33 C
Jakarta

Kontestasi Politik 2024 dan Ancaman Politisasi Rumah Ibadah

Artikel Trending

KhazanahPerspektifKontestasi Politik 2024 dan Ancaman Politisasi Rumah Ibadah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 akan digelar dua tahun lagi. Suhu politik nasional pun mulai memanas. Para elite politik pemegang kekuasaan parpol mulai menjajagi koalisi. Sejumlah lembaga survei merilis daftar nama paling berpeluang maju capres. Sejumlah nama yang digadang maju Pilpres 2024 pun mulai merancang strategi.

Sayangnya, tidak semua kandidat bakal capres melancarkan strategi politik yang beretika. Di Malang, muncul tabloid berisi dukungan terhadap Anies Baswedan yang disebar di masjid-masjid. Tabloid yang diproduksi oleh KBANewspaper itu berisi puja-puji dan propaganda pencapresan Anies Baswedan.

Ditinjau dari sisi politik, beredarnya tabloid berisi dukungan pencapresan Anies Baswedan ini tentu tidak patut. Musim kampanye Pilpres 2024 belum juga dimulai. Beredarnya tabloid itu tentu bisa dimaknai sebagai mencuri start kampanye. Meski tidak melanggar hukum, namun hal itu tetap tidak bisa dibenarkan secara etika dan norma perpolitikan.

Ditinjau dari sisi sosio-teologis, penyebaran tabloid propaganda politik di masjid ialah sebuah penistaan terhadap rumah ibadah. Masjid ialah tempat ibadah kaum muslim yang seharusnya dijaga kesuciannya baik secara harfiah maupun maknawiyah. Secara maknawiyah, menjaga kesucian masjid dilakukan dengan menghalau segala unsur di luar kepentingan agama. Termasuk menghalau upaya menjadikan masjid sebagai arena kampanye prematur pencapresan 2024.

Masjid Tidak Boleh Dijadikan Ruang Kampanye

Penggunaan masjid sebagai ruang kampanye politik praktis tentu tidak dapat dibenarkan. Ada setidaknya tiga alasan mengapa masjid idealnya harus steril dari politik praktis. Pertama, dari sisi teologis, masjid merupakan tempat suci (sakral).

Masjid bahkan kerap diistilahkan sebagai baitullah alias rumah Allah. Dimensi sakralitas masjid itulah yang harus dijaga. Salah satunya dengan memastikan masjid tidak disusupi oleh gerakan atau aktivitas non-spiritual/keagamaan. Apalagi sampai menjadi mimbar politik bagi kelompok tertentu.

Dalam sebuah hadist, Nabi Muhammad pernah melarang umatnya untuk makan di dalam masjid, atau berbicara hal yang tidak ada hubungannya dengan agama. Jika makan dan ngobrol saja tidak boleh, apalagi kampanye politik?

Kedua, secara sosiologis masjid adalah ruang publik yang terbuka bagi seluruh umat muslim dari semua golongan. Fungsi utama masjid adalah sarana ibadah sekaligus sebagai semacam lembaga pemberdayaan sosial. Agar fungsi dan peran itu berjalan efektif, masjid harus bersikap inklusif dan tidak didominasi oleh satu gologan saja.

Adanya infiltrasi politik praktis di masjid akan mengganggu efektifitas fungsi dan peran masjid. Bahkan, tidak menutup kemungkinan masuknya kepentingan politik akan merusak hubungan ukhuwah jamaah yang ada di dalamnya. Esensi masjid ialah mempersatukan umat Islam dari berbagai aliran dan golongan untuk menjalin ukhuwah. Menjadikan masjid sebagai ruang kampanye akan merusah esensi tersebut.

Ketiga, secara historis kita telah menyaksikan sendiri bagaimana infiltrasi politik praktis di masjid telah melahirkan problem sosial yang dahsyat. Mulai dari menguatnya intoleransi hingga maraknya kekerasan atas nama agama. Kita tentu ingat bagaimana politisasi masjid terjadi pada momen Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu. Kala itu, masjid menjadi salah satu ruang kampanye politik.

BACA JUGA  Bulan Ramadan Jadi Sarana Penyebaran Paham Radikal, Waspada!

Mimbar khotbah Jumat menjadi ajang propaganda menyerang elite politik tertentu. Acara keagamaan di masjid ditunggangi oleh kampanye terselubung. Bahkan, muncul gerakan tidak menyolatkan jenazah yang berafiliasi atau mendukung kandidat tertentu. Praktik yang demikian itu telah memecah belah masyarakat dan dampaknya masih terasa hingga sekarang.

Tragedi politik pada momen Pilkada DKI Jakarta 2017 idealnya cukup terjadi sekali itu saja. Negara dan bangsa ini terlalu berharga ketimbang kepentingan politik segelintir kalangan yang ingin berkuasa dengan jalan nista. Kita sudah menyaksikan sendiri bagaimana politik identitas, politisasi agama dan politisasi masjid telah merusak ikatan kebangsaan dan menyisakan polarisasi yang tajam di masyarakat.

Pentingnya Regulasi dan Literasi Politik

Ada pepatah lama yang mengatakan, bahkan kerbau yang bodoh pun tidak akan jatuh di lubang yang sama untuk kedua kalinya. Cukuplah peristiwa traumatis Pilkada DKI Jakarta 2017 itu terjadi hanya sekali. Maka, hajatan Pilpres 2024 idealnya bisa steril dari narasi politik identitas, politisasi agama, dan politisasi masjid.

Langkah pertama yang terpenting untuk menghalau infiltrasi politik praktis di masjid atau tempat ibadah lain ialah memastikan lembaga penyelanggara dan pengawas pemilu benar-benar menegakkan regulasi setegas mungkin.

Aturan Pemilu dan Pilpres secara jelas melarang aktivitas kampanye di sejumlah tempat, seperti sekolah sampai tempat ibadah. Hanya saja, acapkali regulasi itu hanya berakhir sebagai himbauan tanpa sanksi tegas bagi pelanggarnya. Apalagi jika kampanye itu dilakukan secara terselubung atau dibungkus dengan kedok kegiatan agama.

Ke depan, lembaga penyelenggara dan pengawas Pemilu tidak boleh permisif terhadap tindakan menjadikan masjid sebagai arena kampanye. Harus ada tindakan tegas bagi pelaku kampanye di masjid dengan memberikan sanksi pidana maupun perdata. Ketegasan itu kiranya akan memberikan efek jera bagi pelaku.

Langkah kedua yang tidak kalah pentingnya ialah menguatkan literasi politik masyarakat. Di era demokrasi, masyarakat sebagai konstituen dan calon pemilih idealnya tidak hanya memiliki antusias untuk menyalurkan hak pilihnya. Jauh lebih penting dari itu ialah masyarakat harus memiliki kesadaran untuk menentukan hak pilihnya secara rasional dan kritis.

Penguatan literasi politik diperlukan agar masyarakat tidak mudah dihasut opininya dan dimobilisasi suaranya melalui sentimen identitas dan isu keagamaan. Masyarakat dengan literasi politik yang kuat akan membentuk preferensi politiknya sesuai dengan rekam jejak kandidat, bukan dari pencitraan yang dibangun. Dengan begitu, masyarakat tidak akan memberikan ruang bagi sosok yang gemar bermain politik kotor, seperti menggunakan masjid sebagai panggung politik praktis.

Desi Ratriyanti
Desi Ratriyanti
Lulusan FISIP Universitas Diponegoro, bergiat di Indonesia Muslim Youth Forum.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru