31.8 C
Jakarta
Array

Kontroversi Nasikh Mansukh dalam al-Qur’an (Bagian II)

Artikel Trending

Kontroversi Nasikh Mansukh dalam al-Qur'an (Bagian II)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Ulama yang paling terkenal dalam menolak naskh ialah Abû Muslim al-Asfahâni (w. 322 H/1365 M) menegaskan bahwa ayat dalam  surat al-Baqarah: 106 yang dijadikan argumen bagi ulama yang mendukung naskh, menurutnya sama sekali tidak memperkuat klaim tersebut, alasanya, ayat tersebut hanya mengungkapkan sebatas pengandaian bahwa apabila ada ayat yang di-naskh maka Allah akan datangkan yang lebih baik atau setidaknya yang sepadan dengan apa yang di-naksh, jadi yang ada hanya “pengandaian” bukan “kepastian”. Kalaupun terjadi naskh, yang me-naskh bukanlah manusia, melainkan Allah.

Selain al-Asfahâni, ulama yang menolak naskh, ialah Imam al-Râzi, Muhamad Abduh, Rasyid Ridha, Taufiq Siddiq dan Muhammad Qadari Bek, alasan penolakan mereka  adalah: pertama, kandungan surat al-Baqarah: 106 yang ditunjukan pada orang Yahudi, memiliki arti bahwa hukum-hukum yang terdapat dalam kitab suci sebelum al-Qur`an diganti yang lebih baik yakni dengan al-Qur`an, sedangkan surat al-Nahl: 101 yang ditunjukan pada orang kafir yang tidak percaya pada kerasulan Muhamad karena hukum-hukum yang ada dalam al-Qur`an berbeda dengan hukum-hukum yang ada dalam Taurat dan Injil, kalau al-Qur`an benar-benar datang dari Allah, pasti tidak akan berbeda dari isi kitab-kitab sebelmunya, oleh karena itu Allah menjawab bahwa Dia lebih tahu apa yang maslahat buat hamba-hambanya untuk setiap zaman.

Yang kedua, jika dalam al-Qur`an ada ayat yang mansukh  berarti dalam al-Qur`an terdapat keasalahan dan saling berlawanan, padahala al-Qur`an sendiri telah mengatakan “tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya”. Ketiga,  Rasulullah sendiri tidak menyebutkan adanya naskh dalam al-Qur`an, seandainya ada, tentu beliau akan menjelaskannya. Keempat, hadis-hadis yang dikatakan oleh para pendukung naskh sebagai penghapus ayat al-Qur`an seperti ”tidak ada wasiat bagi penerima waris” bukanlah hadis mutawatir melainkan hadis ahad yang tidak sedrajat dengan al-Qur`an, dan hadis ahad tidak punya kualifikasi untuk menjadi hujjah dalam menetapkan suatu hukum.

Kelima di kalangan pendukung naskh sendiri tidak ada kesepakatan dalam menentukan jumlah ayat-ayat yang mansukh. Menurut investigasi Mustafâ Zaid, jumlah ayat-ayat yang mansukh menurut Ibn Hazm 214 ayat, Al-Nuhhâs 134 ayat, Ibn Salâmah dan al-Ajhurî 213 ayat, Ibn Barakât 210 ayat, Ibn al-Jauzî 147 ayat, ‘Abd al-Qadîr al-Baghdâdî 66 ayat, al-Suyûti 22 ayat, al-Syaukânî 12 ayat, sedangkan menurut Waliyullah al-Dihlawî hanya 5 ayat itupun sudah dikompromikan oleh Sayyed Amir Ali.

Selain itu, menurut Abduh bahwa “ayat” dalam QS.al-Baqarah ayat 106 ditafsirkan secara metafor (majaz), yakni mukjizat, hal ini bisa dipahami dengan melihat ayat berikutnya, al-Baqarah ayat 107 dan 108, sebagai ayat jawaban dari permintaan orang-orang bani Israil dan pengikut Fir’aun yang menghendaki mukjizat khusus.

Hasbi ash-Shiddiqi (w.1975 M) juga menolak anggapan adanya naskh dalam al-Qur`an, dengan beberapa alasan. Pertama, tidak ada satu ayatpun yang mengatakan ke-mansûkh-an suatu ayat. Kedua,  hadis-hadis tentang naskh tidak memenuhi kriteria kesahihan sehingga tidak bisa dijadikan hujjah. Ketiga, tidak ada kesepakatan dikalangan ulama mengenai ke-mansûkh-an suatu ayat. Keempat, ke-mansûkh-an suatu ayat menjadi batal ketika pertentangan lahiriah antara ayat-ayat yang dianggap mansûkh dengan ayat-ayat nâsikh sudah bisa dihilangkan. Kelima, tidak ada hikmah dengan adanya ayat-ayt yang bisa di-naskh.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru