28.9 C
Jakarta

Kontra-Radikalisme Perspektif Trisakti Bung Karno

Artikel Trending

KhazanahOpiniKontra-Radikalisme Perspektif Trisakti Bung Karno
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Terlintas ketika scroll berita di aplikasi Google News, muncul berita tentang rencana Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Republik Indonesia (BNPT RI) bekerjasama Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tentang pembangunan ketahanan masyarakat dan mencegah adanya ideologi yang mengandung unsur ekstrimesme dapat mengancam berbangsa dan bernegara (BNPT RI, 2023).

Berdasarkan pengamatan penulis, salah satu fokusnya yakni agar tidak menyebarnya virus berupa doktrin ekstremisme yang menyebar, terkhusus kepada pemuda Indonesia yang akan menjemput masa gemilang dengan mewujudkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) Indonesia Emas 2045.

Hal tersebut bagi penulis tidak cukup hanya sekedar berputar dalam wacana saja, melainkan adanya gerakan implementatif dengan kerja – kerja Road Map Public Policy yang berprinsip pada Pancasila dan UUD 1945, baik pemerintahan maupun masyarakat sipil. Apalagi menjelang pesta demokrasi 2024, jangan sampai kita sebagai anak bangsa dengan mudahnya terprovokasi yang berujung pada politiknya kolonial Belanda yakni devide et impera (adu domba/pecah belah). Apalagi muncul adanya gerakan aktivisme politik dengan menggunakan simbol-simbol keagamaan untuk kepentingan pribadi.

Merujuk data Global Terrorism Index (GTI) yang dikutip oleh Databoks, sepanjang tahun 2000 s/d 2020, jumlah gerakan terorisme di Indonesia berjumlah 638 insiden. Peristiwa terbanyak ada di tahun 2001 dengan jumlah 106 insiden dan paling sedikit ada di tahun 2007 dengan 2 insiden.

Sepanjang tahun 2022, Kapolri Listyo Sigit Prabowo dalam keterangannya bahwa jumlah yang terduga teroris tertangkap sejumlah 247 orang sebagai tersangka, dengan rincian yakni, 97 orang terafilisasi Jamaah Islamiyah (JI), 70 orang terafilisasi Anshor Daulah, 46 orang terafilisasi Jamaah Ansharut Daulah (JAD), 28 orang terafilisasi Negara Islam Indonesia (NII), 4 orang terafilisasi Mujahidin Indonesia Timur (MIT), 1 orang lone wolf dan 1 orang foreign terrorist fighter (Okezone, 2022).

Merespon data peristiwa tersebut, penulis mencoba menggunakan  pendekatan konsep trisakti Bung Karno sebagai upaya deradikalisasi dalam berbangsa dan benegara, yakni Indonesia yang memegang teguh semboyan Bhinneka Tunggal Ika (berbeda – beda tetap satu jua).

Trisakti Bung Karno dan Relevansinya

Bung Karno pernah menyampaikan dalam pidatonya pada tanggal 1964 tentang Trisakti yang memuat 3 butir yakni Pertama, berdaulat dalam politik. Kedua, berdikari dalam ekonomi dan Ketiga, berkepribadian dalam kebudayaan. Beberapa tokoh turut mengutip pemikiran Bung Karno dan relevan dengan perkembangan zaman yang dinamis dan berkemajuan.

Misalnya yakni Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri, Presiden ke-7 Joko Widodo, Guru Besar Filsafat UGM Mukhtasar Syamsuddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah 1998-2005 Ahmad Syafii Ma’arif, hingga Ketua Umum PBNU 3 Periode (1984-1989, 1989-1994, 1994-1999)/Presiden Ke-4 Abdurrahman Wahid turut berkomentar tentang relevansi & kontribusi pemikiran Bung Karno.

Pertama, berdaulat dalam politik, point ini mengingkan bahwa pentingnya bangsa Indonesia berdaulat untuk mengambil keputusan politik, baik dalam negeri maupun luar negeri. Pentingnya politik untuk persatuan kolektif dengan melawan segala bentuk tindakan kapilatis, kolonialis, feodalis, imperialis yang dapat memecah belah. Tidak mudah terintervensi oleh pihak asing yang justru merugikan bangsa kita.

BACA JUGA  Memahami Toleransi Beragama dalam Kerangka Filsafat Politik Abad Pertengahan

Jelas, demokrasi kita adalah demokrasi pancasila, yang mengedepankan asas musyawarah mufakat. Apalagi, dugaan penulis adalah elit politik global menciptakan rekayasa konflik berupa radikalisme-ekstremisme yang menyalahgunakan simbol keagamaan atau bangsa, tidak dibenarkan. Narasi-narasi pluralisme harus dibangkitkan dan diimplementasikan, terutama dalam pemanfaatan teknologi digital.

Kedua, berdikari dalam ekonomi, ini menjadi tantangan bagi perekonomian Indonesia, apakah watak ekonomi bangsa kita kapitalisme atau Pancasila? meskipun hal ini masih debatable terkait karakteristik ekonomi Indonesia. Pasca Soekarno dikudeta oleh Pemerintahan Orde Baru, justru perekonomian kita telah terkooptasi dengan pihak asing dengan madzhab ekonomi kapitalistik berupa investasi ugal-ugalan, merusak ekosistem lingkungan dan mendestruksi karakteristik masyarakat Indonesia dengan kebijakannya yang otoriter, pembungkaman ekspresi dan ruang gerak masyarakat dininabobokkan.

Pada saat itulah, Bung Karno menawarkan konsepsi Ekonomi Terpimpin bercirikan Pancasila atau Sosialisme Indonesia. menempatkan bahwa negara sebagai pelaku utama produksi, distribusi, konsumsi dan akumulasi modal dalam bentuk kebijakan – kebijakan tentang perencanaan ekonomi yang disusun atas dasar kesejahteraan bersama secara menyeluruh bagi rakyat Indonesia.

Seperti halnya yakni dalam UUD 1945 pasal 33 ayat (1) bahwa “Perekonomian  disusun  sebagai  usaha  bersama  berdasar  atas  asas kekeluargaan.” Kemudian pasal 33 ayat 2 UUD 1945 berbunyi “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”. Dan pasal 33 ayat 3 UUD 1945 berbunyi Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Oleh karena itu, membangun ekonomi yang dapat mensejaherakan rakyat Indonesia, tentu sebagai upaya besar agar masyarakat Indonesia yang anti Pancasila menjadi warga Negara yang berpegang teguh terhadap Pancasila. Ekonomi harus disusun berdasarkan Pancasila, anti kemiskinan absolute.

Ketiga, berkepribadian dalam kebudayaan, seiring dengan adanya globalisasi dan masifnya informasi budaya melalui digital. hal ini ditandai dengan tergerusnya tradisi kebudayaan bangsa Indonesia, marak terjadi kebudayaan dengan ditandai dengan budaya barat, terutama pemuda yang meninggalkan kebudayaan daerah asalnya beralih ke kebudayaan K-Pop ala Korea-an yang disukai Pemuda millennial maupun Gen-Z, yang justru bukan karakteristik kebudayaan bangsa Indonesia.

Dalam hal inilah, perlu penguatan kebudayaan dan kearifan lokal dalam rangka mengantisipasi adanya pengaruh budaya luar secara ekstrem dapat mengubah tradisi bangsa Indonesia.

Oleh karena itu, membangun sebuah bangsa Indonesia yang berdaulat, berdikari, dan berkebudayaan harus mempunyai jiwa optimistik dan jatidiri kemerdekaan. Marsekal Madya (Purn) Teddy Rusdy (Jati Diri, Doktrin, dan Strategi TNI, 2016) bahwa doktrin & jatidiri harus tumbuh dari akar budaya bangsa dengan mempertimbangkan aspek geografis dan demografis bangsa.

Sehingga bagi penulis, memperkuat perspektif Trisakti Bung Karno dengan cara menggeser paradigma pemuda dan mengantisipasi adanya bahayanya ideologi transnasional yang bersifat ekstrem-radikalisme.

Aji Cahyono
Aji Cahyono
Saat ini mengenyam pendidikan di Magister Kajian Timur Tengah Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Sebelumnya mengenyam Sarjana di Pendidikan Agama Islam UIN Sunan Ampel Surabaya. Kesehariannya saat ini menulis kolom atau opini seputar atau isu aktual, serta mengkaji dalam perspektif akademik secara konstruktif.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru