29.1 C
Jakarta

Kisruh India dan Kisah Keteladanan Rasulullah saat Shulhul Hudaibiyah

Artikel Trending

KhazanahKisruh India dan Kisah Keteladanan Rasulullah saat Shulhul Hudaibiyah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Undang-Undang Amandemen Kewarganegaraan India menuai protes keras, khususnya dari kalangan muslim negara itu. Protes terhadap UU ini sebenarnya sudah terjadi selama dua bulan terakhir. Kian meningkat beberapa hari belakangan. UU dianggap mendiskriminasikan Muslim India, yakni memudahkan jalur bagi warga non Muslim dari tiga negara tetangga (Bangladesh, Pakistan dan Afganistan) untuk mendapatkan kewarganegaraan di India. Namun hal serupa justru tidak didapat kelompok Muslim.

Akibat bentrokan dari kelompok pro dan kontra UU, tak ayal puluhan orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka. Kejadian ini menyita perhatian masyarakat dunia. Dari Indonesia, tak kurang dari Menteri Agama Jenderal (Purn) Fachrul Razi hingga Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengecam tindakan kekerasan berdarah di India. Menteri Agama menegaskan tidak ada ajaran agama manapun yang membenarkan sebuah kekerasan.

Sementara PBNU melalui Sekjen Helmy Faishal Zaini mengeluarkan 5 pernyataan sikap yakni pertama, mengecam segala bentuk dan tindak kekerasan, termasuk di dalamnya adalah perilaku menyerang pihak-pihak yang dianggap berbeda. Kedua, perdamaian, kebebasan, dan juga toleransi adalah prinsip utama dalam menjalankan kehidupan di samping prinsip maqasidus syariah yang terdiri dari hifdzud din wal aql (menjaga agama dan akal), hifdzul nafs (menjaga jiwa), hifdzun nasl (menjaga keluarga), dan hifdzul mal (menjaga harta), dan hifdzul irdh (menjaga martabat).

Ketiga, mendorong pemerintah Indonesia untuk segera mengambil langkah diplomatis dan ikut andil dalam upaya menciptakan perdamaian di India. Langkah ini tentu tak berlebihan mengingat Indonesia adalah negara muslim terbesar sedunia. Keempat, mendesak PBB untuk berinisiatif melakukan investigasi dan menindak segala pelanggaran HAM. Kelima, PBNU mengajak masyarakat internasional bersama-sama menggalang bantuan kemanusiaan dan upaya-upaya perdamaian bagi masyarakat India.

Shulhul Hudaibiyah di India?

Kalau kita cermati UU Kewarganegaran India di atas hampir mirip dengan Shulhul Hudaibiyah (Perjanjian Hudaibiyah)—sebuah perjanjian yang secara dzahir merugikan umat Islam namun senyatanya membawa kemaslahatan luas. Kiai cum intelektual muslim yang tengah nge-hits saat ini KH Ahmad Bahaudin Nursalim (Gus Baha’) dalam sebuah kesempatan pernah menyampaikan secuil kisah Perjanjian Hudaibiyah. Rasulullah saat itu telah sampai di pintu masuk kota Makkah, namun dihadang oleh kelompok musyrik Quraisy.

Bukan hanya isi perjanjian yang menurut para sahabat merugikan Islam, bahkan mukadimah perjanjian pun dinilai merendahkan Nabi. Kelompok musyrik Makkah yang diwakili Suhail bin Amr meminta Nabi menghapus kata ‘Rasulullah’ dan menggantinya menjadi Muhammad bin Abdullah. Semua sahabat keberatan termasuk Sayyidina Umar dan Sayyidina Ali. Namun Sayyidina Abu Bakar mengatakan, “Itu urusan Nabi dengan Allah.” Dengan entengnya Nabi menghapus kata Rasulullah dalam perjanjian. ”Sungguh aku adalah Rasulullah meskipun mereka mengingkarinya,” sabda Nabi SAW menenangkan para sahabat.

BACA JUGA  Bimtek PPIH 2024: Upaya Kementerian Agama Melahirkan Uwais Al-Qarni di Zaman Modern

Lalu bagaimana isi perjanjian itu? Pertama, gencatan senjata selama 10 tahun. Tiada permusuhan dan tindakan buruk terhadap masing-masing dari kedua belah pihak selama masa tersebut. Kedua, siapa yang datang dari kaum musyrik kepada Nabi, tanpa izin keluarganya, harus dikembalikan ke Makkah, tetapi bila ada di antara kaum Muslim yang berbalik dan mendatangi kaum Musyrik, maka ia tidak akan dikembalikan. Poin inilah yang menurut sahabat sangat merugikan umat Islam.

Ketiga, diperkenankan siapa saja di antara suku-suku Arab untuk mengikat perjanjian damai dan menggabungkan diri kepada salah satu dari kedua pihak. Keempat, pada tahun dilaksanakan perjanjian, Nabi Muhamamad SAW dan rombongan belum diperkenankan memasuki Makkah, tetapi tahun depan dan dengan syarat hanya bermukim tiga hari tanpa membawa senjata kecuali pedang yang tidak dihunus. Kelima, perjanjian ini diikat atas dasar ketulusan dan kesediaan penuh untuk melaksanakannya, tanpa penipuan atau penyelewengan.

Sontak para sahabat merasa kecewa dengan isi perjanjian. Namun apa yang terjadi? Justru pascaperjanjian, menurut Gus Baha’, Islam beserta ajarannya terus menjadi topik diskusi hangat di kalangan musyrik Makkah. Mereka mulai membicarakan kemungkinan-kemungkinan kebenaran ajaran tauhid Islam. Lalu, seperti yang kita tahu, justru Islam terus tumbuh menyebar luas dan mencapai puncaknya pada Fathu Makkah.

Seperti itulah takdir Allah. Semua yang terjadi di dunia ini tentu tak terlepas dari skenario-Nya. Maka, seyogianya umat muslim tak perlu menempuh cara kekerasan. Apalagi bagi muslim Indonesia yang lantas terpancing emosi hanya dengan melihat kiriman video. Percayalah, pemerintah Indonesia secara resmi telah mengecam tindakan kekerasan di India. Jadi tidak perlu kita berangkat jihad sambil memekikkan takbir berangkat ke sana. Itu sama saja masuk ke rumah orang, tanpa izin, lewat jendela pula. Ya jelas pelanggaran!

Oleh: Bramma Aji Putra

Penulis, Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru