26.7 C
Jakarta

Khilafatul Muslimin dan Dua Muka Isu Khilafah

Artikel Trending

EditorialKhilafatul Muslimin dan Dua Muka Isu Khilafah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Penangkapan pemimpin tertinggi Khilafatul Muslimin, Abdul Qadir Hasan Baraja, menarik perhatian sejumlah pihak. Setelah BNPT dan Densus 88 menegaskan bahwa kelompok tersebut menganut ideologi yang mengancam Pancasila dan NKRI, umat Islam di Indonesia terlibat dalam perdebatan pro-kontra. Namun yang menarik adalah liputan eksklusif Jurnalis senior Kompas TV, Aiman Witjaksono berjudul “Misteri Konvoi Khilafah”. Benarkah khilafah tidak berbahaya?

Aiman memulai liputan dengan melakukan napak tilas rute konvoi, kemudian menemui para peserta konvoi di kawasan Cempaka Putih, Jakarta Timur. Aiman juga bertemu Amir atau pemimpin tertinggi Khilafatul Muslimin wilayah Jakarta Raya, Muhammad Abudan, yang juga ikut dalam konvoi bersama 67 orang lainnya. Setelah itu, Aiman juga berbicang dengan Direktur Pencegahan BNPT, Brigjen. Pol. Ahmad Nurwakhid, dan Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia, Islah Bahrawi.

Dalam liputan berdurasi 40-an menit, masalah utama yang ditelisik Aiman ialah, benarkah Khilafatul Muslimin tidak ingin menggantikan Pancasila dan NKRI? Faktanya, Khilafatul Muslimin memiliki struktur kepengurusan yang lengkap: 1) Amir Internasional, 2) Amir Daulah, 3) Amir Wilayah, dan 4) Amir Ummul Qura. Setiap Amir punya personal pengurus sendiri, dan Amir Internasional bahkan punya susunan kabinet serupa negara, yakni jajaran kementerian.

Dalam wawancara, diketahui bahwa Muhammad Abudan merupakan Amir Wilayah Jakarta Raya meliputi Jakarta, Tangerang, Serang, dan sekitarnya. Dalam penuturan Abudan, khilafah yang dianut Khilafatul Muslimin sebagai sistem pemerintahan bukan untuk membangun negara dalam negara. Menurutnya, banyak yang salah kaprah termakan hoaks. Yang benar, menurutnya, khilafah tak sama dengan negara. Negara tetap ada, namun struktur keislamannya menganut khilafah.

Abudan menyampaikan tiga poin menarik untuk ditanggapi. Pertama, ia membedakan antara Pemimpin Agama dan Pemimpin Negara. Pemimpin Negara adalah presiden, sedangkan Pemimpin Agama ialah khalifah. Pembedaan semacam ini bertentangan dengan konsep umum khilafah seperti disuarakan Al-Qaeda, ISIS, NII, JI, MMI, bahkan HTI.

Padahal, pemimpin tertinggi Khilafatul Muslimin, Abdul Qadir Baraja adalah alumni NII. Pernyataan Abudan dengan demikian hanyalah silat lidah untuk menyelamatkan diri.

Kedua, Khilafatul Muslimin tidak ingin menggantikan Pancasila. Menurut Abudan, struktur kepengurusan di Khilafatul Muslimin tidak boleh disamakan dengan struktur negara. Misalnya, Menteri Pertahanan. Yang dimaksud bukan menteri untuk menyaingi Kemenhan di NKRI dan punya militer.

BACA JUGA  Menyikapi Zionis sebagai Terorisme Global

Pernyataan Abudan ini agak benar. Melihat personalia yang sedikit, nomenklatur kepengurusan hanya formalitas. Tetapi jika diklaim tidak ingin mengganti Pancasila, maka pertanyaan skakmatnya adalah “lalu kenapa harus ada kelompok tersebut beserta jajaran kementeriannya”?

Ketiga, Pancasila seharusnya ada di bawah khilafah. Menurut Abudan, dengan mengutip pendapat Abul Qadir Baraja, poin-poin dalam Pancasila seharusnya ada di bawah khilafah. Maksud Abudan mungkin Khilafatul Muslimin tidak akan merombak Pancasila, namun justru menjadikannya sebagai konstitusi kekhilafah.

Namun, poin ketiga ini justru memperjelas ketidaktahuan dan ketidakpahaman Abudan dengan organisasinya sendiri di satu sisi, dan dua muka isu khilafah Khilafatul Muslimin di sisi lainnya. Tanpa disadari, ia memosisikan khilafah sebagai sistem pemerintahan: meliputi otoritas politik dan otoritas agama—yang artinya kontradiktif dengan pernyataannya sendiri pada poin pertama tadi.

Abudan secara tidak langsung mengakui bahwa Khilafatul Muslimin bukan ingin menggantikan Pancasila, melainkan menggantikan “negara yang ada saat ini”. Negara saat ini, yakni NKRI, dengan sistem demokrasi, yang menjadikan Pancasila sebagai falsafah dan dasar negara, berusaha dirombak dengan kekhilafahan ala Khilafatul Muslimin. Pendeknya, NKRI diganti Khilafah, sementara Pancasila yang awalnya jadi dasar NKRI akan dijadikan dasar Khilafah. Skakmat!

Tampaknya, Khilafatul Muslimin bermain dengan muka. Satu sisi, para aktivisnya masih ingin menumpang di NKRI, sehingga terpaksa mengakui pemerintahan agar terlihat seolah-olah setuju dengan Pancasila. Di sisi lain, mereka mencita-citakan khilafah sebagaimana kelompok islamisme lainnya, yakni membentuk pemerintahan tunggal di bawah bendera Islam, menguasai politik dan agama sekaligus.

Dua muka isu khilafah semacam itu harus lebih diwaspadai karena akan menipu banyak umat Islam yang tidak paham. Apa yang Abudan katakan dalam wawancara bersama Aiman tampak mengkristalisasi Khilafatul Muslimin sebagai organisasi yang memang wajib bagi kaum Muslim. Padahal, dua muka khilafah ala Abudan dan Khilafatu Muslimin tersebut adalah kedok belaka. Khilafatul Muslimin ingin mendirikan negara teokratis yang sama sekali berbeda bahkan mengancam NKRI. Itu semua jelas.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru