27.7 C
Jakarta
spot_img

Konsep Twin Toleration dalam Relasi Negara-Agama: Titik Tolak Kontra Narasi Radikal-Terorisme

Artikel Trending

KhazanahPerspektifKonsep Twin Toleration dalam Relasi Negara-Agama: Titik Tolak Kontra Narasi Radikal-Terorisme
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Terorisme dan radikalisme merupakan fenomena yang terjadi di berbagai negara di dunia. Mulai dari Eropa, Afrika, Asia, hingga Amerika, semuanya mengalami mudarat akibat ideologi radikal dan terorisme. Secara umum, lahirnya terorisme disebabkan oleh faktor ideologis, sehingga tidak memiliki korelasi langsung dengan ekonomi atau kesejahteraan masyarakat.

Organisasi seperti ISIS, Al-Qaeda, dan lainnya adalah contoh organisasi radikal yang tidak menerima otoritas pemerintah untuk membentuk suatu pemerintahan. Karena itu, organisasi-organisasi tersebut berupaya mendirikan pemerintahan baru yang didasarkan pada nilai-nilai Islam dan kekhilafahan. Hal tersebut tentu menciptakan pergesekan antara kelompok fundamentalis dan negara. Akibatnya, negara cenderung memiliki tendensi terhadap sekularisme, yang memisahkan antara negara, politik, dan agama.

Lantas, apakah sekularisme ekstrem seperti Ataturkisme menjadi solusi dalam memoderasi hubungan antara negara dan agama?

Alfred Stepan, seorang akademisi politik asal Amerika Serikat, merupakan salah satu tokoh yang menentang sekularisme ekstrem dalam tata kelola pemerintahan. Dalam literaturnya yang berjudul “Religion, Democracy, and the Twin Tolerations”, Alfred Stepan memperkenalkan konsep “twin toleration” atau toleransi kembar. Konsep itu menjelaskan bagaimana memoderasi relasi antara negara dan agama secara seimbang tanpa menimbulkan konflik nilai. Sering kali, otoritas negara atau demokrasi dipertanyakan oleh kelompok fundamentalis, yang dalam skenario terburuk dapat memunculkan kelompok ekstremis seperti ISIS dan Al-Qaeda.

Namun, di sisi lain, sekularisme bukanlah solusi mutlak. Cepat atau lambat, sekularisme berpotensi menciptakan marginalisasi terhadap kelompok agamis, yang dapat memicu gerakan atau konflik lebih besar antara agama dan otoritas negara.

Konsep twin toleration menekankan dua poin utama toleransi yang saling berkaitan antara kelompok agama dan negara:

1. Toleransi kelompok agama terhadap negara

Toleransi pertama adalah toleransi warga beragama untuk melegitimasi eksistensi negara. Hal itu mengharuskan mereka memberikan kebebasan kepada pejabat yang dipilih secara demokratis untuk membuat undang-undang dan memerintah tanpa harus melakukan konfrontasi atau penyangkalan terhadap otoritas mereka berdasarkan klaim bercorak agama, seperti klaim khilafahisme yang sering kali menjadi oposisi negara secara tidak langsung.

2. Toleransi negara terhadap warga beragama

Toleransi kedua mensyaratkan bahwa undang-undang dan pejabat negara harus mengizinkan warga negara beragama, sebagai suatu hak, untuk secara bebas mengekspresikan pandangan dan nilai-nilai mereka dalam masyarakat sipil. Selain itu, warga negara beragama juga harus diberikan kebebasan untuk mengambil bagian secara aktif dalam politik.

Konsep tersebut dibuktikan melalui literatur lain yang ditulis oleh Alfred Stepan. Ia menyebutkan bahwa konsep twin toleration sangat sejalan dengan proses demokratisasi. Salah satu contohnya adalah Tunisia pada tahun 2011, yang berhasil mengalami transisi mulus dari pemerintahan otoriter menuju pemerintahan demokratis melalui pengaruh pemerintahan militer. Pemerintahan sebelumnya, yang cenderung mengadopsi konsep kebebasan dan sekularisme seperti di Eropa, terbukti memarginalisasi kelompok Islam.

BACA JUGA  Melawan Api Fanatisme: Memadamkan Kebakaran Ideologi Radikal

Dalam konteks Indonesia, terorisme tidak terjadi karena marginalisasi terhadap kelompok Islam. Sebagai contoh, berdasarkan beberapa wawancara dan podcast yang disampaikan oleh eks pelaku Bom Bali, Ali Imron, disebutkan bahwa aksi Bom Bali memiliki tujuan membalas Amerika Serikat atas kematian Osama bin Laden.

Selain itu, gerakan ISIS yang sempat marak pada awal hingga pertengahan 2010-an terjadi bukan karena marginalisasi, melainkan karena arogansi fundamentalis ekstrem yang tidak merekognisi dan melegitimasi pemerintahan yang ada. Padahal, mayoritas kelompok masyarakat Islam di Indonesia melegitimasi pemerintahan. Dengan demikian, pola terorisme di Indonesia tidak memiliki landasan marginalisasi yang serupa dengan pemerintahan Tunisia di bawah kepemimpinan Habib Bourguiba, yang memarginalisasi kelompok Islam.

Berdasarkan analisis tersebut, dapat disimpulkan bahwa pola terorisme di Indonesia tidak memiliki landasan ideologis dan urgensi yang kuat.

Sebagai rakyat dan masyarakat sipil, kita dapat belajar bahwa dengan komitmen dari kedua belah pihak—antara negara dan masyarakat, khususnya kelompok agama—konflik dan krisis legitimasi dapat dikurangi. Hal tersebut tercermin dalam skor Tunisia pada Global Terrorism Index, yang berada di bawah Indonesia. Salah satu hal penting yang perlu ditekankan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah konsep politik kewargaan dan kontrak sosial.

Ketika empat dimensi kewargaan yang disampaikan oleh Kristian Stokke—yaitu Membership, Status Hukum, Hak, dan Kewajiban—telah terpenuhi secara mendasar, masyarakat seharusnya wajib memberikan legitimasi kepada otoritas pemerintahan yang ada. Jika suatu kelompok melakukan tindakan teror, maka tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai arogansi ideologi.

Meskipun pemerintah Indonesia memang belum sepenuhnya menyediakan dan menjamin hak-hak warga negara, kita tahu bahwa tindakan teror di Indonesia terjadi karena pengaruh ideologi yang hadir melalui doktrinasi tanpa melibatkan kesadaran pribadi dan logika. Perlawanan yang dilakukan oleh founding fathers dan mothers kita terhadap penjajah tidak dapat dibandingkan dengan terorisme. Perlawanan bangsa Indonesia terjadi karena marginalisasi yang melahirkan kesadaran kolektif, sedangkan terorisme muncul dari proses indoktrinasi yang berakar pada ideologi tanpa urgensi dalam konteks bangsa Indonesia.

Karena itu, konsep twin toleration adalah sebuah rumus yang seharusnya diterapkan di Indonesia untuk menjaga harmonisasi antara negara dan kelompok agama. Tunisia telah memberikan bukti konkret bahwa penerapan konsep twin toleration dapat memperkuat proses demokratisasi.

Kita harus menyadari bahwa tidak ada urgensi besar di balik tindakan terorisme maupun upaya mengubah bentuk dan dasar negara Indonesia. Hal itu menjadi tanda bahwa sudah selayaknya masyarakat melegitimasi dan memberikan otoritas kepada negara untuk melakukan tata kelola pemerintahan. Namun, legitimasi tersebut harus disertai pengawasan terhadap jalannya pemerintahan agar tetap demokratis dan konstitusional.

    Revo Linggar Vandito
    Revo Linggar Vandito
    Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta yang tertarik dalam berbagai kajian kajian politik terkait multikulturalisme dan politik identitas.

    Mengenal Harakatuna

    Artikel Terkait

    Artikel Terbaru