31.7 C
Jakarta

Konsep Jihad Perspektif Novelis Amerika James Reston Jr

Artikel Trending

KhazanahPerspektifKonsep Jihad Perspektif Novelis Amerika James Reston Jr
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Berbicara perihal aksi terorisme, radikalisme, dan yang satu frekuensi dengannya mungkin tidak akan selesai dan hemat penulis akan terus mengalami perbincangan dan perdebatan. Kita tidak bisa menolak adanya perdebatan atau perpinjangan tersebut baik sebagai kondisi kita pro atau kontra.

Di Indonesia, perbincangan akan hal ini kiranya telah bermula sejak awal kemerdekaan RI dengan adanya DI TII, berlanjut ke penyebaran salafi, munculnya aksi-aski teror, hingga beralih wacana kepada pelestarian Pancasila sebagai ideologi bangsa, serta pemakzulan Presiden.

Penulis sendiri dalam artikel ini tertarik memaparkan sebuah konstruk paradigma berpikir dari seorang tokoh barat (westerner) ketika memaparkan sebuah peperangan dalam Islam. Ia tidak dikenal sebagai seorang orientalis atau ilmuan barat yang giat mempelajari hal ketimuran.

Konsep Jihad Damai

Di sisi lain, namun ia lebih dikenal sebagai seorang Novelis terkemuka yakni James Ratson Jr. seorang tokoh penulis Amerika dan juga jurnalis, dengan latar belakang kampus Carolina University sebagai tempat dimana ia mengenyam pendidikan perguruan tingi. Salah satu dari sekian banyak karyanya ialah novel legendaris yang menceritakan tentang kisah pertempuran Salib III antara Pangeran Ricard si Hati Singa dan Salahuddin al Ayyubi. Novel ini dipersembahkan dengan judul Warriors of God: Richard the Lionheart and Saladin in the Third Crusade.

Salah satu poin menarik dalam novel ini ialah bagaimana author James Reston menganalisis sebuah peperangan dalam Islam yang dimaknai dalam kata al jihadu fi al Islam atau al jihadu fi sabilillah. James memaknai awal kata jihad secara harfiah merupakan sebuah konsep pertahanan, yang dilancarkan ketika terjadi aksi provokasi dari penentang yang tidak beriman sembari menyebutkan bunyi ayat al-Qur’an. “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas,” (QS al Baqarah; 20).

Dalam petikan isi novelnya, ia juga menggambarkan spirit juang umat Islam untuk berperang bukan semata-mata untuk berjuang demi egois pribadi atau kelompok. Melainkan untuk mejaga keharmonisan umat muslim dari musuh yang sedang menyerang kedaulatan umat muslim. Ia melukiskan jihad memang sebagai suatu tindakan militer untuk menahan sistem pertahanan.

Tetapi, jihad ialah konsep perorangan atau kelompok bagi orang-orang yang sunggug-sungguh beriman. Seperti yang terjadi ketika perang muslim melawan pasukan salib, James berkomentar bahwa pasukan muslim yang sedang bertempur melawan pasukan salib, mereka menjalankan jihadnya sendiri: jihad hati. Yakni, mereka berjuang melawan godaan untuk bersumpah dengan pengakuan bahwa jihad tangan ialah dilarang melakukan hal buruk, yang kemudian melebur kepada jihad pedang yakni menumpas kaum kafir yang menyerang umat muslim.

Dari sedikit paparan di atas diketahui bahwa James Reston sebagai warga yang notabene hidup dalam Islam minoritas memahami jihad sebagai sebuah konsep pertahanan diri (defense). Melainkan bukan untuk meyerang saudara-saudara non-muslim sesama manusia yang tidak menyerang umat muslim. Sejatinya, pendapat ini lebih mengarah terhadap bagaimana Islam beserta ajarannya dipandang untuk mengarahkan kepada aspek kesejahteraan dan keharmonisan tidak untuk hura hara atau pertikain.

BACA JUGA  Mensterilkan Generasi Muda dari Jeratan Paham Radikal

Sejalan dengan pendapat para cendekiawan muslim. Ibn Qayyim al Jawziyah berpendapat “Jika memperhatikan syariat-syariat agama Allah yang ditujukan kepada hamba-hamba-Nya, anda akan memahami bahwa syariat berupaya untuk mendatangkan kemaslahatan seoptimal mungkin. Apabila hal itu sulid untuk diwujudkan, yang didahulukan ialah yang paling penting dan mendesak walaupun terdapat sedikit yang terabaikan. Atas Dasar inilah Allah menciptakan syariat-syariat-Nya sebagai petunjuk bagi Manusia menuju kehadiran-Nya, saksi atas kesempurnaan ilmu dan hikmah-Nya, dan kasih sayang serta anugerah yang dilimpahkan kepadanya hamba-hamba-Nya. Semua ini tidak diragukan lagi bagi mereka yang mengambil manfaat dan menerpaknya. (Miftah Dar al Saadah; 35)

Lebih lanjut secara konsisten James Reston memandang, bahwa pada era kontemporer ini seringkali makna jihad mengalami ironi dalam pandangan umat manusia, terlebih bagi kaum barat. Kata jihad pada era masyarakat kontemporer seringkali dipandang akan memicu kekhawatiran di hati orang Barat dan pemerintahan Barat. Padahal, sejatinya, menurutnya tidak ada yang lebih mengerikan, dan mengkhawatirkan daripada teror perang Salib atau kefanatikan umat kristiani abad kedua belas.

Deligitimasi Jihad

Dari pemaparan pandangan di atas, penulis berpendapat bahwa kadangkala pada era sekarang makna jihad kerap kali megalami distorsi makna, baik bagi umat Islam itu sendiri atau nonmuslim. Umat Islam yang secara tidak langsung mendistorsi makna jihad sendiri ialah mereka yang menjadikan ajaran-ajaran agam untuk menyuarakan paham-paham tekstual, radikal tanpa memandang unsur perenungan lebih jauh (tadabbur) di dalamnya. Menukil istilah Buya Syafii Maarif ialah mereka yang memperkosa dalil-dalil agama sebagai legitimasi perbuatannya.

Adapun dari kalanagan non-muslim sendiri seringkali jihad dipandang sebagai unsur teroris, pengeboman, dll. Padahal, seperti yang dipaparkan oleh James Reston di atas bahwa jihad merupakan upaya pertahanan militer yang berawal dari diri pribadi. Yakni, jihad hati, mencegah hati manusia untuk berniat melakukan dosa dan memilih melakukan hal positif (pahala Allah), jihad tangan berarti mencegah dari berbuat kerusakan dan mengupayakan kemaslahatan, serta jihad pedang merupakan upaya pertahanan jika terdapat pihak yang mengusik dan menyerang keharmonisan umat muslim.

Mayoritas cendekiawan muslim kiranya sepakat dengan pandangan di atas bahwa konsep jihad merupakan sebuah konsep yang luas universal, tidak hanya terbatas diartikan sebagai konsep peperangan melawan kaum kafir dengan iming-iming pahala besar. Adapun terkait dengan konsep perang jihad pedang mayoritas cendekiwan sejak era Nabi Muhmmad hingga zaman kontemporer bahwa jihad perang merupakan kondisi defense bukan untuk offense, terlebih dari segala hal perdamaian lebih diutamakan waallhu A’lam bi murodihi.

Ahmad Fahrur Rozi
Ahmad Fahrur Rozi
Mahasiswa Program Studi Ilmu Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Awardee PBSB Kemenag RI 2017.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru