26.2 C
Jakarta

Kita dan Sikap Plin-plan Menghadapi Terorisme

Artikel Trending

Milenial IslamKita dan Sikap Plin-plan Menghadapi Terorisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Beredar video Gus Dur yang seolah menegaskan konspirasi terorisme sebagai akal-akalan pemerintah. Dalam video wawancara bersama wartawan asing tersebut, Gus Dur mengatakan bahwa tidak ada bukti konkret bahwa Jemaah Islamiyah (JI) adalah aktor di balik semua aksi teror. Amrozi cs, pelaku Bom Bali I, bahkan disinyalir tidak tahu-menahu soal akan adanya aksi susulan. Statemen Gus Dur pun ditafsirkan beragam. Yang terang, keraguan akan terorisme itu sendiri semakin menyeruak ke publik.

Apakah benar Gus Dur ‘sama sekali’ menafikan eksistensi teroris? Apakah benar yang Gus Dur maksud ialah keterlibatan pemerintah di belakang semua aksi tak berperikemanusiaan tersebut? Ini penting untuk kita bicarakan. Gus Dur memang tokoh jujur dan tidak mungkin sembarang berkata. Tetapi, kita juga harus sadar diri, bahwa tidak semua ucapan Gus Dur tidak dapat ditelan mentah-mentah. Mari kita pikir, di mana nurani pemerintah kalau sampai berani mengorbankan orang melalui bom bunuh diri?

Kita tengah berkabung atas teror bom bunuh diri di Makassar. Per 2021 saja, banyak teroris JI dan JAD tertangkap. Di Poso, warga dan petugas tewas juga sudah terjadi beberapa kali. Apakah kita sampai hati mengatakan semua itu settingan sebagaimana yang petinggi PKS tuduhkan? Terorisme itu nyata, dan satu-satunya musabab yaitu kontestasi Islam. Menurut Sukron Kamil (2011: 64), pro-kontra terhadap demokrasi masih berlangsung di kalangan umat Islam Indonesia, sehingga kontestasi menjadi niscaya.

Kontestasi Islam semacam itu yang kemudian memunculkan kekuatan radikal di area religius dan politik (2004: 14). Umat Islam baik di JI, JA, PKS, FPI, HTI dkk semuanya ingin menjual gagasan keislamannya sendiri—demi tujuan politik masing-masing. Kekecewaan mereka karena bangsa Indonesia tetap utuh, tidak hancur seperti Suriah misalnya, dan sistem yang mereka anggap thaghut tidak juga runtuh, jadilah mereka meneror. Jadi, sekli lagi, terorisme adalah akibat konkret dari kekecewaan ideologis tersebut.

Tetapi kenapa kita masih sering kali plin-plan, tak punya pendirian, dalam memandang aksi teror?

Terorisme Konspirasi Nir-Manusiawi?

Mungkin karena kita tidak mengalaminya sendiri, maka sulit untuk percaya bahwa terorisme itu nyata. Orang yang plin-plan dan tidak jelas seperti itu biasanya mudah terpengaruh indoktrinasi. Andai saja orang semacam itu dibawa ke hadapan Aman Abdurrahman, nabinya JAD, teroris kelas kakap yang sekarang dipenjara, mungkin akan langsung jadi teroris. Tidak butuh waktu lama untuk mencuci otak orang plin-plan.

BACA JUGA  Gus Ipul, Gus Miftah, dan Fenomena Kiai-kiai Uang Penyesat Umat

Seharusnya, setelah gugurnya banyak aparat dan resahnya warga terutama non-Muslim karena pelbagai aksi teror, kesolidan kita selaku masyarakat bertambah. Setelah itu, kita bersama membantu aparat—bukan justru menyangsikan perjuangan mereka. Kalau kita riuh berdebat bahwa terorisme itu tak ada atau konspirasi pemerintah belaka, para teroris mungkin sedang leha-leha bergembira. Sementara, kita terus kehilangan kepercayaan pada pihak yang berwajib. Sangat naif.

Melihat tubuh pelaku bom bunuh diri hancur berkeping-keping itu sesuatu yang menjijikkan. Pilihan mereka untuk hidup mulia atau mati syahid ternyata berbalik; mereka hidup tak mulia dan mati tak syahid. Ketika pintu masuk paham keagamaan ekstrem—seperti kata Said Aqil Siradj—adalah Wahabi, sementara Wahabi itu sendiri di Indonesia banyak bertebaran, maka atas dasar apa kita menyangsikan terorisme itu sendiri?

Kalau pun konspirasi, maka itu konspirasi nir-manusiawi, sama tidak berperikemanusiaannya ketika kita justru menyiakan perjuangan aparat. Mereka ikut jadi korban, sementara kita hidup enak sambil berkomentar sembarangan. Apakah kita meragukan kebenaran terorisme hanya karena tidak ada bukti bahwa JI atau JAD pelakunya?

Tradisi Ikut-ikutan

Sangat disayangkan bahwa kesangsian akan terorisme jadi bumbu bagi mereka yang selama ini memang tidak percaya pemerintah. Kalau kita ikut mereka, berarti penyakitnya adalah diri kita sendiri: suka ikut-ikutan. Tradisi ini yang juga membuat terorisme tidak kunjung musnah: selalu memberi peluang bagi para teroris bahwa di luar sana masih ada yang membela dan mendukungnya.

Karenanya, tradisi ikut-ikutan dan sikap plin-plan tak jelas harus dihindari. Terorisme adalah musuh semua agama, dan kita yang Muslim tidak perlu menolak fakta bahwa terorisme memang menemukan legitimasinya dalam Al-Qur’an—sesuai penafsiran yang teroris lakukan. Al-Qur’an tidak mengajarkan terorisme, tetapi di dalamnya terdapat sejumlah ayat yang kalau ditafsirkan tekstual maka seolah memang membenarkan terorisme.

Itu bukan aib, jadi tidak benar kalau kita menyangkalnya lalu melimpahkan terorisme pada settingan pemerintah belaka. Persoalan terorisme adalah persoalan penafsiran atas teks Al-Qur’an, dan seharusnya ini menumbuhkan spirit pembenahan, bukan pemungkiran. Hanya orang bodoh yang menganggap terorisme tidak ada, dan hanya orang yang hatinya penuh kedengkian yang menuduhkannya sebagai konspirasi pemerintah.

Orang yang cuma ikut-ikutan seperti itu tidak berperikemanusiaan. Pasalnya, setelah korban banyak berjatuhan, aparat tumbang, dan teror terjadi di mana-mana, sementara pemerintah sudah sangat masif memerangi mereka, malah ia seenak jidat menganggap itu semua rekayasa belaka.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru