32.4 C
Jakarta

Kritik Ideologi Kelompok Jihadis; Telaah Kritis Hadis Qital

Artikel Trending

KhazanahPerspektifKritik Ideologi Kelompok Jihadis; Telaah Kritis Hadis Qital
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Eksistensi kelompok jihadis masih menghantui kerukunan yang terjalin di tengah-tengah masyarakat. Bukan hanya di Indonesia, seluruh dunia merasa resah akibat ulah mereka yang kerap kali mengarah kepada kerusakan.

Tidak hanya berakibat buruk kepada kenyamanan dan ketentraman masyarakat, aksi yang mereka lakukan juga berdampak buruk terhadap citra agama itu sendiri. Agama Islam yang punya jargon rahmatan lil ‘alamin luntur seketika akibat aksi serampangan sebagian kelompok yang tidak bertanggung  jawab tersebut. Semangat beragama yang disertai dangkalnya pemahaman terhadap postulat-postulat agama itu sendiri (dalam hal ini adalah jihad) menjadi pemicu utama lahirnya gerakan jihadis-teroris.

Untuk menghadapi masalah ini, diperlukan ada kerjasama dan sinergi dari berbagai pihak. Selain aksi nyata dari pihak berwajib, masyarakat umum juga harus ikut andil untuk menanggulangi masalah ini. Salah satu upaya yang bisa diakukan adalah dengan melawan dan mengimbangi narasi dan ideologi kaum jihadis.

Analisis Hadis Qital

Salah satu argumentasi yang dijadikan dalih oleh kelompok teroris-jihadis untuk menjustifikasi tindakan mereka adalah H.R. Bukhari Muslim yang secara leterlek memang  menyebut term perang. Rasulullah saw. bersabda:

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ، وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ، فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّ الإِسْلاَمِ، وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ

Artinya: Aku diperintah unuk mmerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan solat dan menunaikan zakat. Jika mereka lakukan yang demikian maka mereka telah memelihara darah dan harta mereka dariku kecuali dengan haq Islam dan perhitungan mereka ada pada Allah.” (HR. al-Bukhari-Muslim)

Hadis diatas kerap kali disalah pahami oleh sebagian orang sehingga tidak jarang dijadikan dalih untuk melegalkan tindakan teror dan kekerasan yang dilakukan. Ironisnya, mereka menganggap aksi teror yang dilakukan sebagai bentuk jihad fisabilillah. Dan ini tentu merusak citra jihad fisabilillah yang sejak awal disyariatkan untuk tujuan mulia dan harus dilakukan dengan cara yang mulia pula.

Secara periwayatan, validitas hadis diatas kiranya tidak perlu diragukan lagi. Hal ini karena hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim yang disepakati kautentikan periwayatannya oleh para ulama. selain dua Imam tersebut, riwayat serupa juga ditemukan dalam berbagai kitab hadis lainnya meski dengan redaksi yang sedikit berbeda tetapi secara esensi sama.

Hadis diatas harus dibaca dan dipahami dengan seksama agar pemahaman yang dihasilkan tidak serampangan. Perlu digaris bawahi bahwa hadis diatas sama sekali tidak menjustifikasi tindakan kelompok teroris-jihadis yang melakukan penyerangan terhadap golongan tertentu dalam situasi damai.

Perintah untuk memerangi manusia dalam hadis diatas berlaku sampai mereka mengucap dua kalimat syahadat dan telah melakukan rukun-rukun islam lainnya. Dengan kata lain, yang harus diperangi dalam hal ini adalah orang-orang musyrik. Lantas apa semua orang musyrik harus diperangi? Mari kita kaji dari aspek linguistik hadis tersebut.

Penggunaan diksi أُقَاتِلَ dalam hadis tersebut mengindikasikan bahwa yang diperintahkan adalah berperang, bukan membunuh apalagi terorisme. Dalam ajaran agama, perang (مقاتلة) tidak sama dengan membunuh (قتل). Dalam hal ini, Imam Syafi’i ra. pernah berkata:

لَيْسَ الْقِتَالُ من الْقَتْل بسبيل فقد يَحِلُّ قِتَالُ الرَّجُلِ وَلَا يَحِلُّ قَتْلُهُ

BACA JUGA  Refleksi Idulfitri: Membangun Jembatan Toleransi dan Menolak Paham Ekstrem

Artinya: perang sama sekali bukan bagian dari pembunuhan. sebab, terkadang memerangi seseorang dihalalkan disaat membunuh orang tersebut dilarang.

Dalam peperangan, harus ada proses timbal balik antara kedua belah pihak. Mereka harus sama-sama aktif dalam arti keduanya saling melakukan perlawanan terhadap yang lain. Hal ini berkaitan erat dengan redaksi أُقَاتِلَ yang dalam kaidah kebahasaan bermakna musyarakah. Artinya ada dua belah pihak yang melakukan aksi dan reaksi yang sama.

Penjelasan serupa juga dipaparkan oleh Imam Ibnu Daqiq al-‘Id. Beliau menjelaskan bahwa redaksi مقاتلة mengindikasikan adanya aksi yang sama dari dua belah pihak. Legalitas berperang jangan disalah pahami sebagai legalitas membunuh. Karena perang jelas beda dengan membunuh.

Ini artinya, perang dalam Islam dilegalkan manakala orang-orang musyrik tersebut menyerang umat muslim. Sedangkan non-muslim yang hidup berdampingan dengan umat muslim tidak boleh diperangi. Sebab, tujuan disyariatkannya jihad (perang) sebagai sarana untuk membela diri dan menghalau gangguan-gangguan fisik dari kaum kafir.

Hal ini sebagaimana dijelaskan Syaikh Wahbah al-Zuhaili dalam bahwa tujuan asasi dari peperangan dalam Islam adalah menjujung tinggi ajaran Allah swt. serta melindungi pemeluk agama itu sendiri. Maka dari itu, ia disyariatkan untuk membela jiwa, harta dan tanah air dan kehormatan. Bukan untuk menumpahkan darah dan menebar permusuhan.

Berinteraksi dengan non-Muslim

Islam mengajarkan umatnya untuk senantiasa berbuat baik bahkan terhadap non-muslim sekalipun. Menyakiti mereka dalam situasi damai (tidak sedang berperang) tidak dibenarkan dalam agama. Bahkan dalam satu hadis disebutkan bahwa siapapun yang menyakiti kafir dzimmi berarti telah menyakiti Rasulullah saw.

Rasulullah saw sebagai uswatun hasanah telah banyak memberikan teladan bagaimana seharusnya kita berinteraksi sosial dengan non-muslim. Syaikh Yusuf al-Qardhawi menjelaskan bahwa Rasulullah saw. tak segan-segan bergaul dengan non-muslim baik di Mekkah maupun di Madinah. Tidak jarang beliau bertandang kepada tetangganya yang non-muslim dan menjenguknya ketika sakit.

Dalam al-Quran, Allah swt. juga melegalkan kaum muslim bersikap dan berprilaku baik kepada non-muslim. Allah swt. berfirman:

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (8) إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Artinya: Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan mereka sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu dalam urusan agama dan mengusir kamu dari kampung halamanmu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang-orang yang zalim. Q.S. Al-Mumtahanah [60]: 8-9

Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa hadis diatas memang menjadi salah satu dalil disyariatkannya perang. Akan tetapi yang perlu digaris bawahi adalah pihak yang boleh diperangi hanya terbatas pada kaum musyrik yang melakukan perlawanan terhadap umat islam.

Dengan demikian, adalah sebuah kesalahan besar menjadikan hadis tersebut sebagai argumentasi untuk menjustufikasi aksi jihad dan teror kelompok ekstrem. Terlebih, hanya karena perbedaan pandangan, pihak yang menjadi sasaran jihadnya adalah sesama muslim yang jelas-jelas melaksanakan rukun-rukun Islam. wallahu a’lam

Muhammad Zainul Mujahid
Muhammad Zainul Mujahid
Peminat Kajian Fikih Ushul Fikih, Mahasantri Ma’had Aly Situbondo.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru