Harakatuna.com – Jika berbicara soal korupsi, di negara ini, rasanya muak sekali. Setiap hari ada saja berita tentang korupsi. Mulai dari pejabat paling atas hingga tataran RT/RW, semuanya tak terselamatkan. Korupsi ibarat sudah mendarah-daging. Dan yang lebih menyayat hati lagi, hukumannya ringan. Bayangkan, Harvey Moies, yang merugikan negara Rp300.000.000.000.000, hukumannya enam tahun. Aneh!
Belum lagi para elite partai yang sudah ketahuan korup namun dibiarkan. Innalillah. Rasanya sudah habis kata-kata untuk mengumpat, andai agama memperbolehkan misuh. Tidak karuan. Korupsi sudah berkuasa, bahkan lebih berkuasa dari penguasa itu sendiri. Namun, bukan para koruptor yang akan dibicarakan di sini, karena itu urusan negara. Di sini hanya akan dibahas, kira-kira, korupsi itu akan menyemarakkan terorisme apa tidak?
Pertanyaan tersebut lahir setelah saya membaca penelitian duo Daniel, yakni Daniel Meierrieks dan Daniel Auer, dalam artikelnya, Bribes and Bombs: The Effect of Corruption on Terrorism. Penelitian mereka terbit di American Political Science Review, yang dipublikasikan oleh Cambridge University Press pada Oktober 2024 lalu. Saya tertarik dengan temuan duo Daniel tersebut, maka saya pun akan mengulasnya di sini.
Menurut Daniel, korupsi politik memiliki dampak fatal terhadap aktivitas terorisme, berdasarkan surveinya di 175 negara antara tahun 1970 hingga 2018. Mereka menemukan, bahwa tingkat korupsi yang lebih tinggi menyebabkan peningkatan terorisme. Artinya, tingkat korupsi yang lebih tinggi menyebabkan peningkatan aktivitas teroris. Dan sebaliknya, semakin tidak korup suatu negara, indeks terorismenya semakin rendah.
Temuan menarik lainnya dari penelitian Daniel ialah: korupsi akan melemahkan kapasitas kontra-terorisme. Artinya, gara-gara korupsi, terorisme jadi lebih menarik bagi masyarakat dibandingkan dengan kontestasi damai—karena mereka kecewa secara sosial-politik. Temuan-temuan itu menarik diuji, dalam konteks Indonesia. Apa iya jika korupsi sudah merajalela seperti saat ini, berarti Indonesia tengah memantik semaraknya terorisme?
Temuan Riset Daniel; Sikap Saya
Ada empat temuan utama penelitian Daniel tentang pengaruh korupsi terhadap terorisme. Pertama, korupsi mengurangi kapasitas kontra-terorisme. Tingkat korupsi yang tinggi menyebabkan defisit sumber daya untuk mendanai kepolisian atau militer suatu negara. Selain itu, lewat korupsi, kelompok teroris bisa menyuap polisi, hakim, atau sipir penjara, hingga mempermudah aksi teror dan menumpulkan hukuman si teroris.
Kedua, korupsi menguntungkan para teroris. Kelompok teroris dapat menghasilkan pendapatan dari berbagai sumber, seiring meningkatnya korupsi. Dan ironisnya, meningkatnya pendapatan teroris akan meningkatkan serangan teror itu sendiri. Ketiga, korupsi mendegradasi partisipasi politik dan mengurangi kepercayaan publik serta legitimasi institusi politik. Artinya, korupsi membuat pemerintah mengalami public distrust.
Keempat, korupsi berdampak buruk pada penyediaan barang publik. Iklim korup membuat pendidikan, ekonomi, hingga politik kacau-balau dan semua yang berkenaan dengannya—ihwal pengadaan ataupun lainnya—akan memiliki kualitas yang buruk. Faktanya, penyediaan barang publik yang tak memadai akan mendorong meningkatnya aktivitas terorisme; para teroris akan berlagak hero untuk menangani masalah tersebut.
Temuan-temuan penelitian Daniel tersebut memberikan pandangan tajam terhadap persoalan global yang rumit. Ternyata, korupsi tidak sekadar mencederai legitimasi politik tetapi juga secara langsung mengeskalasi daya tarik terorisme itu sendiri. Ketika pemerintah korup, dua hal terjadi: terorisme jadi lebih rentan dan potensinya meningkat. Dari 175 negara yang Daniel teliti hasilnya konsisten: korupsi memperburuk risiko terorisme.
Menurut saya, itu menarik sekali. Bagaimana korupsi melemahkan kapasitas negara dalam melawan terorisme, merupakan sesuatu yang perlu disikapi serius, utamanya karena di negara ini, saat ini, korupsi sudah tak terkendali. Dana publik kerap tersedot ke kantong-kantong pribadi para elite korup. Masyarakat pun muak. Akibatnya, mereka bahkan kadang lebih percaya teroris daripada oknum pemerintah yang suka menilap uang rakyat.
Saya memandang temuan Daniel sebagai seruan untuk bertindak. Korupsi adalah dosa struktural yang menghancurkan kepercayaan sosial, meruntuhkan keadilan, dan membuka pintu kekerasan—teror. Jika ke depan indeks terorisme kembali meningkat, maka tidak bisa pemerintah hanya menyalahkan para teroris tanpa melihat bahwa mereka tumbuh di tengah ketidakadilan yang sistemik. Pemerintah yang korup adalah pemantik terorisme itu sendiri.
Lawan Terorisme dan Pemantiknya!
Penanganan terorisme tanpa melawan pemantiknya ibarat memotong cabang tanpa menyentuh akar. Riset Daniel menegaskan, akar utama terorisme di banyak negara, salah satunya, ialah korupsi. Ketika pejabat publik lebih mementingkan keuntungan pribadi daripada melayani rakyat, mereka menciptakan lingkungan yang subur bagi radikal-terorisme. Indonesia, ironisnya, kerap mengabaikan potensi tersebut.
Laporan dari Transparency International 2023 menempatkan negara ini pada peringkat ke-96 dalam indeks persepsi korupsi. Artinya, betapa akutnya masalah korupsi di tanah air. Sebagai contoh, jika anggaran pendidikan dikorupsi, dan generasi muda di wilayah pelosok kehilangan akses pendidikan berkualitas, siapa yang mau menyalahkan lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan kelompok radikal?
Kaum radikal kerap menawarkan ‘keadilan semu’ di atas penderitaan masyarakat. Dan ironisnya, masyarakat yang putus asa sangat rentan atas segala propaganda, apalagi propaganda yang seolah memberikan mereka solusi. Saya pikir, pemantik-pemantik terorisme yang semacam itu perlu menjadi atensi bersama. Jika masyarakat sudah sepenuhnya kehilangan kepercayaan, kontra-terorisme pun akan tumpul.
Untuk itu, saat ini, di negara ini, reformasi institusi publik menjadi sesuatu yang niscaya. Tikus-tikus di lumbung kementerian/lembaga harus dimusnahkan: baik dipenjara seumur hidup, dimiskinkan sampai semiskin-miskinnya, bahkan dihukum mati. Tidak ada cara lain. Lihatlah kelompok radikal dalam platform mereka: mereka tengah memelintir sistem ekonomi-politik yang korup sebagai senjata mempropagandakan ideologinya. Mengerikan.
Melawan terorisme bukan soal penguatan militer atau menangkap pelaku belaka. Lingkungan sosial-politik perlu juga dipastikan tak lagi mendukung tumbuhnya radikal-terorisme itu sendiri. Jangan tunggu rumah terbakar untuk menyalahkan api, tetapi pastikan tidak ada bensin yang tumpah. Korupsi adalah bensin itu, dan pemerintah-masyarakat mesti ambil peran memadamkan api terorisme sebelum ia sepenuhnya membakar Indonesia.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…