27.7 C
Jakarta
spot_img

Krisis Literasi di Era Digital: Ketika Buku Kalah dengan Konten Instan

Artikel Trending

KhazanahLiterasiKrisis Literasi di Era Digital: Ketika Buku Kalah dengan Konten Instan
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Bayangkan ini: Anda sedang membaca buku yang menarik, tetapi tiba-tiba notifikasi dari ponsel berbunyi. “Ah, sebentar saja,” pikir Anda. Lima menit melihat media sosial berubah menjadi setengah jam, lalu sejam, dan akhirnya buku itu ditinggalkan begitu saja. Pernah mengalami hal ini? Jika iya, Anda tidak sendirian.

Saat ini, di tengah gempuran digitalisasi, kita hidup dalam paradoks. Akses terhadap informasi tidak pernah semudah ini, tetapi justru semakin sedikit orang yang membaca secara mendalam. Media sosial dan platform digital menjanjikan segalanya dalam hitungan detik—berita singkat, ringkasan buku, bahkan opini yang dikemas dalam satu paragraf atau satu menit video. 

Akibatnya, budaya baca yang membutuhkan ketekunan dan refleksi perlahan-lahan terkikis. Apakah ini sekadar evolusi alami, atau kita sedang menghadapi krisis literasi yang serius?

Literasi yang Sekarat: Fakta di Lapangan

Menurut UNESCO, tingkat literasi Indonesia memang meningkat dalam hal kemampuan membaca dasar, tetapi minat membaca masih sangat rendah. Data dari World’s Most Literate Nations (2016) menempatkan Indonesia di peringkat ke-60 dari 61 negara dalam hal minat baca. Sementara itu, survei Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) menunjukkan bahwa masyarakat kini lebih banyak menghabiskan waktu di media sosial dibandingkan membaca buku.

Ironisnya, semakin banyak orang merasa “tercerahkan” hanya dengan membaca judul berita atau kutipan dari buku populer tanpa pernah benar-benar memahami isinya. Informasi dikonsumsi secara dangkal dan instan, tanpa ada keinginan untuk menggali lebih dalam. Kita lebih sering menggulir layar daripada membaca, lebih suka menyukai unggahan daripada berpikir, lebih senang berdebat daripada memahami.

Ketika Media Sosial Mengubah Cara Kita Membaca

Perubahan ini bukan sekadar asumsi. Sebuah penelitian dalam jurnal Science Advances menemukan bahwa rentang perhatian manusia menurun drastis dalam dua dekade terakhir, seiring dengan meningkatnya konsumsi media sosial. Kita menjadi lebih tidak sabar, kurang fokus, dan lebih tertarik pada informasi yang disajikan secara cepat dan ringkas.

Ahli neurosains Maryanne Wolf dalam bukunya Reader, Come Home menjelaskan bahwa kebiasaan membaca di layar membuat otak terbiasa dengan pemrosesan informasi yang dangkal. Otak tidak lagi bekerja keras untuk memahami konsep kompleks karena sudah terbiasa dengan pola baca cepat dan lompat-lompat. Akibatnya, ketika dihadapkan dengan teks panjang seperti buku atau artikel ilmiah, banyak orang merasa bosan dan sulit berkonsentrasi.

BACA JUGA  Debut Baru Tahun 2025 Menerbitkan Karya Pertama, Intip Caranya

Apakah Ini Akhir dari Budaya Membaca?

Kita tentu tidak bisa menyalahkan teknologi sepenuhnya. Media sosial dan platform digital juga menawarkan peluang untuk menyebarkan literasi dalam bentuk baru, seperti audiobook, e-book, atau konten edukatif yang menarik. Namun, masalah utamanya adalah bagaimana kita menggunakannya.

Duta Baca Indonesia, Najwa Shihab, menegaskan bahwa literasi bukan sekadar kemampuan membaca, tetapi juga kemampuan berpikir kritis. Menurutnya, kita harus membangun kebiasaan membaca yang lebih sehat, misalnya dengan membatasi waktu media sosial dan menggantinya dengan membaca buku minimal 15–30 menit sehari. Ia juga menambahkan,

“Jika kamu ingin berbicara, banyaklah membaca. Jika kamu ingin didengar, banyaklah menulis.”

Menghidupkan Kembali Budaya Membaca di Era Digital

Lalu, bagaimana caranya agar budaya membaca tetap bertahan di tengah dominasi konten instan?

1. Batasi Konsumsi Konten Cepat

Jangan biarkan algoritma media sosial mendikte cara kita berpikir. Kurangi waktu menggulir layar dan gunakan untuk membaca buku atau artikel yang lebih berbobot.

2. Terapkan Deep Reading

Cobalah membaca tanpa gangguan selama 30 menit setiap hari untuk melatih otak agar kembali terbiasa dengan fokus dan pemahaman mendalam.

3. Pilih Buku yang Sesuai Minat

Banyak orang menganggap membaca sebagai aktivitas membosankan karena memilih buku yang tidak sesuai minat. Mulailah dengan genre yang menarik, lalu perlahan-lahan tantang diri sendiri dengan bacaan yang lebih kompleks.

4. Manfaatkan Teknologi untuk Literasi

Jika sulit menemukan waktu membaca, gunakan audiobook atau e-book. Daripada mendengarkan lagu sepanjang perjalanan, cobalah mendengarkan buku audio untuk memperkaya wawasan.

5. Buat Tantangan Membaca

Tantang diri untuk menyelesaikan satu buku dalam sebulan atau bergabung dalam komunitas membaca agar lebih termotivasi.

Kembalikan Kendali ke Tangan Kita

Era digital tidak akan berhenti berkembang, tetapi kita punya kendali atas cara menggunakannya. Jangan biarkan teknologi membentuk cara berpikir yang dangkal. Budaya membaca harus dipertahankan, bukan demi romantisme masa lalu, tetapi karena itu adalah fondasi bagi pemikiran yang kritis dan mendalam.

Seperti yang dikatakan oleh filsuf Francis Bacon,

“Reading maketh a full man.”

Jika kita ingin menjadi pribadi yang kaya wawasan, tidak cukup hanya sekadar melihat dan menggulir layar. Kita harus membaca, memahami, dan berpikir lebih dalam. Jadi, kapan terakhir kali Anda membaca buku sampai selesai?

Athi Suqya Rohmah
Athi Suqya Rohmah
Freelancer, mukim di Kebumen Jawa Tengah.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru