32.9 C
Jakarta

Kontribusi Kitab Kuning dalam Menangkal Radikalisme dan Terorisme

Artikel Trending

KhazanahTelaahKontribusi Kitab Kuning dalam Menangkal Radikalisme dan Terorisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Indonesia merupakan negara Republik berasaskan Pancasila meskipun mayoritas penduduknya beragama Islam dengan basis utama penyebaran dakwah via pesantren yang berdiri di berbagai pelosok nusantara ini. Pesantren sebagai garda depan bagi penjangaan nilai-nilai keislaman yang mengedepankan nasionalisme dan sejarah telah membuktikannya, sudah sepatutnya pesantren memiliki peranan yang lebih penting dalam menjaga keutuhan NKRI dan menangkal lahir serta berkembangnya faham radikalis baik radikalisme agama dan lainnya. Jika pemahaman keagamaan kaum radikal ini keliru, maka pesantrenlah yang dapat meluruskan.

Di samping itu, sebagai lembaga keagamaan, pesantren justru lebih dekat dengan masyarakat ketimbang pendidikan formal, karena pesantren lebih mengedepankan kultur atau budaya. Itu artinya bahwa pesantren justru lebih dapat berinteraksi secara langsung dengan masyarakat dalam hal mensosialisasikan Islam yang terbuka dan selalu waspada terhadap bahaya radikalisme ini. Pesantren sebenarnya memiliki jaringan para ulama yang begitu luas, komunikasi antar pesantren juga merupakan mediasi penting yang dapat menyatukan pandangan yang seragam kepada masyarakat. Melakukan dialog, juga merupakan media yang sangat penting..(Rahmatul Izad, 2018)

Pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di nusantara bahkan dunia, selama ini dalam realisasinya telah memberikan kontribusi dalam merawat Islam di Indonesia dengan damai, tolen dan inklusif. Menurut dia peristiwa atau gerakan-gerakan yang bernuansa kekerasan selama ini terjadi bukanlah kultur asli Indonesia melainkan impor dari luar negeri.

Pesantren dengan santrinya dan kitab kuning sebagai rujukan utama dalam kajian kesehariannya, lebih menggunakan pendekatan kontekstualis dalam memahami teks, apakah itu dari al-Qur’an, Sunnah, atau dari kitab kuning, para santri mampu mendialogkan antara teks dan konteks, antara sisi historis dari teks dan bentuk kontekstualisasi dari penerapan teks tersebut di zaman yang lebih kekinian. Itu artinya bahwa kelompok radikalisme seringkali tidak mengerti tentang aspek-aspek historis dari kemunculan doktrin agama.

Umpamnya, dalam kajiannya, para santri lebih memaknai istilah jihad siyasah (politik) dalam konteks keindonesiaan. Karena memang penerakan sistem bernegara di Indonesia, sudah sangat dekat dengan cita rasa Islam. Seperti prinsip demokrasi dengan musyawarah, prinsip berketuhanan, berkeadilan, atapun citac-cita kesejahteraan bersama, tidaklah menyalahi aturan Islam yang baku, justru memiliki makna yang searah. Tidak sebagaimana kaum radikalisme yang bahkan dalam memaknai sistem pemilu tak lebih sebagai al-Intiqaf fil Islam (pemilu yang haram). Hal ini berbeda dengan sebagian kelompok yang mendegungkan khilafah dalam memahami persoalan ini. memahami teks termasuk kitab kuning yang juga mereka pelajari secara harfiah, parsial, dan hanya melihat apa yang nampak dipermukaan.

Jadi dasar epistemologi yang mereka pakai hanyalah melalui prinsip epistemologi bayani, yakni suatu pandangan yang hanya berdasarkan pada teks semata dan hanya melalui teks sajalah segala sesuatu dapat dijelaskan. Juga mereka tidak peduli betapa akal dan intuisi sangat berperan dalam memahami segala sesuatu.

Justru landasan epistemologi yang berbasis pada akal dan intuisi, dianggap tidak orisinal dan dapat meracuni cara pandang yang murni terhadap teks keagamaan. Mereka lebih menggunakan standart epistemologi yang keliru dalam memahami agama

BACA JUGA  Fenomena Misogini Online yang Dilakukan Para Aktivis Khilafah Terhadap Aktivis Perempuan

Di samping itu, budaya kekerasan bukan bagian dari karakter masyarakat Indonesia. Sejak dulu Indonesia memiliki keanekaragaman tetapi tetap menjaga kedamaian tidak terlepas dari peran pesantren.

Memperkuat Khazanah Pesantren untuk Atasi Radikalisme

Dalam khazanah dunia Pesantren secara masif mengajarkan Islam yang damai dan tidak keras. Santri dan santriwatinya selama ini mampu mengaplikasikan ilmu yang telah dipelajari melalui kitab-kitab seperti kitab kuning untuk disiarkan kepada masyarakat. Substansi di dalam kurikulum Pesantren juga mengajarkan Islam moderat secara tidak langsung menjadi penyangga Indonesia.

Hal ini karena selama ini Indonesia pernah dan masih menjadi target kelompok radikal. Alumni pesantren secara langsung maupun tidak langsung berperan menjadi agen Islam moderat. Mereka telah menyebar baik sebagai pengurus organisasi masyarakat maupun pejabat dan dapat berperan apapun demi menjaga kedamaian bangsa.

Kehadiran pesantren dengan ulama sang nahkodanya dalam masyarakat baik melalui majlis ilmu, dzikir maupun dakwah lainnya secara tidak langsung ikut mencegah paham radikal dan terorisme di Nusantara. Paham radikalisme tidak ada di lingkungan pesantren (dayah). Dunia pesantren secara umum mengajarkan konsep Tastafi (Tasawuf, Tauhid dan Fiqh).

Konsep dakwah ini perdana di cetus oleh Al-Mukarram Syekh H. Hasanoel Basri HG salah seorang ulama sepuh Aceh dan sosok Al-Mujaddid yang telah melahirkan banyak perubahan di dunia pendidikan khususnya dayah (pesantren) di Aceh. Keilmuan  santri did ayah diajarakan tastafi (tasawuf, tauhid dan fiqh).

Pesantren dengan kajian utama kitab kuning klasik yang telah melahirkan para ulama, tokoh lintas dimensi, bahkan pesantren punya peranan penting dan utama dalam meraih kemerdekaan bumi zamrud khatulistiwa ini. Pengorbanan baik jiwa dan raga yang telah direalisasikan dunia pesantren tidak terhitung jumlahnya. Semua ini tentunya lahir jihad dari kalangan pesantren tidak lain hanya satu bagaimana negeri ini bisa merdeka meskipun pasca kemerdekaan pesantren masih jauh tertinggal mendapatkan perhatian yang serius dan sempurna dibandingkan dunia pendidikan lainnya nonpesantren.

Santri setiap hari menggeluti turas klasik( kitab kuning) yang orientasi akhirnya mampu memahami ilmu dalam tiga dimensi dan mengamalkannya tentu akan melahirkan kedamaian dan jauh dari pengaruh hawa nafsu. Meskipun dunia telah berubah namun identitas khas dunia pesanten dengan nilai keikhlasan dan takdhimnya tetap terjaga dan tidk melupakan ranah kajian ilmiah via turas klasik (kitab kuning). Keberadan Pesantren merupakan laboratorium di mana tempat memperbaiki segala hal yang tidak baik baik akhlak, jiwa dan qalbu dan akan pada akhirnya akan melahirkan sosok yang berintegritas secara keilmuan dan menjunjung tinggi akhlakul karimah dan pengabdiannya kepada umat dan negeri ini serta tetap setia menjaga keutuhan NKRI dari berbagai pihak baik dari faham. Tentunya Pesantren bukan hanya benteng terakhir mengatasi dekadensi moral dan akhlak juga menangkal faham radikalisme, benarkah?

 

Tgk. Helmi Abu Bakar El-Lamkawi
Tgk. Helmi Abu Bakar El-Lamkawi
Guru Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga dan Dosen IAI Al-Aziziyah Samalanga, Bireuen dan Ketua PC Ansor Pidie Jaya, Aceh.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru