berbagai pemikiran dari tokoh Islam konservatif, dan tokoh Islam sekuler. Penulis juga mengajak pembaca agar membaca kembali apa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad tentang Islam yang rahmatan lil alamin.

Pertama, dalam membentuk negara Madinah, Nabi mengiginkan masyarakat yang anti diskriminasi, kekerasan dan rasis, karena pada saat itu, tidak hanya muslim, akan tetapi juga ada non muslim. Maka Nabi pada saat itu, memimpin negara Madinah dengan tanpa membedakan antara umat muslim, dan bukan muslim. Semua dianggap sebagai masyarakat Madinah yang mempunyai hak yang sama sebagai warga negara.

Kedua, tauhid. Dalam perkara hidup bernegara, tauhid dimaknai sebagai kesatuan manusia dalam mewujudkan masyarakat setara dan berkeadilan. Jadi, orang yang percaya dan bertauhid kepada Allah, atau Tuhan yang dipercaya orang non muslim, dalam kehidupan kesehariannya, akan menjunjung tinggi, kesetaraan, tidak ada diskriminasi, rasis, dan lain-lain.

Ketiga, jihad. Dalam perkara bernegara, adalah berjuang untuk memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme. Jihad dalam hal ini, tidak dimaknai berperang membela agama, memerangi orang yang tidak bertauhid kepada Allah. Dalam bernegara, jihad adalah perjuangan agar memperoleh kesejahteraan bersama.

Aksin Wijaya, dalam buku ini, intinya ingin mengingatkan kepada pembaca, bahwa manusia di dunia diciptakan oleh Allah berbeda-beda. Perbedaan tersebut beragam, mulai dari agamanya, sukunya, negaranya, dan lain-lain. Sebagai sesama mahluk Allah, sudah seharusnya kita saling merangkul untuk memperoleh kehidupan, aman, damai, dan tentram, tanpa harus saling mengusik satu sama lain.

Bagis Syarof, S.H
Bagis Syarof, S.H
Alumni Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru