26.9 C
Jakarta

Kontroversi dalam Diskursus Keislaman

Artikel Trending

KhazanahOpiniKontroversi dalam Diskursus Keislaman
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Adalah KH. Abdurrahman Wahid yang, setelah berperan dalam membuka jalan para santri-santri nahdliyin untuk tak melulu seperti katak dalam tempurung, mesti merelakan untuk mengubur salah satu mimpinya untuk belajar kajian-kajian keislaman (Islamic Studies) di Universitas McGill, Kanada. Ijazahnya dari Universitas Baghdad ternyata tak diakui oleh salah satu universitas terkemuka itu.

Gus Dur yang Penuh Kontroversi

Sebagaimana yang kita tahu, Gus Dur adalah salah satu tokoh nahdliyin awal yang berupaya membantah citra klasik orang-orang nahdliyin sebagai kalangan konservatif yang selama ini terpampang dalam berbagai penelitian islamolog Barat klasik. Tak terpungkiri, Gus Dur merupakan simbol dari apa yang saya sebut santri kosmopolitan par excellence.

Gus DurGus Dur sungguh menguasai wacana-wacana pesantren klasik—bahkan sampai apa yang disebut sebagai “sisi gelap” dunia santri: jadzab, misteri para arwah, laku-laku, dan wirid tertentu—dan wacana-wacana kritis yang notabene berasal dari dunia Barat.

Banyak orang bercerita bahwa Gus Dur laksana cermin yang memantulkan kapasitas orang-orang yang berada di depannya. Andai kata Anda seorang sufi, ia akan seperti itu pula. Andai kata Anda seorang yang menguasai wacana-wacana kritis, ia pun tak akan kalah kritis daripada Anda.

Dengan kompleksitas diri yang seperti itu, yang mampu melintasi berbagai batas, tentu tak gampang orang merangketnya dalam satu kategori tunggal. Dan bagi kalangan kuper yang hidup dalam satu dimensi saja, tentu Gus Dur akan hadir sebagai sebuah kontroversi. Tak usah saya kisahkan sepak-terjangnya yang kontroversial dan membuat buah bibir sekaligus buah pena banyak orang.

Satu hal yang saya ingat adalah pembelaannya pada seorang yang dahulu dikenal sebagai sang gembong Jaringan Islam Liberal (JIL) yang pernah terganjal kasus dugaan penghinaan terhadap Nabi Muhammad. Sang gembong JIL itu, dengan konteks sosial-politik tengah menguatnya radikalisme Islam, berupaya menghadirkan nabi Muhammad secara humanistis.

Yakni, bahwa di samping Muhammad itu seorang Nabi, ia adalah juga seorang manusia biasa seperti kita. Status kenabian Muhammad tak pula mengurangi kadar kemanusiaannya yang sudah pasti terkungkung oleh konteks sosio-kultural masanya.

Pandangan-pandangan yang kritis semacam itu, saya kira, tentu akan menuai kontroversi di kalangan yang tak dapat membedakan antara Islam sebagai the way of life (yang dipeluk, diyakini, dan dilakoni) dan Islam sebagai sumber pengetahuan atau bahan kajian akademik. Pendekatan terakhir itulah yang lazim disebut sebagai kajian-kajian keislaman (Islamic Studies).

BACA JUGA  Pemilu 2024: Menyelamatkan Demokrasi dari Ancaman Radikalisme

Dalam kajian-kajian keislaman, Islam dilihat dan dikupas dari berbagai sudut-pandang: sosiologi, antropologi, sejarah, filsafat, psikologi, dan juga bahasa (hermeneutika). Sebuah kajian tentu saja memiliki beberapa kriteria untuk disebut sebagai kajian ilmiah: kritis, dapat diverifikasi, dapat difalsifikasi, dan seterusnya. Sebuah misal yang dapat menggambarkan pendekatan sekaligus tantangan kajian-kajian keislaman ini adalah kasus yang dialami oleh KH. Ahmad Muwaffiq yang viral beberapa waktu lalu.

Kontroversi Gus Muwaffiq

Dalam salah satu ceramahnya, kyai yang karib disapa Gus Muwaffiq itu mengupas kisah Nabi Muhammad yang ia bahasakan sebagai “rembes” laiknya manusia-manusia pada umumnya. Pendekatan kiai yang kuat logat jawatimurannya tersebut adalah menempatkan berbagai kisah Nabi Muhammad yang sarat dengan bahasa-bahasa sastrawi—metafora, hiperbola, dst.—secara proporsional.

Bagi kalangan yang tak akrab dengan wacana-wacana ilmiah tentu pendekatan seperti itu akan didamik sebagai lancang. Maka, di sini dapat dikatakan bahwa apa yang disebut sebagai kontroversi pada dasarnya bersifat relatif. Bahwa ketika dua dunia yang berbeda saling bersinggungan acap yang mencuat pertama kali adalah versi tandingan sebagai sebentuk mekanisme natural pertahanan diri ketika batas saling diretas.

Versi tandingan sebagai mekanisme natural pertahanan diri itulah yang merupakan esensi dari apa yang disebuat sebagai “kontroversi.” Maka di sini dapat disimpulkan bahwa pihak yang berkeberatan atas ceramah KH. Ahmad Muwaffiq sudah pasti bukan berasal dari umatnya atau komunitas yang memiliki “musical accord” atau kesepemahaman tak tertulis dengannya.

Bagi kalangan yang terbiasa dengan kajian-kajian kritis atau bahkan habitus yang serupa tentu ceramah yang bagi kalangan tertentudirasa menyinggung tersebut adalah biasa-biasa saja, tak perlu disikapi dengan reaksi yang berlebihan. Tak selamanya apa yang sering didengung-dengungkan sebagai “umat” itu mewakili keseluruhan orang. Ketika berbicara habitus, kita tak tak lagi berbicara tentang satu identitas administratif yang dapat dianggap tunggal dan sama.

Ketika dahulu sang gembong JIL, Ulil Abshar Abdalla, difatwa mati oleh sebagian orang, KH. Abdurrahman Wahid hanya mencatat. Selama salah satu menantu Gus Mus itu masih mengakui bahwa Allah itu Esa dan Muhammad adalah utusanNya, ia bukanlah seorang kafir. Terkadang, apalagi di zaman ketika populisme kanan meraja seperti dewasa ini, “kelancangan” seseorang di permukaan sampai harus menutupi jerit-tangisnya ketika dalam keheningan.

Heru Harjo Hutomo, Penulis, peneliti lepas, pemerhati radikalisme dan terorisme, menggambar dan bermain musik. Alumni Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) UGM, Yogyakarta.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru