32.7 C
Jakarta
Array

Kontra-Narasi Radikalisme lewat Cerita Hijrah

Artikel Trending

Kontra-Narasi Radikalisme lewat Cerita Hijrah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Perkembangan paham radikal-terorisme di tengah era internet bisa dikatakan sulit dideteksi. Orang bisa melakukan kekerasan karena terpengaruh konten-konten radikal dan provokatif di internet. Jika dibiarkan, dunia maya akan dikuasai narasi-narasi radikal yang diproduksi kelompok-kelompok ekstrem. Oleh karena itu, kita perlu menebarkan kontra-narasi radikalisme agar ruang maya tak dipenuhi arus konten radikal yang membahayakan.

Menebarkan kontra-narasi radikalisme bisa dilakukan dengan pelbagai cara. Bisa dengan menulis di media cetak, di internet, atau lewat karya-karya kreatif. Seperti yang dilakukan Fahd Pahdepie, penulis sekaligus entrepreneur sukses ini. CEO inspirasi.co ini mencoba menebarkan kisah inspiratif sebagai kontra-narasi radikalisme dengan menulis buku berjudul Hijrah Bang Tato. Buku ini mengisahkan pertemuan Fahd dengan seorang mantan preman yang berjuang untuk berhijrah. Menariknya, tak sekadar kisah hijrah, Fahd juga menyertakan renungan tentang pentingnya sikap beragama yang ramah dan toleran.

Dikisahkan, Bang Tato mulanya seorang preman yang bertahun-tahun hidup di dunia hitam. Ia adalah ketua preman, tubuhnya dipenuhi tato, dan tawuran serta memalak adalah pekerjaan sehari-hari. Sampai suatu ketika, Bang Tato mendapat “teguran” saat terbaring di kosnya lewat bayangan-bayangan kematian. Ia sangat ketakutan dan bertekad untuk bertobat dan berhijrah.

Namun perjuangan hijrah tidak mudah, terlebih bagi orang yang telah lama dikenal sebagai preman. Banyak orang meragukan Bang Tato. Tubuhnya dipenuhi tato dan itu membuatnya masih sulit diterima masyarakat. Di samping itu, Bang Tato juga harus menghadapi kehidupan baru yang serba sulit. Ia menikahi seorang janda beranak satu dan kesulitan mencukupi kebutuhan sehari-hari untuk anak dan istri. Berbeda ketika masih menjadi preman yang gampang dapat uang dengan memalak, sejak berhijrah Bang Tato adalah seorang pengangguran.

Di tengah kondisi sulit tersebut, Allah Swt. mempertemukan Bang Tato dengan Fahd Pahdepie, penulis buku ini. Fahd membantu mempekerjakan Bang Tato, meski mantan preman tersebut saat itu minim keahlian. Mula-mula, Bang Tato direkrut menjadi admin media sosial, kemudian ia dibekali skill meracik kopi dan akhirnya ia menjadi seorang barista handal.

Rentan Terpengaruh

Fahd menyadari bahwa dengan sejarah kekerasannya yang panjang—sebagai mantan preman, Bang Tato berisiko besar terjerumus menjadi sosok radikal. Sebagai orang yang baru hijrah dan satu kutub ekstrem dalam hidup, Bang Tato mengonversikan dirinya di kutub ekstrem lain secara mudah. Setelah berhijrah, ia gampang mengidentifikasi dirinya sebagai seorang “laskar” yang ingin membela agama dengan apa pun yang bisa ia lakukan.

Di samping itu, kelompok Islam radikal biasanya memanfaatkan orang dengan kondisi tersebut untuk “dikonversi” menjadi “laskar”, bahkan “mujahid”. “Mereka tahu proses konversi akan mudah, karena orang semacam Bang Tato sedang ingin diterima dan mendapatkan rasa percaya diri baru sebagai Muslim yang taat,” tulis Fahd. Sebenarnya, Fahd melihat Bang Tato sudah menunjukkan gejala-gejala tersebut. “Saya melihat akun-akun media sosialnya dipenuhi umpatan-umpatan, hate speech, dan lainnya kepada pemerintah, petugas, penguasa, atau siapa pun.”

Bahkan, Fahd menjelaskan bahwa ketika bertemu dengannya, Bang Tato sudah berada di tangga kelima dalam teori “enam anak tangga menuju terorisme” (Staircase to Terrorism) dari Fethali Moghaddam. Teori tersebut menjelaskan, perjalanan seorang individu menjadi ekstremis pasti melalui proses psikologis tertentu, yang kemudian dipetakan dalam teori enam anak tangga. Anak tangga pertama, (lantai dasar) adalah persepsi atau perasaan diperlakukan secara tak adil oleh lingkungan atau otoritas. Tangga kedua, orang mulai berpikir dan merasa harus “melawan” perlakuan tidak adil tersebut.

Di tangga ketiga, orang mulai melakukan “serangan”, namun belum serangan fisik, melainkan masih berupa serangan verbal, hate speech, dan lainnya. Selanjutnya, tangga keempat, orang merasa sudah mendapatkan legitimasi moral yang baru atas apa yang ia lakukan. Di tahap ini, Bang Tato mendapatkannya dengan bergabung ke kelompok atau organisasi sepaham. “Bersama teman-temannya, dia sudah mulai membicarakan mengenai aksi-aksi sweeping, demonstrasi jalanan, kerusuhan, bahkan tema percakapannya sudah mengarah pada ‘panggilan jihad’,” tulis Fahd.

Ketika sudah merasa mendapatkan legitimasi moral dan memiliki kekuatan massa, orang bisa masuk tangga kelima. Di sini, orang dengan mudah mendapati dirinya memiliki persepsi dikotomis tentang “kami” melawan “mereka” (us vs them). “Kami” dipersepsikan sebagai kelompoknya yang sedang berjuang dengan legitimasi moral tertentu (misalnya jihad), sedangkan “mereka” adalah musuh yang harus dilawan, bahkan dihancurkan (hlm 237-238). Dan perjalanan psikologis Bang Tato sudah sampai di tahap ini.

Skill dan Apresiasi

Beruntungnya, melalui bantuannya, secara tak sengaja Fahd telah menyelamatkan Bang Tato sebelum terjerumus lebih jauh dalam paham ekstrem tersebut. Di tengah kehidupan yang sulit dan sikap sebagian orang yang masih belum menerimanya, kondisi psikologis Bang Tato sangat rentan terjerumus paham ekstrem dan kekerasan. Untuk itu, mula-mula Fahd membekali Bang Tato dengan keterampilan. Bang Tato diajari meracik kopi sampai menjadi barista profesional, kemudian mempekerjakannya.

Siapa sangka, kesibukan menjadi barista mampu mengubah sudut pandang Bang Tato tentang “us vs them”—yang sering menjadi awal mula pemikiran radikal dalam beragama. “Tanpa sengaja saya melihat bahwa “industri kreatif” bisa dipakai untuk mengobati luka-luka psikologis seorang radikal untuk menjadi lebih lembut, toleran, dan terbuka pikirannya,” tulis Fahd. Bagi Fahd, keahlian dalam industri kreatif, misalnya menulis, memasak, akting, fotografi dan sebagainya memerlukan waktu dan proses untuk diasah. Orang yang terpapar virus radikal akan lebih disibukkan untuk mengasah keahlian tersebut, sehingga pikirannya teralihkan dari gagasan-gagasan radikal yang mengarah pada aksi-aksi kekerasan (hlm 241).

Di samping itu, ketika seseorang bekerja atau berkarya di industri kreatif, maka ia akan merasa bangga ketika karyanya diapresiasi orang lain. Fahd menyadari bahwa orang-orang seperti Bang Tato pada dasarnya memerlukan rasa bangga, apresiasi, dan rasa diterima oleh lingkungan sekitarnya. Dengan memberinya keahlian tertentu yang menjadi bekalnya untuk bekerja dan berkarya, ia akan merasa hidupnya lebih berarti, bermanfaat, sehingga ia merasa diterima di tengah-tengah masyarakat.

Apa yang dikisahkan Fahd dalam buku ini begitu mengesankan. Di samping berisi narasi perjuangan hijrah seorang mantan preman, kisah ini juga menggambarkan sikap beragama sebagian umat Muslim saat ini yang kadang masih sulit menerima perbedaan. Adapun sisi menarik buku ini adalah adanya ketersambungan kisah hijrah dengan upaya menangkal perkembangan paham ekstremisme dan radikalisme yang saat ini menjadi isu publik. Bagi Fahd, salah satu cara membangun kontra-narasi radikalisme adalah melalui cerita. Dan buku Hijrah Bang Tato ini adalah contohnya.

“Sebagai seorang pencerita (storyteller), saya berusaha membangan sebuah kontra-narasi terhadap radikalisme dan terorisme dengan cerita-cerita yang saya tulis dan sebarkan,” tulis Fahd di akhir kisahnya.

Judul               : Hijrah Bang Tato

Penulis             : Fahd Pahdepie

Penerbit           : Bentang Pustaka

Cetakan           : 1, Oktober 2017

Tebal               : 246 halaman

ISBN               : 978-602-291-433-4

*Peresensi    : Al-Mahfud, bergiat di Paradigma Institute (Parist) Kudus.
menulis artikel dan ulasan buku di pelbagai media massa.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru