Harakatuna.com- Pencarian identitas yang dialami oleh seseorang terus terjadi sepanjang hidup. Kehilangan jati diri karena merasa stuck pada kondisi yang itu-itu saja merupakan masalah manusia modern beberapa waktu belakangan ini. Erich Fromm berpendapat bahwa manusia modern teknologi sangat bergantung pada teknologi. Segala aktivitas yang dilakukan setiap hari, tidak lepas dari bantuan teknologi, mulai dari makan, kerja, hingga bertahan hidup.
Kondisi ini menyebabkan manusia kehilangan kemampuan untuk berpikir secara kritis dan mandiri. Teknologi yang telah berkembang saat ini menjadi alat yang mempengaruhi perilaku dan pikiran manusia, sehingga manusia menjelma menjadi lebih seperti mesin dibandingkan dengan makhluk hidup. Melihat kondisi ini, bagi Fromm, manusia lebih gampang mengalami kehilangan makna dalam hidup dan merasa kosong serta tidak puas.
Jika mengartikan lebih jauh apa yang disampaikan Fromm, kiranya argumen tersebut sangat relevan dengan kondisi kita hari ini. Berbagai informasi yang disajikan di media sosial, mulai dari apa yang sedang viral, hingga informasi personal yang dijalani oleh seseorang, terkadang membuat kita menjadikan hal itu sebagai standar dalam kehidupan. Fenomena ini menciptakan rasa kosong dalam diri, apabila kita tidak bisa hidup sama seperti orang lain. Merasa tertinggal, tidak puas dengan pencapaian yang sudah dilakukan oleh diri sendiri, menjadi suatu kondisi yang dialami oleh manusia modern. Jika tidak mengelola/mengontrol sikap semacam ini, maka kita akan merasa teralienasi dari masyarakat ataupun lingkungan sekitar.
Kondisi ini juga bisa dikaitkan dengan agama yang dianut oleh seseorang. Dengan berbagai kejadian hidup atau pengalaman yang dialami, seseorang akan mengalami ketidakpastian, keraguan tentang keyakinan agamanya. Mulai dari perasaan bingung, gundah, tidak tenang, serta tidak merasa puas dengan ritual ibadah yang dilakukan selama ini. Dalam hal ini, seseorang bisa disebut mengalami krisis identitas agama.
Krisis identitas agama juga dipengaruhi oleh lingkungan sosia budaya, masalah pribadi yang tidak berujung, hingga keraguan akan kehidupan di masa depan. Seseorang yang mengalami krisis identitas agama akan terus mengalami keraguan dan kegalauan tentang keyakinan atau ritual-ritual yang selama ini dilakukan. Kondisi ini membuat seseorang bisa terjerat radikalisme karena, kelompok radikal menawarkan jawaban hal yang jelas dan pasti dari setiap keraguan yang dialami oleh seseorang.
Setiap orang yang mengalami kehilangan makna dan tujuan hidup, akan terjerat radikalisme karena kelompok radikal menawarkan tujuan yang jelas dan makna yang kuat tentang kehidupan. Radikalisme juga menawarkan solusi yang sederhana dan tegas dalam menghdapi konflik. Bagi seseorang yang memiliki kekurangan pengetahuan dan pemahaman, radikalisme adalah jalan yang solutif karena menawarkan pengetahuan yang salah atau sempit sehingga membuat mereka lebih mudah menentukan arah.
Kelompok radikal memiliki posisi yang jelas dalam menjelaskan agama bagi seseorang. Mereka mengklaim sebagai kelompok yang memiliki kebenaran absolut dan menganggap orang lain yang tidak sama dengan dirinya adalah salah. Tawaran-tawaran yang ditampilkan di media sosial, mulai dari masuk surga, konsep kehidupan, menjadi daya tawar yang tinggi bagi seseorang yang mengalami krisis identitas untuk bergabung di dalamnya.
Potensi seseorang terjerat radikalisme pada saat mengalami krisis identitas agama sangat besar. Media sosial menjadi wadah yang cukup ciamik dalam mempromosikan nilai-nilai radikal yang berdasarkan kelompok radikal. Pengetahuan, pendidikan, lingkungan sosial, bisa menjadi faktor seseorang tidak terjerat radikalisme sekalipun sedang mengalami krisis identitas agama. Oleh karena itu, seyogyanya kita harus terus belajar tentang agama dan kehidupan yang sangat kompleks ini, supaya tidak mudah terjebak dalam ajaran agama yang radikal. Wallahu A’lam.