32.9 C
Jakarta
Array

Kilas Balik Jihadis Islam Indonesia

Artikel Trending

Kilas Balik Jihadis Islam Indonesia
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Kebangkitan Islam adalah cita-cita luhur yang didambakan seluruh masyarakat muslim dunia. Bagaimana tidak, Allah SWT sangat tegas mensyaratkan bahwa peradaban suatu negara-bangsa akan bisa maju, adil-makmur, aman-damai, serta berdaulat hanya jika penduduknya beriman dan bertakwa kepada Allah SWT. Komitmen ini telah Allah syariatkan dalam QS. al-A’raf. Dan kesalahan memahami firman tuhan inilah akhirnya melahirkan kelompok jihadis.

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Artinya:

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya itu. (QS. al-A’raf: 96).

Berangkat dari firman ini, mewujudkan masyarakat dunia yang takwa dan taat kepada Allah adalah suatu keniscayaan. Ketetapan ayat ini menjadi setingkat lebih kultus manakala disandingkan dengan beberapa ayat lain tentang kisah umat terdahulu yang kerap kali diazab Allah sebab pengingkarannya atas perintah Tuhannya.

Sebagai umat muslim yang taat, sepantasnya memperjuangkan janji Allah tentang kemakmuran bangsa ini. Maka, sepintas dapat dimaklumi ketika umat muslim di pelbagai belahan  dunia melakukan gerakan jihad ke arah ini. Terlebih pada saat ini kemungkaran dipertontonkan secara telanjang dan terbuka, perilaku yang menyimpang dari aturan Allah, memusnahkan orang yang berbeda dengan dalil Jihad. Alasannya sederhana, demi menegakkan agama Allah serta memulihkan manusia ke jalan takwa agar dapat meraih kemakmuran yang Allah janjikan.

Bersamaan dengan ini, pada ayat selanjutnya Allah SWT menyatakan bahwa bumi ini beserta segala kekayaannya diperuntukkan kepada hambanya yang bertakwa.

إِنَّ الْأَرْضَ لِلَّهِ يُورِثُهَا مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ

“….Sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa,” (QS. Al-A’raf: 128)

Ayat ini semakin menguatkan bahwa hanya manusia bertakwalah yang berhak atas kekayaan alam ini. Sedangkan yang mungkar sama sekali tidak mendapat hak atas karunia Allah. Bahkan, menjadi penghalang akan rahmat Allah, sebagaimana ayat sebelumnya. Pola pikir yang demikian ini menjadi landasan yang sangat kuat untuk memusnahkan siapa saja yang menjadi penghalang rahmat Allah, kufur. Pada kondisi demikianlah jihad memperoleh peran pentingnya untuk segera diperjuangkan.

Sisi Dominan Radikalisme NII dan Wahabisme

Demi terwujudnya kebangkitan Islam sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, umat muslim disyariatkan untuk jihad. Sebab hanya dengan jihad inilah Islam akan kembali pada posisi kejayaannya, dan umat muslim akan kembali menjadi bandul penentu kebijakan dunia.

Sebagai percontohan masyarakat muslim dunia, Jazirah Arab adalah kawasan muslim pertama yang menyerukan kembali ke jalan Allah dengan mengembalikan ke murnian ajaran Islam. Memusnahkan seluruh bentuk Takhayul, Bid’ah dan Kurafat. Gerakan ini dikenal dengan Salafi yang dihembuskan Muhammad bin Abdul al-Wahhab (1703-1792).

Wahabi awalnya lebih merupakan sayap Islam kanan yang mendakwahkan pemurnian ajaran Islam. Fazlur Rahman, dalam bukunya Islam (1984) mendeskripsikan ajarannya sebagai “sayap kanan ortodoksi yang ekstrim” di wilayah Arabia tengah. Secara aqidah ia dibayang-bayangi ajaran Ibnu Taimiyah (w. 1328) dan dibesarkan dalam tradisi hukum Hanbalian.

Karen Armstrong menegaskan, kelahiran wahabisme tidak dapat dilepaskan dari kebangkitan kaum ortodok di provinsi Kerajaan Utsmani sebagai pelipur lara atas krisis yang dihadapi Islam di masanya. Maka Wahabi mengutuk yang demikian ini sebagai ulah dari praktik beragama yang salah dan menyimpang. Dan kesimpulannya, umat muslim kembali pada al-Qur’an dan Sunnah.

Armstrong (Sejarah Islam, 2014) mencatat bahwa bagi Abdul Wahab krisis saat itu paling baik disikapi dengan kembali secara fundamental dan radikal kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Hal yang perlu dicatat dari Wahabi adalah gerakannya dilakukan dengan cara radikal dan tekstual atas ayat suci al-Quran, perusakan dan penggusuran seluruh situs-situs kultus yang dianggap kurafat [Metode dan alternatif Neomodernsime (1993)]. Bagi mereka yang  demikian ini adalah jihad pemurnian agama, dan upaya mengambalikan Islam pada landasan al-Qur’an dan Sunnah.

Potret Radikal NII

Hal yang sama, gerakan radikal ini tercium baunya di Indonesia. Berawal dari 3 orang berkawan,  Soekarno, Semaoen, dan Kartosoewirjo yang tinggal bersama sebagai murid Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto, pemimpin Sarekat Islam (SI). Ketiga orang berkawan ini seiring dengan perkembangan perjuangan kemerdekaan Indonesia, ketiganya menempuh jalan politiknya yang berbeda.

Soekarno mendirikan Partai Nasional Indonesia. Semaoen, Alimin, dan Musso menjadi tokoh-tokoh utama Partai Komunis Indonesia serta SM Kartosoewirjo menjadi peminpin Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Bersamaan dengan perkembangan perebutan pengaruh dan permainan politik nasional di masanya, Soekarno dibaiat sebagai kepala negara (presiden). Sementara itu Kartosoewirjo sebagai panglima DI/TII tidak mau kalah dengan prestasi yang diraih Soekarno. Alih-alih golongannya kurang mendapat perhatian memuaskan dari negara.

Setelah melalui proses panjang saling berebut kuasa, sesuai dengan namanya, Kartosoewirjo mendeklarasikan Negara Islam Indonesia (NII) pada 7 Agustus 1949 di Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Aceh bergabung (dikenal dengan Segitiga Bermuda). Dalam proklamasi NII disebutkan bahwa “Negara berdasarkan Islam” dan “Hukum yang tertinggi adalah Al-Qur’an dan Sunnah” serta menolak berlakunya “hukum kafir”.

Pada titik ini, sepintas yang tampak dari NII adalah gerakan skandal atas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang dikepalai oleh pendiri Partai Nasionalis Indonesia (Soekarno). Namun lebih jauh, dalam perdebatannya, guna meruntuhkan legitimasi Soekarno sebagai kepala negara, DI/TII kerap kali membenturkan negara pimpinan Soekarno (NKRI) dengan syariat Islam. Maka yang tampak dipermukaan NKRI tidak bersyariat di mata kawanan Pak Karto. Namun demikian, sebagaiaman lazimnya, gerakan NII Pak Karto yang banyak bertentangan dengan asas Negara Kesatuan, maka harus mengakhiri hidupnya dengan tragis, eksekusi hukuman mati pada September 1962 oleh kawannya sendiri, Soekarno.

Terbunuhnya Kartosoewirjo tidak mengakhiri penyebaran spirit dan ideologi Negara Islam sebagaimana NII perjuangkan. Para pengikutnya terus berkonstalasi mencari performa baru dan terus  melakukan kaderisasi. Mereka adalah Adah Djaelani, Danu Muhammad Hasan, Tahmid Rahmat, Dodo Muhammad Darda, Ateng Djaelani, Djaja dan Aceng Sudjadi. Mereka di tengah perjalanannya sering bongkar pasang pasukan, saling kompromi dan bahkan saling berebut pengaruh.

Jumpa Radikal Wahabisme dan NII

Hal yang perlu dicatat dari NII adalah di tengah perjalannya NII bertemu dengan Salafi atau Wahabi. Pertama-tama NII berjumpa dengan gerakan Salafi melalui Aceng Kurnia yang merupakan pengikut sekaligus ajudan SM Kartosoewirjo. Di tangan Aceng, NII dan Salafi saling mempengaruhi. Yaitu pada proyek penyusuna buku tentang doktrin tauhid dan jihad. Aceng banyak belajar itu semua dari buku-buku terjemahan karya salafi-jihadis Timur Tengah. Mereka adalah Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, Said Hawwa, Abu A’la al-Mawdudi, dan Abdul Qadir Audah.

Di tahun 1970-an, buku-buku karya pentolan Wahabi itu banyak diterjemahkan dan diedarkan DDII (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) M. Natsir, mantan ketua Masyumi. Bekerja sama dengan lembaga dakwah internasional seperti Rabithah al-Âlam al-Islâmî dan IFFSO (International Islamic Federation of Studen Organizations). Bahkan lebih dari itu, sepanjang taun 1970an DDII menerbitkan 12 seri buku karya ulama al-Ikhwân al-Muslimûn (IM) Mesir dan Jama’ati Islam (JI) Pakistan yang kesemuanya ini telah disinggung di awal sebagai turunan dari Wahabisme.

Lebih dari itu, kolaborasi NII dengan Salafi lebih kental lagi terlihat Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir mendaulatkan diri sebagai peminpin Jamaah DI/NII. Keduanya, menggencarkan aksi dakwah di pelbagai tempat untuk mengajak dan  mempropaganda masyarakat. Sungkar dan AB Ba’asyir terkenal di Surakarta dengan dakwahnya yang anti bid’ah dan khurafat, sebagaimana yang sebelumnya telah diuraikan tentang gerakan pemurnian Islam  ala Wahabi.

Maka dari hasil pertemuan Salafi atau Wahabi dengan NII ini kedua ormas ini sama-sama getol mengkafirkan NKRI beserta negara-negara yang tidak menjadikan al-Quran dan Sunnah sebagai hukum formal negaranya.

Ahmad Fairozi
Ahmad Fairozihttps://www.penasantri.id/
Mahasiswa UNUSIA Jakarta, Alumni PP. Annuqayah daerah Lubangsa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru