25.4 C
Jakarta

Korupsi di Tengah Pandemi dan Narasi Khilafah

Artikel Trending

KhazanahTelaahKorupsi di Tengah Pandemi dan Narasi Khilafah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

“Dalam kekalutan, masih banyak tangan yang tega berbuat nista-[Ebiet G. Ade].” Sepenggal kalimat yang mengisyarakatkan kondisi saat ini. Begitu miris dan memalukan. Meski tindak kejahatan korupsi bukanlah kasus yang baru di NKRI, tetapi ini sangat memalukan lantaran dilakukan di tengah pandemi Covid-19. Dana yang dikorupsi pun berasal dari bantuan untuk korban Covid-19.

Dilansir dari Kompas, Juliary Batubara, Menteri Sosial, resmi menjadi tersangka, selanjutnya sedang menjalani proses penahanan, atas kasus dugaan suap bantuan sosial (bansos) penanganan pandemi Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek.

Memang , kasus korupsi tersebut bukanlah pertama yang terjadi di Negara kita. Tidak. Sebab sebelum itu, hampir ribuan kasus korupsi melanda negeri. Mirisnya, ini semakin menunjukkan betapa penyalahgunaan kekuasaan dilakukan oleh para elite politik yang diberikan amanah oleh rakyat.

Meski demikian, tanpa menegasikan seluruh elite politik yang ada. Saya yakin bahwa masih ada di antara elite politik yang bisa mengemban amanah dengan baik sesuai dengan harapan rakyat, bekerja untuk rakyat dan melakukannya untuk rakyat.

Islam Larang Korupsi

Agama Islam membagi istilah korupsi dalam beberapa macam, yakni risywah atau suap, saraqah atau pencurian, algasysy atau penipuan dan juga khianat atau pengkhianatan. Korupsi dalam dimensi suap atau risywah di dalam pandangan hukum Islam adalah perbuatan yang tercela dan juga menjadi dosa besar karena perusakan massal. Allah pun melaknat pelakunya. Allah sudah berfirman dalam Al-Qur’an.

“Hai orang-orang yang beriman, Jangan kamu memakan harta-harta saudaramu dengan cara yang batil, kecuali harta itu diperoleh dengan jalan dagang yang ada saling kerelaan dari antara kamu. Dan jangan kamu membunuh diri-diri kamu, karena sesungguhnya Allah Maha Pengasih kepadamu.” [QS An-Nisa’: 29]

Tidak hanya firman Allah, dalam sebuah hadis yakni: “Rasulullah Saw melaknat orang yang menyuap dan yang disuap.” (HR. Abu Dawud no. 3580)

Ajaran Islam melarang keras perbuatan yang merugikan orang lain, khususnya korupsi. Di Indonesia, kasus ini semakin menjamur, seolah-oleh menjadi budaya yang tidak bisa ditinggalkan oleh para wakil rakyat maupun pejabat pemerintah yang sudah diparcaya untuk memegang amanah dari rakyat.

Bertolak pada larangan Islam tentang tindak kejahatan korupsi, sejatinya para elite politik yang tersandung kasus demikian memahami bahwa Islam sudah melarang keras perbuatan yang merugikan, merapas hak orang lain bahkan  tindakan-tindakan keji lainnya.

BACA JUGA  Perubahan Tanpa Khilafah, Kenapa Tidak?

Akan tetapi, hal tersebut kembali pada pemahaman diri sendiri bagaimana menjadi seorang Muslim yang humanis, pejuang kemanusiaan, amanah jika diberi tanggung jawab, dan bisa merepresentasikan ajaran Islam dalam segala aspek kehidupan yang dijalani.

Menjamurnya Narasi Khilafah

Seruan kembali kepada khilafah memang sangat asik di tengah kegalauan masyarakat menghadapi Covid-19 lalu disuguhkan para elite politik yang memainkan momentum tersebut. Hal tersebut seolah-olah menjadi angin segar bagi masyarakat yang sudah jenuh dengan tingkah laku elite politik yang terus menampilkan drama dalam setiap momen yang ada.

Narasi kembali pada sistem khilafah dengan kejayaan Turki Utsmani masa silam, begitu membuat penuh dinding Facebook dan berbagai website yang menyajikan konten-konten tersebut. Kita dibuat mabuk agar bisa mendukung penuh dan mendorong agar Negara Indonesia bisa menganut sistem khilafah, lalu semua permasalahan akan selesai?

Dalam gagasan sebuah Negara agama atau teokrasi, orang yang mempopulerkannya adalam Santo (st.) Agustinus, seorang filsuf abad pertengahan. Agustinus memiliki konsep bahwa sebuah Negara harus didasari pada keagamaan.

Menurut Agustinus, Konsep negara dibagi menjadi dua. Pertama, Negara surgawi. Negara ini bersifat universal, ketatan pada hukum demi kebaikan bersama serta keadilan, dan kejujuran merupakan asas-asas fundamental negraa surgawi. Kedamaian adalah hal paling penting dalam sebuah unsur Negara surgawi. Namun, Negara surgawi ini tidak akan pernah ada, sebab ini hanya ada dalam bayangan Agustinus.

Kedua, Negara duniawi. Negara ini dijumpai secara empirik. Hal ini karena keebradaannya nyata. Di dalamnya terdapat keserakahan, paksaan, kebodohan dll. Kita tidak bisa memungkiri bahwa dalam sebuah Negara pasti ada praktik keserakahan, penghianatan, dll.

Hanya saja, kita tidak bisa menegasikan adanya orang-orang yang melakukan praktik kekuasaan dengan prinsip humanism yanag jelas-jelas sejalan dengan apa yang diajarkan oleh agama. Konsepsi sebuah Negara dan agama tidak bisa dipisahkan satu sama lain.

Namun apakah sistem khilafah akan menjadi jawaban dari berakhirnya tindak kejahatan korupsi? Tindak penghianatan dan kerusakan? Wallahu a’lam.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru