33 C
Jakarta
Array

Klimaks Politik GISS, Kampanye Hitam Ulama, dan Oportunisme Capres-Cawapres 02

Artikel Trending

Klimaks Politik GISS, Kampanye Hitam Ulama, dan Oportunisme Capres-Cawapres 02
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Dalam tulisan sebelumnya, Menakar Politik GISS; Mobilisasi Massa untuk Ganti Presiden, telah diulas perihal agenda terselubung GISS, yakni mengganti presiden. Pula telah diulas bagaimana alotnya intrik mereka; mempolitisasi Subuh demi memobilisasi massa. Yang belum teruraikan dalam tulisan tersebut adalah: kenapa salat Subuh menjadi pilihan agenda politik mereka?

Pilpres 2019 tinggal 30 hari lagi. Bersamaan dengan itu, agenda GISS terus digalakkan di seluruh Indonesia. Sesuai cita utamanya; menjadikan Subuh menyeluruh seantero Indonesia, dari Sabang sampai Merauke. Politisasi Subuh menjadi senjata terakhir umat Islam yang kontra-petahana, sehingga sebagai konsekuensi, apapun akan dilakukan untuk mencapai agenda terbesarnya.

Berbagai platform mereka pakai, mulai Youtube, undangan resmi, maupun pesan broadcasting di media sosial. Instruksi Subuh Akbar oleh Asep Syaripuddin, Wakil Ketua Umum DPP PA 212 sekaligus Ketua Aliansi Pergerakan Islam Jawa Barat di Youtube, Selasa (5/3/2019) lalu, jelas merupakan langkah lanjut dari surat Instruksi Pelaksanaan Implementasi Pemenangan (ISP) Prabowo-Sandi setengah bulan sebelumnya, Senin, 18 Februari 2019.

Instruksi-instruksi lainnya akan terus berdatangan, tidak hanya di Jawa Barat, melainkan seluruh Indonesia, seperti tertera jelas dalam surat resmi yang ditandatangani Muhammad Al-Khaththath tersebut. Di WhatsApp pun demikian, mulai bermunculan pesan broadcasting  untuk berbondong-bondong menyambut ‘Hari Kemenangan 17 April 2019’, dengan narasi “mengancam”.

Tentu ini bukan hal yang mengenakkan. Umat Islam tidak sekadar dituntut untuk memenangkan Capres-Cawapres 02, namun digiring-gelindingkan terhadap opini mencengangkan; bahwa kalau tidak mereka kawal Pemilu kali ini akan curang, bahwa kalau Capres-Cawapres 02 kalah Indonesia akan dikuasai orang zalim, atau bahwa umat Islam akan sama sekali hilang di Indonesia.

Tidak hanya itu. Dari semua edaran instruksi yang ada, esensi “Salat Subuh” sama sekali sirna, dan yang mengemuka adalah “bagaimana di hari itu Capres-Cawapres 02 harus menang”. Tidak boleh tidak. Harus kerahkan seluruh kemampuan. Atau umat Islam akan mengalami titik paling lemah lantaran Indonesia akan dikuasai oleh orang-orang yang tidak peduli dengan Islam, bahkan membencinya.

Oleh karena adanya pengerahan seluruh kemampuan mencapai tujuan politis itu, GISS menjadi bagian integral dari kampanye. Sebagaimana terinstruksikan dalam surat Koppasandi, strategi politik mereka, yakni Subuh Akbar 17 April 2019, dilanjut dengan Putihkan TPS, merupakan kampanye massal ulama untuk memilih Capres-Cawapres 02, dengan memberikan tuduhan serius terhadap lawannya.

Bukanlah sesuatu yang sepele menuduh—meski secara implisit—lawan politik sebagai ‘anti Islam’, ‘munafik’, ‘curang’, bahkan ‘kafir’. Tuduhan yang tertuang dalam ISP 1 Subuh Akbar Indonesia poin 6 nomor 2, 5, dan 6 merupakan yang sangat serius. Itu merupakan kampanye hitam, sebab tuduhan-tuduhan tersebut tidak benar ada dalam lawan politik mereka. Harus dengan jujur dikatakan, sekalipun pelakunya adalah ‘ulama’.

Kampanye hitam ulama itu mesti ditentang, karena politik fitnah tidak bisa kita biarkan. Tentu saja yang salah bukan GISS-nya, atau ulamanya, melainkan ‘pihak oportunis’ yang berlindung di belakang sakralitas keagamaan. Meng-ulama-kan politisi tidak juga memberikan keuntungan bagi umat Islam, justru menjadi penyebab desakralisasi keagamaan itu sendiri. Padahal bagaimanapun, politik tetaplah profan.

Yang penting pula dikritisi dari serangkaian agenda Subuh Akbar ialah Putihkan TPS. Dalam ISP 2 Putihkan TPS poin 7, pasukan di bawah komando ulama diharuskan untuk “memandang dan mendoakan setiap (pemilih) yang datang.” Keadaan demikian teramat mengganggu, sebab pemilih merasa diawasi hak memilihnya, di samping fakta bahwa pemilih juga dari kalangan non-Muslim. Sangat tidak sopan untuk mengawasi hak mereka.

GISS benar-benar sudah keluar dari konteks idealnya, dan menjadi mesin elektoral yang seakan mengekang hak pilih umat Islam. Pemilihan salat Subuh daripada salat fardu lainnya  kini sangat jelas alasannya: karena “waktu Subuh” sangat dekat dengan “waktu berangkat ke TPS”. Oknum di belakang GISS betul-betul paham bahwa mudah sekali memobilisasi massa ke dalam pilihan politik mereka, dengan berdekatannya waktu tersebut.

Dalam segala kemungkinan, adalah wajib untuk disadari bersama bahwa agenda Subuh Akbar ini akan menjadi titik nadir perpolitikan umat Islam. Kalaulah agenda mereka sukses, dan Capres-Cawapres 02 menang, yang untung bukanlah umat Islam, melainkan Capres-Cawapres 02 itu sendiri. Dalam konteks demikian, mereka adalah oknum oportunis yang mengambil manfaat suara umat Islam demi mulusnya agenda politik mereka.

Sebaliknya, jika agenda tersebut gagal mereka akan berbondong-bondong dalam keputusasaan. Dan sebagai konsekuensi logisnya, kekerasan dan pemberontakan bukan lagi sesuatu yang mustahil. GISS sendiri pun mungkin tidak akan lagi digelar. Julukan mereka terhadap 17 April 2019 sebagai “Hari Kemenangan Umat Islam” bisa berubah menjadi momen “Hari Kebangkitan Umat Islam”, lalu aksi-aksi di tanggal tertentu kembali digelar, seperti yang sudah-sudah. Urusan mobilisasi massa umat Islam, mereka adalah jagonya.

ISP 1 poin 2 yang berbunyi: “optimalisasi seluruh gerakan pemenangan Prabowo-Sandi untuk sukseskan Subuh Akbar Indonesia di bawah komando ulama” harusnya cukup untuk menghentak kesadaran kita bahwa GISS dengan Subuh Akbar-nya sudah melampaui batas. Mereka tidak hanya berkampanye, tetapi menunggangi wilayah sakral untuk mencapai kepentingan-kepentingan politik mereka.

Tugas terpenting kita adalah membuat sejuk Pemilu kali ini dari tangan-tangan kepentingan. Pihak oportunis yang menggunakan sentimen keagamaan ke wilayah politik praktis harus sungguh-sungguh kita lawan. Politisasi keagamaan juga tidak bisa kita biarkan. Agenda GISS memang bukan tentang salat Subuh, melainkan tentang mobilisasi pemilih untuk memilih Capres-Cawapres 02, sebagaimana dalam ISP 2 poin 5.

Itulah klimaks politik GISS, di samping oportunisme Capres-Cawapres 02. Terlepas dari itu semua, penggiringan opini merupakan penyedap politik yang benar-benar harus kita cari kebenarannya: apakah umat Islam maju jika Capres-Cawapres 02 menang, atau akan musnah jika Capres-Cawapres 02 kalah. Atau semuanya tidak lebih dari bualan politik berbungkus agama di tahun Pilpres. Hanya Allah Yang Maha Mengetahui. Wallahu A‘lam bi al-Shawab.

*Muhammad Al-Faiz, Analis Sosial Keagamaan, tinggal di Jakarta

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru