26.5 C
Jakarta

Kritik Atas Penolakan Muslimah Hizbut Tahrir Terhadap Kesetaraan Gender

Artikel Trending

CNRCTKritik Atas Penolakan Muslimah Hizbut Tahrir Terhadap Kesetaraan Gender
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Dari sekian banyak kelompok radikal dan teror, Muslimah Hizbut Tahrir yang konsisten dan getol menolak ide kesetaraan gender secara radikal dan menyeluruh, tanpa merinci realitas gender yang ada di dunia. Akibatnya, pandangan Muslimah Hizbut Tahrir jadi ambigu, bias, dan inkonsisten. Dengan menggunakan pendekatan penelitian gender instrumentalis (Mia Suciwati, 2020) akan menyibak satu per satu ambiguitas, bias dan inkonsistensi pandangan Muslimah Hizbut Tahrir tentang ide kesetaraan gender.

Pendekatan instrumentalis melihat peran laki-laki dan perempuan saling melengkapi satu sama lain di dalam mencapai tujuan organisasi. Pembedaan peran bersifat kodrati / alamiah yang dipengaruhi oleh sistem sosial budaya dimana anggota dan pengurus Hizbut Tahrir beraktivitas. Dengan pendekatan ini  ditelusuri interaksi antara stereotip gender dan peran laki-laki dan perempuan dalam organisasi. Apakah bertindak sebagai pendukung, perekrut atau propagandis.

Zeyno Baran Direktur the Center for Eurasian Policy dan peneliti senior pada the Hudson Institute, sebuah lembaga think tank di Washington D.C. Dalam  Hizb ut-Tahrir: Islam’s Political Insurgency (2004), mengatakan bahwa Hizbut Tahrir merupakan convenor belt bagi gerakan dan aksi terorisme. Maksudnya, Hizbut Tahrir menjadi pendukung, pendorong dan pemicu terorisme. Hizbut Tahrir bukan pelaku (aktor) utama.

Namun, pendapat Zeyno Baran terbantahkan oleh keterlibatan Hizbut Tahrir di kancah perang sipil di Suriah 2012. Hizbut Tahrir mendukung milisi-milisi bersenjata yang mau menggulingkan pemerintahan Assad, kemudian mendirikan khilafah. Utamanya milisi Jabhah Nushrah, milisi sunni terbesar yang berafiliasi kepada al-Qaida. Jabhah Nushrah termasuk organisasi teroris dalam daftar PBB. (Dina Y Sulaiman, 2020).

Di sisi lain, Hizbut Tahrir juga membentuk milisi-milisi sendiri dengan menggunakan berbagai nama samara dalam rangka kamuflase antara lain Brigade Anshar Al Syariah, Brigade Abdullah Ibn El-Zubeir, Brigade Rijalullah, Brigade As-Syahid Mustafa Abdul-Razzaq, Brigade Syaifur Rahman. Kesemuanya tergabung dalam koalisi brigade Liwa Anshar Khilafah (koalisi pendukung khilafah. (Ayik H, 2020). Atas dasar itu maka, ada relevansi antara Hizbut Tahrir dengan terorisme.

Hizbut Tahrir juga terkait erat dengan gerakan teror dalam pengertian menggunakan kekerasan untuk mencapai suatu tujuan politik karena Hizbut Tahrir mengadopsi konsep thalabun nushrah.  Konsep ini terinspirasi dari kegiatan Rasulullah Saw ketika berdakwah kepada para pembesar dan  pemimpin kabilah-kabilah di Arab yang dianggap memiliki kekuatan (ahlu quwwah). Merujuk kepada Sirah Nabawiyah. Hizbut Tahrir bukan gerakan dakwah dan politik yang bersih dari kekerasan sebagaimana persepsi publik. Ide dan metode kekerasan yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir erat kaitannya dengan tujuan akhir Hizbut Tahrir meraih puncak kekuasaan politik denga  cara-cara yang tidak demokratis dan konstitusional. (Ayik H, 2020).

Secara harfiah thalabun nushrah artinya mencari, meminta dan menuntut pertolongan. Maksudnya, Hizbut Tahrir mencari, meminta dan menuntut pertolongan kepada pemilik kekuatan untuk melindungan gerakan mereka dan untuk menjadi jalan meraih kekuasaan. Pemilik kekuatan yang di sini adalah pemilik kekuatan fisik dan persenjataan, yaitu perwira-perwira militer. (Ayik H, 2020).

Mansour Faqih (1996) mendefinisikan gender sebagai sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikontruksikan secara sosial kultural. Sifat-sifat tersebut, misalnya perempuan dikenal lemah, lembut, emosional, irasional, keibuan. Sedangkan laki-laki dianggap lebih bersifat rasional, kuat, kasar, jantan. Namun demikian, sifat-sifat yang ada pada laki-laki dan perempuan tersebut tidaklah mutlak. Pada kenyataanya, sifat-sifat tersebut dapat dipertukarkan. Dalam arti bahwa tidak tertutup kemungkinan ada laki-laki yang bersifat lemah, lembut, emosional bahkan keibuan. Sebaliknya tak jarang perempuan juga ada yang memiliki sifat rasional dan kuat. Sifat-sifat tersebut berubah dari waktu ke waktu dan berlainan dari satu tempat ke tempat lain. (M. Faqih, 1996 di dalam Wagiyo, 2019).

Pandangan yang ambigu, bias dan inkonsisten terhadap ide kesetaraan gender ditunjukkan oleh Dr Nazreen Nawaz seorang Jurubicara Hizbut Tahrir untuk kawasan Eropa sekaligus utusan resmi Amir Hizbut Tahrir untuk Muslimah Hizbut Tahrir di Indonesia, mengatakan di dalam artikelnya yang berjudul Feminisme: Serigala Berbulu Domba, bahwa Kesetaraan Gender dan ide-ide feminis lainnya juga disebarkan dengan kedok istilah manis seperti ‘pemberdayaan perempuan’, ‘hak-hak perempuan’ dan ‘keadilan gender’ untuk memikat perempuan dan masyarakat umum agar mendukung seruan mereka. Namun, ini adalah penipuan, karena eksperimen berbahaya dalam rekayasa sosial ini mengakibatkan berbagai konsekuensi yang berbahaya dan kesengsaraan yang tak terungkapkan bagi perempuan, anak-anak mereka, dan struktur keluarga umumnya, serta masyarakat secara keseluruhan.  (https://www.muslimahnews.com/2018/10/15/feminisme-serigala-berbulu-domba/.)

Padahal di dalam kitab resmi (mutabannat) Hizbut Tahrir yang berjudul Nizhamul Ijtima’i fil Islam (Sistem Pergaulan dalam Islam) karangan Taqiyuddin an-Nabhani dikatakan bahwa kaum laki-laki dan perempuan adalah makhluk Allah swt, dan dalam hal ini kedua belah pihak memiliki kedudukan yang sama. Islam menjelaskan tujuan hidup manusia yakni semata-mata untuk ibadah kepada Allah swt. (QS. 51: 56).

Peribadatan dilakukan dengan menaati perintah-perintah Allah swt dan menjauhi segala larangan-Nya. Atas dasar ukuran ketaatan ini seseorang akan dihisab pada Hari Penghisaban, untuk menentukan apakah ia akan mendapat hadiah (berupa) surga atau siksa di neraka. Hal ini terjadi, baik pada kaum laki-laki maupun kaum perempuan. Di hadapan Allah swt, kaum laki-laki dan perempuan mempunyai kedudukan yang sama. (Taqiyuddin an-Nabhani, 2015: Abu Fuad, 2019 hal. 4). Dalam pandangan resmi Hizbut Tahrir, laki-laki dan perempuan setara dihadapan Allah swt.

Penolakan Muslimah Hizbut Tahrir terhadap ide kesetaraan gender dilatarbelakangi oleh sentimen ideologi. Apa pun yang berasal dari Barat (pengemban ideologi Kapitalime-Sekuler) dianggap bertentangan dengan Islam, tanpa mengkaji secara konprehensif dan rinci. Buktinya, tanpa disadari, muslimah Hizbut Tahrir menentang jati diri organisasi mereka sendiri yaitu partai politik yang aktivitas utamanya adalah politik mengurus semua urusan publik. Hal ini sesuai dengan definis politik yang mereka adopsi yakni siyasah hiya ri’ayah su’unil ummah (politik adalah aktivitas mengurus semua urusan umat). (Abdul Qadim Zallum, 1994).

Di antara doktrin utama Hizbut Tahrir berbunyi kullun fikriyun syu’uriyun (semua satu pemikiran dan perasaan). Doktrin ini menegaskan bahwa tanpa memandang gender, semua anggota dan pengurus Hizbut Tahrir harus satu pemikiran dan perasaan. Secara ideologi, doktrin, ide, pemikiran dan kepemimpinan, Hizbut Tahrir itu satu. (Hizbut Tahrir, 1995, 2001). Kitab-kitab, selebaran dan aturan administrasi yang diadopsi juga sama.

Pada tataran suprastruktur dan infrastruktur ada kesetaraan gender sesama anggota dan pengurus. Anggota dan pengurus Hizbut Tahrir, laki-laki dan perempuan mempunyai kewajiban pokok yang sama. Seperti wajib mengikuti halaqah mingguan dan bulanan (usbu’iyah wa syahriyah), wajib mengisi halaqah bagi yang ditugaskan, membayar infaq bulanan yang tetap dan sukarela (iltizamat wa tabaru’at), menyebarkan selebaran (buletin, artikel, dll), mengunjungi tokoh-tokoh masyarakat (ittishalat fardhiyah), mengisi pengajian umum atas perintah pengurus, dan tugas-tugas khusus lainnya. (Hizbut Tahrir, 1995, 2001). Pada aspek keorganisasian dan keanggotaan, Hizbut Tahrir mengakui kesetaraan gender. Peran laki-laki dan perempuan di Hizbut Tahrir adalah sama yaitu sebagai perekrut dan propagandis.

Menurut Muslimah Hizbut Tahrir, aktivitas politik masuk ke dalam kehidupan umum yang bisa dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Akan tetapi, muslimah Hizbut Tahrir menolak kepemimpinan politik perempuan seperti perempuan menjadi kepala negara, perempuan menjadi kepala daerah, perempuan menjadi panglima militer, perempuan menjadi kepala kepolisian, perempuan menjadi kepala hakim dan sebagainya. (Hizbut Tahrir, 2005; Abu Fuad, 2018). Di sini terdapat ambigu, bias dan inkonsistensi muslimah Hizbut Tahrir.

Muslimah Hizbut Tahrir berpendapat tugas dan fungsi pokok perempuan adalah sebagai ummun wa rabbatul bait (ibu dan pengurus/pengelola rumah). (Taqiyuddin an-Nabhani, 2015: Abu Fuad, 2019: 36). Namun, muslimah Hizbut Tahrir acap kali meninggalkan kewajibannya ketika ada kegiatan publik misalnya mengisi pengajian, unjuk rasa dan kunjungan ke tokoh-tokoh wanita dengan alasan bahwa kegiatan-kegiatan tersebut lebih penting demi mencapai tujuan Hizbut Tahrir yaitu berdirinya khilafah Tahririyah.

Dr. Nazreen Nawaz keliru dalam memahami fakta feminisme. Katanya, Feminisme menciptakan keengganan terhadap pernikahan di antara banyak perempuan karena melihatnya sebagai struktur yang menindas dan patriarkal, yang lebih menguntungkan bagi laki-laki daripada perempuan dan di mana sebagai seorang istri, ia akan menjadi pelayanan dan diperbudak oleh suaminya. Hal ini juga mengakibatkan banyak perempuan yang melihat status sebagai istri dan ibu sebagai peran kelas dua, lebih rendah daripada mengejar karir dan pekerjaan. Bersamaan dengan itu, filosofi feminis menciptakan kecurigaan terhadap laki-laki dan ketakutan bahwa setelah menikah mereka akan diperlakukan tidak adil berkaitan dengan hak-hak mereka. Semua ini menyebabkan sejumlah besar perempuan menunda atau menolak pernikahan atau peran keibuan, dan karenanya, penurunan tingkat pernikahan dan kelahiran dalam populasi, menyebabkan masalah sosial dan demografi untuk berbagai negara, termasuk menciptakan ‘baby gap‘ dan lebih sedikit individu yang peduli kepada populasi yang menua. https://www.muslimahnews.com/2018/10/15/feminisme-serigala-berbulu-domba/.

Pendapat Dr. Nazreen Nawaz sangat simplisit. Dianggapnya semua feminisme adalah radikal dan ekstrim. Padahal faktanya tidak demikian. Feminisme mengakui lembaga perkawinan sebagai tempat kesetaraan gender di dalam menunaikan peran gendernya masing-masing. Perbedaan gender dipandang dengan paradigma Struktural Fungsional, bukan dengan paradigma konflik. Di sinilah kekeliruan muslimah Hizbut Tahrir. Bahkan di daerah-daerah yang menganut paham matrineal, contohnya di Padang, perkawinan tumbuh alami. Dominasi perempuan bukan penghalang bagi mereka untuk menikah. Penolakan muslimah Hizbut Tahrir terhadap ide kesetaraan gender dengan alasan merusak tatanan pernikahan, terbukti ambigu, bias dan inkonsisten.

Hizbut Tahrir mengharamkan demokrasi. Oleh sebab itu, Hizbut Tahrir menempuh jalan-jalan non konstitusional di dalam meraih kekuasaan yang menyebabkan Hizbut Tahrir menjadi organisasi terlarang. Mereka menyadari organisasinya adalah ancaman bagi sebuah negara. Hizbut Tahrir menjadi musuh dan lawan politik pemerintah dimana pun mereka berada. Anggota dan pengurus Hizbut Tahrir di beberapa negara menjadi buronan aparat.

Oleh karena itu, Hizbut Tahrir merancang strategi pertahanan organisasi agar tetap survive. Agar anggota dan pengurusnya tidak tangkap aparat semuanya, maka Hizbut Tahrir memisahkan struktur dan manajemen organisasi berdasarkan gender di suatu wilayah negara.

Di Indonesia, struktur organisasi laki-laki Hizbut Tahrir terpisah dari perempuan. Masing-masing memiliki pemimpin tertinggi. Pemimpin tertinggi laki-laki Hizbut Tahrir di Indonesia disebut Mas’ul ‘Am dan pemimpin tertinggi perempuan Hizbut Tahrir disebut Mas’ulah ‘Ammah. Keduanya di bawah kepemimpinan Amir Hizbut Tahrir.

Muslimah Hizbut Tahrir menerima kesamaan gender pada aspek struktur dan manajemen organisasi di level wilayah suatu negara, akan tetapi muslimah Hizbut Tahrir menolak kesamaan gender pada level kepemimpinan Hizbut Tahrir global. Menurut muslimah Hizbut Tahrir, perempuan tidak boleh menjadi Amir Hizbut Tahrir tingkat dunia. (Hizbut Tahrir, 1995; 2001). Demikianlah beberapa ambiguitas, bias dan inkonsistensi Muslimah Hizbut Tahrir terhadap kesetaraan gender.

Ayik Heriansyah
Ayik Heriansyah
Mahasiswa Kajian Terorisme SKSG UI, dan Direktur Eksekutif CNRCT

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru