Dalam menghadapi politik Identitas, negara ini sudah melewatinya berkali-kali. Sejarah mencatat beberapa peristiwa tersebut. Politik identitas yang mewarnai kehidupan bangsa ini bukan lah hal baru. Amin Abdullah mencatatnya dalam jurnalnya “Menengok Kembali Agama di Ruang Publik”. Setidaknya ada 3 fase sejarah yang dilewati Indonesia dalam menghadapi politik identitas. Tetapi saya hanya menuliskannya dua saja, karena bersifat lebih nasional dan dapat mewakili seluruh golongan di Indonesia.
Pertama adalah peristiwa Sumpah Pemuda 1928. Para pemuda saat itu dengan cerdik mengetahui situasi dunia melalaui berbagai literatur berbahasa Inggris dan Belanda. Perjalanan Eropa, Turki, maupun Amerika dalam membentuk negara modern dipelajari dengan sungguh-sunggu. Mereka mencoba merumuskan bagaimana desain negara yang pas untuk Indonesia apabila nanti merdeka.
Sumpah Pemuda menjadi peristiwa penting untuk memulai membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ada 3 hal penting dalam peristiwa ini. Pertama, teritorial atau wilayah. Indonesia memiliki wilayah dari Sabang sampai Merauke yang kemudia dikenal sebagai satu nusa. Kedua adalah bangsa atau satu bangsa. Dan ketiga adalah bahasa, satu bahasa.
Para pendiri bangsa memutus ego masing-masing untuk kepentingan nasional. Amin Abdullah mencatat beberapa hal yang telah diantisipasi oleh pendiri bangsa. Pertama adalah persoalan agama yang tidak disebut dalam 3 poin penting di atas. Padahal mayoritas agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia adalah Islam. Dan kedua adalah persoalan bahasa. Jika pada saat itu mengedepankan kepentingan kesukuan, sudah barang tentu mereka akan “ngotot” menjadikan Jawa atau Melayu menjadi bahasa nasional. Tetapi bahasa Indonesia dipilih sebagai bahasa pemersatu atau nasional. Dibandingkan dengan beberapa Negara, seperti India misalnya yang didominasi oleh bahasa penjajah, Inggris.
Peristiwa di atas menjadi momen penting untuk diingat kembali di tengah politik identitas yang seperti tidak ada habisnya, lebih-lebih pasca pemilu. Pada tahun 2019, pemilu benar-benar menguras tenaga. Bangsa ini seperti terpecah menjadi dua kubu. Secara mengejutkan bergabungnya Prabowo ke dalam kabinet Jokowi membuat kecewa sejumlah pendukungnya. Walaupun demikian, politik identitas tetap mengudara bebas, terutama di ruang-ruang publik seperti media sosial hingga saat ini.
Gangguan terhadap kesatuan Negara tidak hanya datang dari dalam negeri. Sejak tahun 1990an terutama pasca 1998, informasi menyebar dengan bebas, tidak terkecuali dengan ideologi-ideologi dari luar negeri. Gerakan global salafism berhembus keras dari arah timur tengah dan beberapa wilayah lainnya. Negara Islam menjadi antitesa dari Negara Pancasila.
Belum lagi ditambah dengan narasi kebangkitan PKI, kedua ideologi ini selalu dibenturkan, tetapi tidak jelas wujudnya karena dikemas dalam bentuk proxy war dan disebarkan melalui berbagai media sosial.
Pasca reformasi 1998, gerakan-gerakan ini semakin tumbuh subur. Pelajaran, pendidikan, pelatihan, dan kegiatan Rohis di sekolah dan perguruan tinggi secara tiba-tiba menjadi tempat pertumbuhan ide serta doktrin keagamaan yang asing dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Ketika teknologi semakin maju, gerakan-gerakan ini juga menyebar melalui media sosial. Secara mengejutkan berbagai peristiwa pengeboman yang terjadi adalah benih yang ditanam dalam ladang kegiatan keagamaan di sekolah pada tahun 1990an tersebut. Seperti peristiwa pengeboman gereja di Surabaya2018 silam. Pelaku yang diketahui adalah satu keluarga melakukan pengeboman bunuh diri di gereja.bahkan anak-anaknya juga ikut dalam peristiwa tersebut.
Ketika sekarang, dunia dihebohkan dengan pernyataan peresiden Perancis, Emmanuel Macron yang dianggap menciderai perasaan umat muslim di dunia. Berbagai tokoh agama memberikan pendapatnya. Lagi-lagi perdebatan di media sosial tidak terhindarkan. Setiap perdebatan atas nama perorangan tidak akan terlepas dari pakaian atau organisasi yang dikenakan dan ujung-ujungnya politik identitas kembali menguat.
Dalam menghapai hal tersebut, setidaknya hal dasar yang harus dibenahi adalah literasi keagamaan. Literasi keagamaan harus diajarkan mengenai kebenaran yang dimiliki masing-masing pemeluk agama adalah berbeda dan tidak bisa dipaksakan. Selain itu penting adanya pendidikan mengenai kesetaraan sebagai warga negara. Apapun agamanya memiliki hak dan kewajiban yang sama di mata hukum. Mengutik kalimat Malala Yousafzal, “dengan tembak kau dapat membunuh teroris, tetapi dengan pendidikan kau dapat membunuh terorisme.”