34 C
Jakarta

Kritik Atas Akal Sakit Rocky Gerung

Artikel Trending

KhazanahOpiniKritik Atas Akal Sakit Rocky Gerung
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Rocky Gerung, seorang yang pernah tercatat menjadi Dosen Filsafat di Universitas Indonesia, muncul di tengah publik dan dielu-elukan sebagai sosok pembawa nama “Filsafat”, seolah wacananya menampilkan suatu sikap kritis dan kedalaman, pencerahan dan kebijaksanaan, bagi situasi perpolitikan (praktis) di tanah air. Dengan jargon “akal sehat” atau “berpolitik dengan akal sehat”, ia tampil seolah-olah mewakili kebenaran akal sehat di tengah politik praktis yang dikuasai oleh fanatisme, kultus tokoh, “hoax”, dan politisasi kebencian, seolah-olah ia tampil sebagai juru bicara “akal sehat” yang imparsial, tidak memihak, dan objektif.

Tapi benarkah demikian kenyataannya? Benarkah “akal sehat” butuh juru bicara yang bernama Rocky Gerung? Benarkah Rocky Gerung adalah representasi “akal sehat”? Sebagai pemerhati dan pegiat Filsafat, kami, nama-nama yang tertera di bawah ini, menyatakan keprihatinan politis atas manipulasi retorika dan konsep-konsep  filosofis oleh subjek bernama Rocky Gerung, atas argumen-argumen sebagai berikut:

1/ Berbagai pernyataan publik Rocky Gerung (RG) mengenai akal sehat, “fiksi kitab suci”, agama, dan politik, yang tertulis maupun tersampaikan secara lisan di media atau ruang-ruang publik lainnya, meletak di dalam suatu konteks politis, yaitu gelombang naiknya populisme Islam konservatif, khususnya pasca-kasus Ahok, di mana sentimen-sentimen agama dibakar dengan berbagai cara. “Kebaruan” RG adalah menawarkan retorika yang kedengaran konseptual, “canggih”, dan argumentatif, di tengah polemik kasus tersebut, demi mendekati kelompok-kelompok Islam yang berkepentingan di dalam kasus itu. Kini semakin jelas, menjelang Pilpres 2019, RG mendekat ke kubu Paslon Nomor 02. Wacana “akal sehat” yang dibawanya adalah kendaraan politik yang disetirnya ke sana kemari untuk mendulang air keruh di tengah kubu-kubu Pilpres yang sedang bertarung.

2/ RG mempolitisasi latar belakang dan reputasinya sebagai dosen Filsafat di sebuah kampus negeri ternama di Indonesia, dengan memberi kesan kepada publik bahwa omongannya adalah akademis, cendekia, dan filosofis, netral kepentingan politis (namun, adakah yang tidak politis di bawah kolong langit?), padahal tidak demikian adanya. Omongannya merupakan lontaran-lontaran gagasan yang tidak sistematis dan kabur – jauh dari karakter pemikiran seorang filsuf. Hingga rilis ini dibuat, RG tidak pernah menuliskan gagasannya secara ketat dan sistematik, untuk mengklarifikasi kepada publik apa yang dimaksudnya dengan “akal sehat”, dan memperdebatkannya di tengah komunitas pembaca filsafat, akademisi filsafat, dan komunitas ilmiah secara umum. Artinya, lontaran-lontaran gagasannya di bawah judul “akal sehat” belum teruji secara filosofis, namun gagasan mentahan ini sudah telanjur menjadi konsumsi publik dan masyarakat luas yang belum terbiasa dengan gaya dan alur berpikir Filsafat, sehingga cenderung menghipnotis dan punya efek manipulatif.

3/ Permasalahan kebangsaan yang kita hadapi saat ini, yang kompleks dan berdimensi luas, direduksi secara fatal dan brutal oleh RG seakan-akan hanya menjadi persoalan “akal sehat”. Padahal, negeri ini tak kekurangan orang yang mampu berpikir kritis, hanya saja ruang ekspresi mereka makin sempit karena diberangus dan dijerat oleh ancaman kriminalisasi, intimidasi, serta represi lainnya. Di balik problem “akal sehat”, ada problem ruang-ruang demokrasi yang secara struktural semakin sempit dari percakapan yang setara, cerdas, dan demokratis; dan secara politis, semakin sempit karena pengekangan Negara dan kelas berkuasa (Ruling Class) di bawah orkestrasi pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla lantaran kepentingan ekonomi-politiknya yang terusik oleh berbagai aksi, kritik, dan protes dari rakyat. Alih-alih mengkritik Negara dan aparatur represifnya, RG mengkritik Jokowi dan kubu Jokowi. Alih-alih membongkar dominasi ketakutan dan berjalannya mesin kekerasan terhadap ruang demokrasi, RG memainkan sentimen antar-golongan dengan membenturkan dua kelompok “pro-akal sehat” dan “anti-akal sehat”, seolah-olah “akal sehat” bersemayam pada satu kalangan tertentu saja. Pendekatan esensialis ini berbahaya. Ketika “akal sehat” diklaimnya dimiliki oleh satu kubu saja, yang sedang kita lihat bukan akal sehat, namun “fanatisme akan retorika akal sehat”, suatu tipe nalar yang sakit. RG adalah tipe intelektual yang sedang mengidap “akal sakit”, alih-alih “akal sehat”. Ia menjadikan “akal sehat” murni retorika tanpa bobot dan kedalaman, senjata pseudo-kritis untuk melakukan “blaming” atas pihak lain, mirip seperti rezim pemerintah otoriter yang kerap mem-“blaming” apa yang tidak disukainya sebagai “subversif”, “pembangkang”, dan lain-lain. Kami menilai, yang dilakukan RG saat ini adalah melakukan “politik pengambinghitaman” dengan memainkan istilah “akal sehat”, suatu tipe nalar yang sakit karena menghadapi lawan politiknya dengan “ressentiment”. Suatu tipe mentalitas budak, kata Nietzsche, karena melakukan pembelaan diri dengan menyerang membabi-buta siapapun yang dianggapnya lawan, tanpa secara kesatria menunjukkan kelemahan dirinya. Ini tak ubahnya retorika “Partai Allah” versus “Partai Setan” yang diucapkan para politisi. Kita tunggu apakah RG akan membuat “Partai Akal Sehat” versus “Partai Akal Sakit” menurut preferensi politiknya.

BACA JUGA  Pilpres, Momentum Berbaik Sangka Sesama Bangsa

4/ Pernyataan RG “kitab suci adalah fiksi” tidak bisa dilepaskan dari kontestasi di atas. Konteks frase itu adalah perdebatan soal “menista” kitab suci, menyusul statemen Ahok beberapa waktu silam. Pertama, ia memberi pseudo-argumen seolah-olah masalah Ahok sekadar masalah interpretasi atas kitab suci, sementara di lapangan lebih kompleks daripada sekadar interpretasi. Kedua, menyatakan “kitab suci adalah fiksi” berarti masuk ke dalam perdebatan yang melibatkan filsafat, teologi, dan sastra, dan RG tidak pernah serius memasuki gelanggang perdebatan itu untuk mengujinya bersama para filsuf, ahli teologi, dan kaum sastrawan di Indonesia. Ada dua kemungkinan: kita gowes menganggap frase itu sekadar omongan kosong; atau kita mengejar sistematika pemikiran di baliknya, dengan membuka kembali perdebatan dalam filsafat, teologi, dan sastra mengenai hakikat Kitab Suci. Kami memiliki pemikiran bahwa Kitab Suci bukanlah fiksi, karena di dalamnya banyak mengandung kisah-kisah faktual di masa lampau; ia memang ditulis dan dibaca secara sastrawi, namun bukan berarti ia adalah hasil imajinasi belaka, jika hal itu maksud RG dengan kata “fiksi”. Segala yang belum terjadi di dalam Kitab Suci bukan pula suatu fiksi, melainkan berita dan cakrawala harapan bagi kaum beriman. “Fiksi” dan “fiktif” hanya relevan bagi Kitab Suci dari sisi bentuk ekspresi sastrawinya, itu pun masih diperdebatkan, dan pesan Kitab Suci tentang masa depan. Lebih tepat, menyebut Kitab Suci sebagai “hermeneutis” daripada “fiksi”. Kitab Suci membuka ruang tafsir yang lebih kaya daripada karya fiksi atau non-fiksi oleh karya tangan manusia. Kami menolak RG dikriminalisasi atas lontarannya itu, karena kesalahan RG bukan pada sisi penistaan agamanya, tapi pada pemahamannya yang sepotong-potong tentang Kitab Suci, dan bias retorikanya yang membingungkan. Hal itu hanya bisa dibongkar melalui perdebatan filsafat yang otentik, alih-alih pemenjaraan.

5/ Fenomena RG membuktikan keperluan menggalakkan kajian-kajian filsafat yang serius, tidak berlumur retorika dan popularitas, karena dengan cara itu akal sehat dapat dipupuk di negeri ini. Kami mengecam segala tindakan represif pemberangusan diskusi-diskusi filsafat yang kerap terjadi di negeri ini, karena hal itu akan menyumbang lahirnya Rocky Gerung-Rocky Gerung yang baru, para badut filsafat yang, atas nama filsafat, bernarsis-ria untuk akumulasi modal simbolik para elite politik (oligarkh).

Rilis ini, dibuat tanpa pretensi mendukung kubu siapapun dalam pertarungan Pilpres 2019, bertujuan membuka kembali percakapan kritis mengenai situasi intelektualisme kita hari ini dan kepentingan yang mengitarinya.

“The free man, who lives among the ignorant, strives, as far as he can, to avoid receiving favours of them” (Spinoza, “The Ethics”, Part IV, Prop. LXX).

“Seorang manusia yang berjiwa bebas, yang hidup di antara orang-orang bodoh yang tidak menghargai pemikiran, sejauh ia bisa, akan menghindar untuk memperoleh dukungan mereka” (Spinoza, “Etika”, Bagian IV, Proposisi LXX)

*Muhammad Al-Fayyadl, Alumnus Filsafat Université de Paris-VIII

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru