29 C
Jakarta
Array

Kisah Seorang Santri Menjadi Guru Presiden

Artikel Trending

Kisah Seorang Santri Menjadi Guru Presiden
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Mudhakir muda kala itu baru saja lulus dari Ma’had Aly dan Institut Agama Islam (IAI) Ibrahimy Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur. Mudhakir masih berstatus pengangguran.

Hanya berbekal niat menjemput rezeki Allah, saat itu ia mantap meninggalkan kampung halamannya di Mantingan, Ngawi, Jawa Timur, menuju Solo, Jawa Tengah.

Awalnya, kegiatan Mudhakir di wilayah Solo Raya hanya melatih silat Pagar Nusa di halaman Kantor Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Karanganyar.

“Setelah lulus dari Situbondo tahun 1999, saya aktif di Gerakan Pemuda Ansor dan Pagar Nusa Mantingan, Ngawi, kurang lebih satu setengah tahun.  Akhir tahun 2000 saya dan beberapa sahabat Pagar Nusa Mantingan diminta melatih silat di Karanganyar,” kata Mudhakir (42 tahun) saat ditemui di rumahnya yang sederhana di Kompleks Graha Harmoni, Bulakrejo, Kabupaten Sukoharjo, baru-baru ini.

Sampai suatu hari mata Mudhakir melihat iklan lowongan guru mengaji di koran Solopos, Solo. Tanpa pikir panjang, Mudhakir pun melamar. Usai melalui ujian seleksi di Masjid Perumahan Fajar Indah, Solo, akhirnya Mudhakir diterima sebagai guru mengaji privat di Lembaga Pendidikan Al Quran (LPA) Budi Cendekia, Mojosongo, Solo, pimpinan Rahmat.

Menurut Mudhakir, mereka yang menjadi peserta kursus privat mengaji rata-rata bapak-bapak yang sudah tua. Malah sebagian di antaranya sudah pensiun dari pekerjaan dan ingin mendalami agama. Hanya sedikit saja di antara peserta kursus yang masih muda.

Nah, di antara yang sedikit itu, salah satunya Joko Widodo (Jokowi) dan anak bungsunya, Kaesang Pangarep. Saat itu Jokowi belum menjadi Walikota Solo dan hanya dikenal sebagai pengusaha mebel terkemuka di kota ini.

Mudhakir menjelaskan, kurang lebih setahun Jokowi dan Kaesang mendalami Al Quran. Ia memberikan les privat mengaji Al Quran dengan cara mendatangi rumah keluarga Jokowi di Solo. Materi yang ia sampaikan terutama adalah pelajaran baca tulis Al Quran.

Pemilik LPA Budi Cendikia, Rahmat, membenarkan, Mudhakir dulunya salah satu guru mengaji privat di lembaganya. “Benar, dulu Ustad Mudhakir merupakan salah satu guru mengaji di LPA Budi Cendikia,” tutur Rahmat.

Dari keluarga Jokowi, menurut Rahmat, hanya Jokowi dan Kaesang yang menjadi peserta les privat mengaji Al Quran. Iriana, istri Jokowi, dan anak Jokowi yang lain, yaitu Gibran Rakabuming dan Kahiyang Ayu, tidak ikut kursus.

Namun, menurut pengakuan Ustad Mudhakir, sesekali Kahiyang Ayu juga ikut membaca Al Quran, dengan Mudhakir yang bertugas menyimak bacaan Kahiyang.

“Saat mengajar privat inilah saya dan istri, dengan niat bismillah, hanya seminggu setelah menikah, hijrah dan tinggal di rumah kosong milik Masjid Al-Azhar, Perumahan Songgolangit, Gentan Baki, Sukoharjo,” kata suami dari Ani Syarifatun Hasanah ini.

Selain mengajar mengaji, Mudhakir sekaligus berperan sebagai muazin (penyeru azan) dan marbot yang bertugas menjaga kebersihan masjid. Mudhakir juga aktif mengelola kegiatan keagamaan lainnya bersama warga setempat.

“Saya tidak ingat jadwal privat di rumah Pak Jokowi tiap hari apa dan jam berapa. Yang saya ingat, waktu untuk belajar ngaji pak Jokowi luwes, tergantung waktu senggang beliau. Terkadang pagi, sebelum beliau memulai aktivitas kesehariannya,” katanya.

Sedangkan jadwal ngaji Kaesang, kata Mudhakir, biasanya sore hari. Dalam seminggu, Jokowi maupun Kaesang belajar mengaji masing-masing dua kali.

Satu hal yang hingga kini terus terkenang di benak Mudhakir dari perjumpaannya dengan Jokowi adalah ungkapan yang santun dan rendah hati.

“Kulo niki nggih tiyang saking ndeso, dados ampun sah perkewuh (saya ini juga orang desa, jadi tidak usah sungkan)!” kata Jokowi saat pertama menyambut kedatangan Mudhakir di rumahnya.

Belajar dari Awal

Jokowi mengawali belajar mengaji dari awal. Dimulai dari Iqra atau belajar membaca huruf Arab lebih dulu, seperti alif, ba’, ta’, dan seterusnya.

Sedangkan Kaesang, karena usianya saat itu yang masih belia dan semangatnya naik-turun, harus sering dibujuk Ibu Iriana agar bersedia mengaji.

“Saya tidak pernah melihat sikap kasar atau marah dari Ibu Iriana (kepada Kaesang). Bu Iriana, beliau orangnya santun, ramah dan kalem,” tutur Mudhakir kagum.

Menurut Mudhakir, biaya privat mengaji pada waktu itu (tahun 2001) hanya Rp 5.000 sekali pertemuan. Namun, kata dia, Jokowi seringkali memberinya bisyarah (honor) lebih banyak untuk jasanya mendampingi mengaji.

“Alhamdulillah, cukup! Terima kasih untuk istriku tercinta, Ani Syarifatun Hasanah yang selalu merasa cukup dengan seberapa pun yang Allah berikan,” kata Mudhakir dengan mata berbinar.

Suatu kali Jokowi, tutur Mudzakir, juga pernah memberinya oleh-oleh korek api Zippo dari Jerman, sehabis perjalanan dia mengurus ekspor furnitur ke sana. Mudhakir semula menolak, “Maaf saya tidak merokok, Pak.”

Namun Jokowi menjawab,”Boten nopo nopo, ditampi mawon!” (Tidak apa-apa, diterima saja). “Saya tidak tahu lagi, korek api Zippo itu saat ini berada di mana. Yang saya ingat, dulu saya berikan ke ayah saya,” kata Mudhakir.

Mudhakir mengajar mengaji privat untuk Jokowi dan Kaesang hingga tahun 2002. Saat itu ia terpaksa berhenti mengajar privat karena diterima sebagai PNS untuk formasi guru bahasa Arab di Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Bendosari, Sukoharjo (sekarang MTsN 3 Sukoharjo).

Mudhakir memutuskan untuk pamit kepada semua peserta privat mengajinya. Ia lalu memilih tinggal di Bendosari, Sukoharjo, dekat dengan madrasah tempat ia mengajar, sembari berkhidmah untuk NU.

“Nderek dhawuh (ikut perintah) Kyai As’ad Syamsul Arifin dan KH Hasyim Asy’ari, Kiai Khalid Umar Temboro, Gus Uzairon Temboro, Kiai Fawaid As’ad Syamsul Arifin, Kiai Hariri Abdul ‘Adhim, Kiai Afifuddin Muhajir (Ma’had Aly), serta guru guru kami semuanya. Allahu yarhamuhum (semoga Allah menyayangi mereka), Amin,” kata Mudhakir.

Selain menjadi guru MTsN, saat ini dia juga mengemban amanah sebagai Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PCNU Sukoharjo.

Setelah Jokowi menjadi Walikota Surakarta, atas anjuran salah satu tetangganya yang bekerja di Balaikota Surakarta, Mudhakir mencoba bersilaturahim ke Loji Gandrung, rumah dinas Walikota Solo. Mudhakir saat itu mengajak serta anak istriya, sembari berjalan-jalan di kota Solo.

Namun karena tidak membuat janji lebih dulu, ia pun gagal bertemu Jokowi. Penjaga rumah dinas mengatakan, Jokowi sedang tidak ada di rumah.

“Setelah itu saya hanya berusaha ‘nyambung’ dengan doa yang–insya Allah— akan selalu saya panjatkan sampai kapan pun. Bukan hanya untuk beliau (Jokowi) saja, tapi juga untuk seluruh peserta privat mengaji lainnya, yang saya yakin menjadi salah satu sebab Allah memberi anugerah dan rezeki untuk kami sekeluarga,” kata ayah tiga anak ini.

Mudhakir tidak mengira, Jokowi yang dulu pernah belajar mengaji Al Quran kepadanya – Mudhakir lebih suka memakai istilah “membersamai” daripada mengajar — akhirnya menjadi Walikota, Gubernur, bahkan Presiden.

“Karena yang saya tahu, saat itu beliau sepertinya tidak memiliki ambisi kekuasaan (hubburriyaasah),” kata Mudhakir.

Meski begitu, Mudhakir mengaku sangat bersyukur bahwa orang yang pernah ia kenal dekat itu sekarang menjadi orang penting di negeri ini.

“Kami bersyukur, Pak Jokowi yang pernah kami bersamai belajar mengaji Al Quran, kemudian diberi anugerah dan amanah dari Allah SWT untuk menjadi pemimpin. Harapan kami, beliau tetap istiqomah untuk memperjuangkan keadilan dan kesetaraan untuk seluruh warga bangsa,” kata Mudhakir.

Tak disangka, harapan Mudhakir untuk bertemu Jokowi akhirnya tanpa sengaja bisa terkabul tahun lalu. Saat itu bertepatan dengan momen Halal Bihalal Kebangsaan PCNU Se-Jawa Tengah, di Semarang, yang juga dihadiri Presiden Jokowi. Mudhakir ikut datang sebagai perwakilan PCNU Sukoharjo.

Saat Jokowi menyalami para hadirin dan tiba pada giliran menyalami dirinya, ternyata Jokowi masih ingat dengan Mudhakir. “Sakmeniko wonten pundi Njenengan (sekarang di mana Anda)?” sapa Jokowi pada Mudhakir.

Mudhakir pun menjawab, “Ten (di) Sukoharjo, Pak.”

Alhamdulillah, kata Mudhakir berkali-kali, setelah 16 tahun tidak berjumpa, ternyata Jokowi masih ingat dengan dirinya yang hanya orang kecil.

Jokowi, di mata Mudhakir, tetap rendah hati dan bersahaja seperti dulu ia pernah mengenalnya. Padahal Jokowi yang sekarang bukan lagi sekadar pengusaha mebel di kota kecil Solo, melainkan sudah menjadi orang paling berkuasa di Republik ini. (*)

[zombify_post]

Ahmad Khalwani, M.Hum
Ahmad Khalwani, M.Hum
Penikmat Kajian Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru