27.5 C
Jakarta
Array

Kolaborasi Sekolah dan IPNU Membendung Radikalisme

Artikel Trending

Kolaborasi Sekolah dan IPNU Membendung Radikalisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Orang-orang menyebutkan, bahwa guru merupakan akronim dari digugu dan ditiru. Sebagai tenaga pendidik, guru tidak hanya melakukan transmisi pengetahuan, mengajarkan berbagai ilmu dengan beragam metode. Tapi ada hal yang lebih penting ketimbang itu, yakni memberikan teladan yang baik, seperti apa yang Ki Hajar Dewantara sampaikan, ing ngarso sung tulodo.

Maka tak aneh jika ada 19,26 persen pelajar dan mahasiswa setuju dengan pernyataan bahwa pemerintah Indonesia itu taghut dan kafir karena berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, sebab ada 8,07 persen guru dan dosen yang sepakat dengan hal tersebut berdasarkan survei yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM).

Tak beda jauh dengan PPIM, survei yang dilakukan Alvara Research Center bekerja sama dengan Yayasan Mata Air juga menyebutkan, bahwa ada 16,8 persen mahasiswa dan 18,6 persen pelajar yang lebih memilih ideologi Islam ketimbang Pancasila sebagai ideologi yang tepat bagi Indonesia.

Selain itu, survei PPIM yang dirilis di Le Meridien Jakarta pada Rabu (8/11/2017) itu juga menyebutkan, 17,8 persen mahasiswa dan 18,3 persen pelajar setuju jika khilafah ditetapkan sebagai bentuk pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Hal yang lebih berbahaya dari itu semua adalah temuan Alvara mengenai jihad demi tegaknya khilafah. Sebanyak 23,4 persen mahasiswa dan 23,3 persen pelajar siap melakukan hal tersebut. Hal yang sama diungkapkan PPIM, bahwa ada 37,71 persen responden sepakat dengan qital, khususnya melawan non muslim merupakan jihad dan 23,35 persen responden setuju, bahwa aksis teror bom bunuh diri merupakan jihad dalam Islam. Di samping itu, ada 23,35 persen pelajar dan mahasiswa yang setuju jika tindakan pengeboman atau bom bunuh diri atas nama agama adalah jihad yang sesungguhnya, sebab ada 6,83 persen guru dan dosen yang sepakat dengan hal tersebut

Potensi radikal tersebut ternyata mengalami kenaikan yang cukup signifikan dibanding tahun lalu. Survei Wahid Foundation (WF) yang bertajuk “Potensi Intoleransi dan Radikalisme Sosial Kegamaan di Kalangan Muslim Indonesia” bekerja sama dengan Lembaga Survei Indonesia (LSI)  yang dirilis pada Senin (1/8/2016) itu menyebutkan, ada 7,7 persen siap melakukan tindakan radikal.

Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid mengatakan, bahwa 7,7 persen sama dengan 11 juta muslim. Hal itu pun sejumlah umat Islam di Jakarta dan Bali.

“Bisa kita bayangkan ada sekitar 11 juta orang yang bersedia bertindak radikal. Itu sama dengan jumlah umat Islam di Jakarta dan Bali yang siap bertindak radikal, itu mengkhawatirkan,” tutur Yenny, seperti yang dikutip Kompas.com.

Kondisi tersebut sangatlah memprihatinkan. Tunas-tunas muda yang pada tahun 2045 diharapkan sebagai generasi emas itu menyimpan potensi radikal yang cukup besar. Parahnya, benih radikalisme itu tidak hanya muncul dari media daring yang begitu gencar propagandanya, tetapi juga dari guru dan dosen sebagai tenaga pendidiknya.

Tiga kementerian terkait, yakni Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Kementerian Riset dan Teknologi dan Pendidikan Tinggi harus segera berbenah. Kurikulum yang terus berubah belum mampu menjawab masalah tersebut. Justru, tenaga pendidik malah memperparah keadaan.

Perlunya Kerja Sama Sekolah dan Organisasi Kepelajaran

Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dalam mengkader anggotanya tak pernah lupa materi keindonesiaan sebagai salah satu dari sekian materi yang disampaikan. Selain itu, penanaman cinta tanah air juga selalu dilakukan melalui lagu Indonesia Raya dan Hubbul Wathan yang saban pembukaan kegiatan tak pernah alpa.

Akhlak atau adab sopan santun selalu dikedepankan. Krisis moral di kalangan pelajar tak bisa kita elakkan lagi. Beberapa minggu lalu, kita mendengar bagaimana tragisnya seorang guru dibunuh muridnya sendiri. Pelajar NU tentu jauh dari hal demikian. Hal itu disebabkan penghormatan kepada guru adalah satu hal yang wajib. Bahkan, dalam pesantren selalu digaungkan kaul Sayyidina Ali kw., ana ‘abdu man ‘allamani harfan, saya hamba dari siapa pun yang mengajarkanku sehuruf.

Saking hormatnya kepada guru, para santri dan pelajar NU juga sangat menghormati anak dan keturunannya. Hal ini pernah penulis lihat langsung seorang kiai sepuh mencium tangan cucu gurunya yang usianya jauh lebih muda. Saat bertemu, kiai tersebut langsung membungkukkan badan sembari meraih tangan cucu kiainya dan dilekatkan ke hidungnya. Betapa penghambaan terhadap sang guru itu benar-benar dipraktikkan.

Sinergitas antara sekolah dan organisasi kepelajaran yang moderat tentu perlu dibangun dengan baik. Hal ini demi kemaslahatan bersama, demi generasi emas ke depannya. Apa jadinya negara ini penuh orang pintar, tetapi tidak cinta negeri dan tidak beradab. Padahal, kunci kemanfaatan ilmu adalah kesucian hati. Tanpanya, ilmu akan menolak masuk atau hatinya enggan menerima pengetahuan tersebut.

Para pelajar perlu kiranya diberi ruang gerak lain. IPNU merupakan salah satu pilihan sebagai wadah mereka belajar mengolah dan mengatur sebuah organisasi. Pun sebagai wadah mereka menemukan arti wasathiyah atau moderatisme dalam memandang suatu permasalahan agama maupun negara. Tidak ekstrem ke kanan menjadi fundamentalis puritan, ataupun ekstrem ke kiri menjadi liberal yang sekuler.

Syakirnf

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru