29.1 C
Jakarta
Array

Konstruksi Sosial Atas Nasionalisme Berbasis Agama

Artikel Trending

Konstruksi Sosial Atas Nasionalisme Berbasis Agama
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Realitas bangsa Indonesia adalah bangsa yang plural, yang sering memunculkan sikap fanatisme bagi komunitas yang bersangkutan. Implikasi negative dari pluralitas atau kemajemukan terhadap kehidupan sosial dapat disaksikan di beberapa daerah yang sampai sekarang masih sering muncul konflik SARA diantara mereka. Konflik tersebut sering kali diakibatkan oleh adanya akumulasi persoalan yang belum terselesaikan oleh pemerintah secara tuntas, yaitu ketidakadilan, kesenjangan sosial, ekonomi, dan pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM).

Secara jujur dan objektif semua pihak mengakui bahwa salah satu penyebab dari permasalahan tersebut karena faktor perbedaan agama, budaya, dan suku. Hal itu menjadi sesuatu yang aslikarena merupakan bagian dari proses kebiasaan masyarakat zaman sejak dulu. Apabila potensi-potensi konflik tersebut diacuhkan tanpa dicari solusinya, dikhawatirkan akan menjadi bom waktu yang setiap saat bisa meledak.

Jika dicermati, terlepas dari keterlibatan pihak-pihak tertentu, implikasi negatif terjadi karena selama ini persoalan pluralitas tidak diselesaikan secara adil dan bijaksana. Para pemimpin seringkali terlalu percaya bahwa masyarakat Indonesia bisa rukun berdampingan meskipun berbeda agama, suku, atau ras. Akan tetapi, suatu catatan yang harus dikemukakan bahwa rakyat umumnya dibiarkan dan kurang diberdayakan untuk sungguh-sungguh memahami pluralitas itu sendiri.

Di lain pihak, masalah interaksi pluralitas dalam kehidupan bangsa dewasa ini tidak dapat dielakkan dan mesti mendapatkan respons dari semua elemen bangsa secara konstruktif. Untuk itu, agar dampak negatif atau potensi konflik dapat dikikis atau paling tidak diminimalisir, paling tidak diperlukan rancangan kehidupan untuk kedepannya. Untuk itu, ada beberapa hal yang dapat dikembangkan:

Pertama, mengembangkan sikap menerima terhadap pluralitas. Ia harus diterima sebagai sesuatu yang wajar, bukan menghindari dan apalagi mengingkarinya. Pluralitas merupakan bagian dari sunnatullah, sebagai kenyataan yang tidak bisa dihindari. Pluralitas harus dijadikan sebagai anugrah sebagai pelengkap kekurangan. Harus disadari bahwa manusia adalah sosok yang memiliki keterbatasan. Adanaya sosok yang berbeda sifat dan karakteristiknya dapat dijadikan mitra untuk bekerjasama melengkapi kekurangan yang ada.

Kedua, berupaya mengembangkan pluralisme menjadi kekuatan sinergis dalam kehidupan masyarakat. Dalam konteks ini, agama dan demokrasi memiliki peranan yang strategis. Agama dalam bingkai pluralitas menjadi landasan etik, sedangkan demokrasi menjadi penguat pluralitas. Agama apa pun tidak akan mengingkari pluralitas dan bahkan bisa memberi kerangka sikap etik untuk memudahkan melakukan konsolidasi struktur sosial. Oleh karena itu, agama mengutuk keras orang yang tidak bisa toleran kepada sesama.

Dalam Islam, banyak ayat Al-Qur’an yang menyebutkan wacana tersebut, misalnya firman Allah: Manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal dan menghargai. “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu (QS. Al-Hujurat 13)”. Pada tataran inilah demokrasi dapat dikembangkan dan selanjutnya akan menopang kehidupan beragama yang lebih dewasa dan mendewasakan. Sikap demokratis dalam beragama sangat dimungkinkan akan melahirkan keterbukaan bagi masyarakat beragama untuk menghargai keyakinan lain dan sekaligus menerima perbedaan untuk membina kemitraan dan keharmonisan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Ketiga, melibatkan masyarakat terhadap kenyataan pluralitas. Masyarakat dibiasakan untuk turut serta bertanggung jawab bagaimana menyelesaikan perbedaan dan sekaligus mencarikan titik temunya. Konsekuensi dari sikap ini, budaya dialog, keterbukaan, menerima perbedaan, menghormati, dan loyal terhadap pluralitas otomatis akan terwujud. Sejarah membuktikan bahwa cita-cita yang diperjuangkan dengan cara paksaan dan kekerasan tidak pernah berhasil secara sempurna.

Dengan demikian, nasionalisme adalah solidaritas dalam keragaman untuk kebaikan bersama. Berdasarkan realitas di atas, nasionalisme merupakan persoalan yang berkaitan dengan aspek interaksi antara pemerintah dan masyarakat menuju kebaikan bersama yang hampir selalu berada dalam proses konflik menuju konsensus bersama. Dengan adanya kesadaran dari kedua belah pihak, maka konflik akibat pluralitas dapat dihindari dengan sikap nasionalisme.

Sikap nasionalisme harus dijunjung tinggi demi terwujudnya kerukunan bangsa. Bangsa yang kuat adalah bangsa yang menjunjung tinggi rasa nasionalismenya. Dengan nasionalisme rasa persaudaraan diantara satu orang dengan yang lain semakin kuat.

[zombify_post]

M. Nur Faizi
M. Nur Faizi
Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Bergiat sebagai reporter di LPM Metamorfosa, Belajar agama di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru