26.8 C
Jakarta

Kontestasi Gerakan Politik Islam dari Arab hingga Indonesia

Artikel Trending

Milenial IslamKontestasi Gerakan Politik Islam dari Arab hingga Indonesia
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Gerakan ekstremisme di Indonesia bisa bisa dikatakan berada dua kutub. Pertama, ekstremitas agama dan kedua ekstremitas pasar. Namun, dua-duanya bertolak dari fundamentalisme: fundamentalisme agama ingin merobohkan nation-state dengan negara khilafah, fundamentalisme pasar ingin mengganti nasionalisme dengan korporatokrasi.

Melihat susur galur ini, biasanya para peneliti terjerembap pada satu mata saja. Ia kurang bisa membaca secara jelas dan menyorotnya kepada yang lebih detail. Padahal, untuk melihat gelombang revivalimse di dunia termasuk di Indonesia, kita tak boleh hanya berhenti pada pembahasan kemaruknya agama atau bangkitnya gerakan Islamisme, tapi kita harus berani melihat jauh pada lanskap politik propaganda yang ada di belakangnya, termasuk menyangkut politik luar negeri (Arab Saudi) yang menjadi tonggak penting terhadap ekstremisme Islam melalui ekspor ekspansi doktrin ultrakonservatif Wahabisme ke seluruh dunia.

Buah Doktrin Wahabi

Buah yang diperoleh dari gerakan itu (doktrin Wahabisme), yaitu penyebaran paham radikalisme melalui tiga jalur: ideologi, suaka politik dan pendanaan yang dampaknya sungguh mengejutkan.

Kita tahu, selama puluhan tahun, Arab Saudi yang menganut paham puritanisme yang biasa disebut dengan Wahabisme, sebagaimana diakui oleh Muhammad bin Salman telah gencar berupaya mengekspor paham itu keseluruh dunia dengan uang minyak yang melimpah.

Caranya, dengan menyeponsori kebutuhan-kebutuhan sosial-negara. Misalnya di institusi pendidikan: pengadaan pembangunan madrasah, masjid, dan perguruan tinggi di negara-negara lain yang berafiliasi dengan universitas Islam di Arab Saudi.

Empat Kejadian Besar

Lebih jauh dari itu, akibat ekspansi yang ditandai dengan tonggak konsolidasi politik Arab Saudi menyebabkan empat kejadian besar: tiga terjadi di luar negeri, satu di dalam negeri (Syeirazi, 2020).

Kejadian pertama adalah bentroknya Gamal A. Nasser dengan aktivis Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir. Seorang aktivis IM, Mahmoud Abd al-Lathif, berupaya membunuh Nasser pada Oktober 1954. Naser marah dan bertindak tegas. Dan karena itu, kelompok IM dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Sepanjang 1954-1970, Nasser memburu dan memenjarakan aktivis IM, termasuk pemimpinnya, Hasan al-Hudhabi dan Sayyid Qutb yang kemudian tewas di tiang gantungan.

Kejadian kedua, dikenal dengan sebutan kudeta Mekkah 1979. Pelakunya tak lain pemimpin Jamaah Salafiyah al-Muhtasiba (JSM). Hal ini dipengaruhi Bin Baz dan Nashiruddin al-Albani, Juhayman yang terobsesi menjaga kemurnian Wahabisme yang koyak dalam serangkaian liberalisasi di tubuh kerajaan Arab Saudi.

Misalnya, Raja-raja memperbolehkan wanita bekerja di luar rumah, menjadi pembawa acara di televisi, mengizinkan pegawai non-Muslim, mengizinkan peredaran minuman beralkohol  di daerah-daerah hunian orang asing.

Itulah sedikit yang membuat Juhayman marah, karena menurutnya, kebijakan tersebut menyimpang dari norma Islam. Terjadilan protes besar-besaran dan terbuka untuk pertama kalinya dalam sejarah Arab Saudi yang memuncak pada insiden berdarah. Akibat insiden berlimbah darah itu, kerajaan mendeportasi siapa pun yang dianggap berpotensi menimbulkan ancaman stabilitas politik nasional.

Ketiga, kejadian pendudukan Uni Soviet ke Afghanistan pada akhir 1979. Sejak terjadinya perang Dunia kedua, Arab Saudi bermintra dengan Amerika Serikat untuk memerangi komunisme. Mereka  memobilisasi umat Islam atas nama jihad melawan tentara ateis Uni Soviet.

Semetara di Afghanistan, mereka mencucurkan miliaran dolar untuk menyokong kiprah para mujahidin yang dipimpin para militan Ikhwanul Muslimin. Dengan uang minyak yang melimpah, Arab Saudi memberi bantuan resmi kepada mujahidin Afghanistan sebesar US$4 miliar, dan ini belum termasuk bantuan swadaya lainnya.

BACA JUGA  Wahabi dan Ba’asyir; Propaganda Polarisasi Umat yang Harus Diwaspadai

Keempat, adalah kejadian yang ditandai dengan keberhasilan Rovolusi Islam Iran pada 1979. Seperti diketahui, Iran adalah negara kuat paham Syiah. Tapi puritanisme doktrin Wahabi (Arab Saudi) sangat Anti Syiah. Oleh sebab itu, Arab Saudi merasa perlu membendung pengaruh pengaruh Syiah di Iran dengan menggelontorkan banyak uang untuk mempertahankan dominasinya sebagai pusat (politik) Islam seluruh dunia.

Propaganda Arab Saudi-Iran Anti Syiah

Persaingan Arab Saudi-Iran yang memprogandakan kampanye melawan Syiah tidak melewati perang “tangan”. Tapi peran dingin layaknya AS dan Uni Soviet. Mereka tidak bertempur secara langsung, melainkan melakukan perang prokrasi yang sengit dengan strategi-strategi (kotor) politiknya.

Empat kejadian ini, menandai atau menjadi tonggak penting dari permainan bidak Arab Saudi yang berdampak pada panorama gelombang revivalisme/politik keagamaan di seluruh dunia (Syeirazi, 2020). Termasuk, yang paling penting kejadian Jihad Afghanistan yang terbentuk jaringan jihad internasional, dengan maskotnya Osama bin Laden, yang kini menggigit pembinanya sendiri: Arab Saudi dan Amarika Serikat.

Bahkan, dari ekspansi politik-doktrin puritan Wahabisme itu, terbentuklah paham salafi-jihadi di seluruh dunia, termasuk ISIS. Bahkan kini, Arab Saudi bersama Qatar telah memberikan dukungan finansial secara diam-diam kepada ISIS dan kelompok radikal lainnya (Fareed Zakaria, 2017).

Jajak Lebih Dalam

Maka, sungguh sangat ironis jika negara-negara seperti Indonesia dan penggerak moderasi atau perdamaiannya kalau hanya bisa mengutuk kelompok ekstrem berbalut agama tanpa mau/bisa menyaingi negara-negara tetangga perihal taktik politik dan modal-modal kapital sosialnya. Apalagi masih senyum dan sungkem tangan pada pemimpin neolib.

Dan karena itu, kita sungguh-sunnguh harus mengupayakan pertahanan dari modal-modal tersebut. Kalau tidak, kita tak mungkin bisa melindungi umat hingga mengaktualisasi kesalehannya dari paham ekstremisme agama, sekalipun menggagas atau menghelat acara maha akbar!

Seperti yang kita ketahui, tranformasi Islam dunia khususnya Indonesia, tidak kebal. Di sini, hampir dari segala sisi tidak terlepas dari kebijakan agresif Arab Saudi. Sebut saja gelontoran beasiswa-beasiswa pendidikan dan pendirian gedung-gedung sosial, seperti masjid, kampus, dan bangunan sosial lainnya.

Bahkan, pendirian LBPA/LIPIA dan pondok-pondok besar dan moncer yang ada di belahan Indonesia, tidak terlepas dan berada dikangkangannya. Terakhir masjid Raya Syeikh Zayyed Solo itu. Maka, bisa jadi tidak salah atau salah, jika dampak dari pasokan politik bungkus Arab Saudi tersebut menyumbang perubahan wajah muslim Indonesia lebih puritan, intoleransi dan bercorak jihadis.

Saya sepakat dengan mereka yang mengatakan, tanpa komitmen menghentikan dakwah Wahabisme dan membendung politik bungkus Arab Saudi, yang disokong dari donatur-donatur swasta Arab Saudi, termasuk juga pendanaan segala bentuk wabsitenya, proyek wasathiyah Islam yang digaungkan Muhmmad bin Salman dan penggerak wasathiyah Islam di Indonesia, hanya akan berhenti sebagai jargon-jargon kosong. Atau hanya berhaha-hihi sendiri, bahkan akan kapok sendiri, seperti disuntik duri belati.

Harus diingat, kontestasi gerakan politik Islam masih sedang gayut di tengah-tengah umat manusia gampang lupa, gampang terlena oleh bualan pikiran irlander.

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru