32.9 C
Jakarta
Array

Konsep dan Kedudukan Ijtihad dalam Hukum Islam

Artikel Trending

Konsep dan Kedudukan Ijtihad dalam Hukum Islam
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Pasca Rasulullah SAW wafat, aktifitas Ijtihad merupakan tren keilmuan yang  berkembang pesat. Keberadaannya berfungsi sebagai pelayanan umat, merekomendasikan solusi problematika aktual yang berkembang dengan corak kehidupan tiap-tiap generasinya, tanpa terlepas dari mainstream syari’at. Sehingga lahirlah kekayaan dibidang ilmu fiqih yang tiada taranya dalam sejarah. Iklim keilmuan semacam ini berlangsung hingga pertengahan kurun waktu tahun ke empat hijriyah.

Kata ijtihad (Al- ijtihad)  berakar dari kata al-juhd, yang berarti al-thaqah (daya, kemampuan atau kekuatan) atau dari kata al-jahd yang berarti al masyaqqah (kesulitan, kesukaran) dari itu secara harfiah, ijtihad adalah suatu ungkapan dari pengerahan daya kemampuan untuk mewujudkan sesuatu yang di tuju. Karenanya, kosakata ijtihad hanya digunakan untuk sesuatu yang mengandung beban dan kesulitan. Sedangkan secara  terminologis, terdapat beberapa pendefinisian sebagaimana yang diutarakan oleh beberapa  pakar, yaitu:

  1. Pengerahan kemampuan dalam mendapatkan pengetahuan bertaraf asumtif (zhann) atas hukum-hukum syara’, dengan upaya maksimal dimana kemampuan diri tidak dapat lagi memberikan sesuatu yang lebih dari itu. Definisi ini diungkapkan oleh AlAmudi dan ibn Al-Hajib. Dengan pengertian ini ijtihad hanya belum mencakup pengetahuan bertaraf zhanni, kebenaran qath’i (pasti) belum tercakup didalamnya.
  2. Pengerahan kemampuan dari seorang mujtahid dalam mencapai keyakinan atas hukum-hukum syara’. Definisi yang diungkapkan Al-Ghazali ini berkebalikan dari definisi pertama, yakni hanya mengkaitkan ijtihad dengan objek hukum berdimensi kebenaran pasti, padahal sebagian besar produk ijtihad adalah pengetahuan bertaraf zhanni.
  3. Pengerahan kemampuan dalam menentukan hukum-hukum syara’. Definisi yang dilontarkan Al-Baidlawi ini mencakup dimensi kebenaran rasio (’aqliyah) dan dokstrinsial (naqliyyah), kebenaran pasti (qath’i) dan kebenaran asumtif (zhanni).
  4. Al-Zarkasyi mendefinisikan bahwa ijtihad adalah pengerahan segala kemampuan dalam menemukan hukum-hukum syariat berdimensi praktik (amaliyah) dengan jalan menggalinya dari sumber-sumbernya(istinbath). Definisi mengecualikan aktifitas penggalian hukum-hukum syari’at berdimensi keyakinan.

Sedangkan pengertian ijtihad yang sering dikemukakan para ulama’ ushul al fiqh  adalah definisi Imam al-Ghazali yang dikutib oleh Ahmad Zahra, ijtihad adalah  “Pengerahan kemampuan seseorang mujtahid dalam rangka memperoleh pengetahuan tentang hukum syara”.

Definisi diatas setidaknya mengandung tiga unsur ijtihad, yaitu:

  1. Pengerahan segenap kemampuan, yang berarti ijtihad merupakan usaha jasmani, rohani, tenaga, pikiran, waktu maupun biaya dan bukan ala kadarnya.
  2. Seorang mujtahid, yang mengandung arti bahwa ijtihad hanya mungkin dan boleh dilakukan oleh seorang yang telah memenuhi persyaratan tertentu, sehingga mencapai tingkatan mujtahid, dan bukan oleh sembarang orang.
  3. Guna memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ yang mengandung arti bahwa capaian ijtihad adalah ketentuan hukum yang menyangkut tingkah laku manusia dalam kaitannya dengan pengamalan ajaran agama.

Dikalangan ahli fiqih, ijtihad merupakan terminology yang berjenjang. Ada yang digolongkan ijtihad mutlaq. Ada juga yang disebut ijtihad muqoyyad atau muntasib. Yang pertama adalah ijtihad seorang ulama dalam bidang fiqih, bukan saja menggali hukumhukum baru, melainkan juga memakai metode baru, hasil pemikiran orisinil. Inilah  tingkatan ijtihad para peletak madzhab, yang pada  pertumbuhan fiqih, sekitar abad 2-3 hijriyah, jumlahnya mencapai belasan. Tapi karena seleksi sejarah akhirnya yang bertahan alam arti diikuti mayoritas umat Islam hanyalah empat; Abu Hanifah (peletak madzhab  Hambali), Malik bin Anas (peletak madzhab Maliki), Muhammad bin Idris as-Syafi’I  (peletak madzhab Syafi’i), dan Ahmad bin Hanbal(peletak madzhab Hanbal).

Sedang ijtihad muqayyad  atau muntasib adalah  jtihad yang terbatas pada upaya penggalian hukum (istinbath al ahkam), dengan piranti atau metode yang  dipinjam dari hasil pemikiran orang lain. Misalnya, dalam lingkup madzhab Syafi’i kita mengenal namanama, seperti an-Nawawi, artinya Rofi’I atau imam haramain. Mereka adalah orang-orang  yang telah melakukan fungsi itu dengan otoritas yang diakui (mu’tamad), tetapi metode  (manhaj) yang digunakan adalah manhaj Imam Syafi’i.  Dalam hal ini, ijtihad bukan saja mencari kebenaran atau hukum-hukum yang  berhubungan dengan hokum fiqih yang ada, melainkan juga membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan isu sentral dalam sejarah pemikiran politik dan termasuk juga  pemikiran politik islam.

Pencarian konsep tentang Negara merupakan salah satu isu sentral dalam sejarah  pemikiran politik, termasuk pemikiran politik Islam. Pemikiran politik Islam sesungguhnya  merefleksikan upaya pencarian landasan intelektual bagi fungsi dan peranan Negara atau  pemerintahan sebagai factor instrumental untuk memenuhi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Pemikiran politik Islam dalam hal ini merupakan ijtihad dalam rangka menemukan nilai-nilai Islam dalam konteks system dan proses politik yang sedang berkembang.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru