29.7 C
Jakarta

Khilafah Tak Perlu Diwacanakan Lagi Sebagai Sistem Pemerintahan di Indonesia

Artikel Trending

AkhbarNasionalKhilafah Tak Perlu Diwacanakan Lagi Sebagai Sistem Pemerintahan di Indonesia
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Jakarta – Kriminalisasi khilafah adalah narasi yang menyesatkan seperti kriminalisasi umat Islam, ulama dan lainnya. Narasi ini kerap muncul dari kelompok radikal sebagai pembelaan terhadap manuver dan gerakan mereka yang bertentangan dengan fasafah negara.

Hidup dalam sebuah sistem bernegara sejatinya adalah wajib hukumnya menjaga nilai kesepakatan dan fondasi persatuan.

Hal ini turut ditegaskan oleh Ketua Badan Penanggulangan Ektremisme dan Terorisme Majelis Ulama Indonesia (BPET MUI), H. Muhammad Syauqillah, Ph.D. Menurutnya, persoalan khilafah telah selesai sejak lama dan tidak perlu lagi diperdebatkan implementasinya, apalagi mewacanakannya sebagai sebuah sistem pemerintahan di Indonesia.

“Kekhilafahan itu sudah berhenti di era Khulafaur Rasyidin, setelahnya muncul berbagai dinasti hingga era Usmani (Turki) yang selesai pada tahun 1923. Penggunaan terminologi khalifah juga sudah selesai (tidak perlu diperdebatkan), Usmani menggunakan kata khalifah untuk menyebut penguasa. Jadi tidak perlu lagi di wacanakan sebagai sebuah sistem pemerintahan di Indonesia,” ujar Muhammad Syauqillah, Ph.D, di Jakarta, Selasa (28/6/2022).

Pria yang juga Kepala Program Studi Kajian Terorisme, Universitas Indonesia (UI) ini melanjutkan, Usmani sejatinya menggunakan sistem pemerintahan Daulah, Daulah Usmaniyah bukan Khilafah Usmaniyah, sehingga ia menilai disinilah kelemahan literasi dari para pengusung atau simpatisan Ideologi Khilafah.

“Sehingga pasca Usmani, banyak sekali wilayah yang mendeklarasikan diri sebagai negara bangsa baik dalam bentuk kerajaan dan sebagainya termasuk Indonesia yang memilih sebagai negara Pancasila. Dan kita sudah selesai Pancasila itu,” jelasnya seperti dikutip dari siaran pers Pusat Media Damai (PMD) BNPT.

 

Menurutnya, dalam perjalananan berbangsa melalui para founding fathers, ulama, serta para tokoh telah menyepakati Indonesia merupakan darul ahdi wal syahadah atau negeri yang penuh dengan kedamaian serta darul mitsaq atau negeri kesepakatan. Sehingga sistem yang ada dalam bangsa ini sudah selesai dan telah bersepakat dalam konteks berbangsa dan bernegara.

“Bagi yang masih mengkampanyekan khilafah, perlu sadari betul bahwa para ulama terdahulu telah melakukan ijtiha, dan telah bersepakat atas rumusan dalam bernegara,” kata pria yang pernah menempuh pendidikan di Marmara University, dan meraih Doctor of Philosophy (PhD) Ilmu Politik ini.

Terlebih, Islam justru mengajarkan dalam konteks berbangsa bernegara, hal-hal yang mengatur tentang misalnya kehakiman, kementerian, wilayatul qadha, serta keuangan yang juga ada dalam sejarah Islam dan merupakan produk ijtihad.

BACA JUGA  Sestama BNPT RI Dorong Pemerintah Daerah Terlibat Aktif Laksanakan RAN PE

“Dalam urusan berbangsa dan bernegara tentu Islam telah mengajarkan tentang menjaga bangsa, serta urusan terkait kenegaraan seperti kehakiman, maal, hingga keuangan,” ujar pria yang akrab disapa Gus Syauqi ini.

Untuk itu, pria yang juga Dosen Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) UI ini menilai perlu ada upaya nyata dari berbagai stakeholder guna mewaspadai ideologi khilafah yang kian hari semakin massif hingga masuk pada lini-lini kehidupan masyarakat.

“Ini berkenaan dengan literasi masyarakat, tentang bagaimana sessungguhnya sejarah dan makna khilafah itu perlu dilihat, kalau ada berbagai macam versi dan sejarah sebaiknya dibaca semua dan dipertimbangkan seperti apa (kebenarannya),” kata Gus Syauqi.

Kemudian menurut Gus Syauqi, perlu adanya langkah atau kampanye yang berkesinambungan terkait narasi alternatif yang juga harus sesuai atau mendekati kepada Bahasa dan selera konten anak muda.

“Misalnya tentang terminologi kekhilafahan, terminologi khalifah, sejarah misalnya, itu kampanyenya harus simultan dan berkesinambungan,” tuturnya.

Tidak hanya itu, dari sisi pemerintah, Syauqillah juga mengharapkan adanya upaya konkrit guna memotong gerak kelompok radikal pengusung khilafah melalui penguatan kontra narasi dan wacana yang didiseminasikan melalaui semua lini dan sumber daya yang ada. Kedua, melalui penguatan regulasi.

“Mau tidak mau, hampir 90% ini berkenaan dengan ideologi dan harus direspon, tidak bisa didiamkan begitu saja. Harus ada regulasi yang jelas dan matang, artinya harus dengan memperhatikan hak-hak asasi warga negara karena ini terkait,” ujar Penulis Buku Ketahanan Keluarga, Paradoks Radikalisme dalam Keluarga Indonesia ini.

Menurutnya, regulasi yang diharapkan tidak hanya penindakan hukum tegas kepada pelaku, namun juga menyediakan metode soft approach yang berisi pola pembinaan dan deradikalisasi agar siapapun yang pernah terjerumus dalam ideologi kontemporer tersebut dapat Kembali kepelukan NKRI.

“Kita punya penegakan hukum tapi disisi lain kita punya soft approach, sudah lengkap sebetulnya apa yang kita punya, Ini hanya fase sampai kita bisa menciptakan regulasi yang tepat. Ini akan berjalan seiring perkembangan fenomena, hasil kajian/penelitian hingga tercipta formulasi yang tepat,” pungkas Gus Syauqillah

Ahmad Fairozi
Ahmad Fairozihttps://www.penasantri.id/
Mahasiswa UNUSIA Jakarta, Alumni PP. Annuqayah daerah Lubangsa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru