Sejak diterbitkannya SKB 3 menteri pada tanggal 3 Februari 2021, banyak sekali respon dari berbagai kalangan. Tuduhan demi tuduhan terus mengalir dan didapati oleh pemerintah, termasuk ketika diskusi dialog nasional 212 digelar pada 21/02/21 dengan tema “SKB 3 menteri bentuk Islamofobia, Mesti direvisi atau Dicabut!”.
Terlihat banyak elemen yang menjadi pembicara dalam webinar tersebut. Amin Rais misalnya. Ia menyebut bahwa SKB 3 menteri bersifat regimentation. Bagi Amin Rais, ada penguasa yang Islamfobia. Sehingga kondisi tersebut menyebabkan kehancuran demokrasi.
Munarman, yang turut menjadi pembicara pada webinar tersebut menyebut bahwa SKB 3 menteri ini adalah sikap berlebihan dari pemerintah. Padahal masalah tersebut hanya bersifat lokal, seharusnya tidak perlu berlebihan.
Berbagai respons dari tokoh NU yang diwakili oleh KH. Cholil Nafis dan tokoh Muhammadiyah (KH. Muhyidin Janedi) dalam forum tersebut menyerukan untuk semestinya SKB 3 menteri tersebut direvisi atau dicabut. Kritik ini baik, sebab ini berarti feedback atas penguasa menjadi seimbang, sehingga tercipta iklim demokrasi yang seimbang. Namun, tuduhan Islamofobia tidak semestinya berikan.
Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Seharusnya Terus Dijunjung
Kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia sudah jelas tercantum dalam UUD 1945, negara wajib melindungi akan hal tersebut. SKB 3 menteri seharusnya disadari sebagai wujud dari suara-suara minoritas yang selama ini mengalami berbagai perilaku yang seharusnya tidak ia terima sebagai warga negara yang tinggal di negara hukum yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan menghargai perbedaan.
Lain halnya ketika ada beberapa kelompok yang tidak setuuju dengan diterbitkannya SKB 3 Menteri, kritik dan saran membangun seharusnya diberikan untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara yang benar-benar menjami kekebasan beragam bagi rakyatnya.
Tuduhan bentuk Islamofobia, hingga sesat menyesatkan menjadi tidak etis ketika digencarkan oleh berbabagi kelompok, ormas, bahkan dari tokoh politik sendiri, ditambah dengan suara-suara dari kelompok ormas yang sudah dilarang oleh pemerintah. Tokoh-tokoh HTI yang sudah bisa dipastika bahwa suara yang dilontarkan dalam memberikan komentar SKB 3 menteri sudah pasti dilakukan untuk menyerang pemerintah anti agama, sekuler hingga tuduhan islamofobia yang justru menambah kegusaran publik, khususnya kepada Kementrian agama dalam mengambil kebijakan.
Inilah poin dimana rakyat harus jeli, tidak responsif. Tokoh agama di berbagai elemen, untuk tidak terlalu terburu-buru menanggapinya sebagai sesuatu yang menyimpang dari syariat Islam. Bahkan lebih jauh, SKB tersebut tidak diberlakukan di lingkungan pesantren, sekolah swasta dan sejenisnya, melainkan hanya untuk sekolah, lembaga pendidikan dibawah Kemendikbud saja. Sehingga ini yang semestinya dipahami oleh semua kalangan agar sikap yang tampil atas SKB tersebut adalah sewajarnya saja.
Sikap yang semestinya dicontoh adalah sikapMUI yang memberikan tanggapan terkait SKB 3 Menteri. Menurut MUI SKB 3 menteri perlu direvisi untuk menhindari berbagai kemungkinan buruk terjadi.
MUI dalam responnya mengomentari terkait pont kedua dari isi SKB 3 Menteri. etentuan yang memiliki implikasi adalah pemerintah daerah dan sekolah tidak boleh mewajibkan, memerintahkan mensyaratkan, dan mengimbau penggunaan seragam dengan kekhasan agama tertentu.
Menurut MUI, sekolah dapat memandang hal itu bagian dari proses pendidikan agama dan pembiasaan akhlak mulia terhadap peserta didik .
“Hal itu seharusnya diserahkan kepada sekolah, bermusyawarah dengan para pemangku kepentingan (stakeholders), termasuk komite sekolah, untuk mewajibkan atau tidak, mengimbau atau tidak. Pemerintah tidak perlu campur tangan pada aspek ini,” tulis tausiah tersebut (Kompas.com).
Sikap semacam ini harus menjadi cerminan bagi kelompok-kelompok yang tidak setuju dengan SKB 3 menteri, tuduhan Islamofobia yang digencarkan oleh kelompok-kelompok sebelah justru menambah kegencangan publik. Masyarakat akan semakin dilematis dengan berbagai pemangku kebijakan, narasi anti Islam yang dibalut dengan berbagai argumen terus menjadi konten apik untuk terus menyerukan NKRI Bersyariah dll.
Kelompok-kelompok HTI, dkk akan selalu mengambil celah yang di pemerintahan dalam melakukan berbagai upaya, kampanye negara khilafah, NKRI Bersyariah. Dengan populasi umat muslim yang besar di Indonesia, mereka memanfaatkan power tersebut secara masif di berbagai kesempatan. Wallahu a’lam