27.5 C
Jakarta
Array

Khilafah Sebagai Pilihan dalam Penyelenggaraan Negara

Artikel Trending

Khilafah Sebagai Pilihan dalam Penyelenggaraan Negara
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Khilafah Sebagai Pilihan dalam Penyelenggaraan Negara

Oleh: Prof. Dr. Muhammad Machasin, MA

Kata “khalifah” ditemukan di dalam dua tempat dalam al-Qur’an. Yang pertama pada ayat 30 dari surat al-Baqarah: “Ingatlah ketika Tuhanmu berkata kepada para malaikat, ‘Aku akan menjadikan khalifah di bumi.’” Di situ yang dimaksud adalah wakil Tuhan, yakni makhluk yang mempunyai kehendak dan kekuatan untuk memilih dan melakukan perbuatan: baik atau buruk. Karena itu, para malaikat khawatir bahwa wakil itu akan berbuat kerusakan dan menumpahkan darah. Tuhan menjawab kekhawatiran malaikat itu dengan menyebut adalah tujuan yang tak mereka ketahui terkait pembuatan wakil itu. Ini berarti bahwa khalifah di sini tidak berarti kepala negara atau kepala pemerintahan atau pemimpin umat.

Kedua pada surat 38/Ṣād: 26. Di situ disebutkan bahwa Nabi Dāwūd dijadikan khalifah oleh Allah dan karenanya ia mesti memutus perkara di antara manusia dengan benar. Sepintas memang ayat ini menyebut khalifah sebagai jabatan pemimpin, mengingat bahwa Nabi Dāwūd adalah raja yang memutus perkara. Akan tetapi, pengertian ini bisa juga berasal dari pengertian yang sudah disebutkan sebelumnya, yakni bahwa semua orang adalah wakil Tuhan di bumi. Dāwūd pun, sebagai orang beriman, diingatkan tentang kedudukannya sebagai wakil Allah itu. Karena selain itu ia juga menduduki jabatan raja yang memutuskan perkara, ia mesti ingat akan kedudukannya itu dalam memutuskan perkara juga.

Selain itu, dalam bentuk jamak ditemukan kata khalā’if (6/al-Anʻām: 165, 10/Yūnus: 14 dan 73, 35/Fāṭir: 39) dan khulafā’ (7/al-Aʻrāf: 69 dan 74). Kedua kata ini memberikan pengertian pengganti bangsa yang telah punah sebelumnya. Dari itu tidak ditemukan perintah untuk mengambil sistem politik khilafah.

Sistem khilafah muncul dalam sejarah dengan masa percobaan sejak wafat Nabi Muhammad saw. (11/632) sampai terbunuhnya Khalifah Ali (40/661), yang disebut Khilāfah Rāsyidah atau kekhalifahan yang lurus, kemantapannya dan perkembangan bentuknya setelah itu sampai kehancurannya (1924). Masa Khilafah Rāsyidah saya sebut percobaan karena sistem pemilihan empat Khalifahnya yang berbeda-beda.

Jika dibandingkan dengan masa-masa sesudahnya yang sangat panjang dengan pemilihan khalifah yang relatif baku, masa yang pendek itu terlihat sebagai masa percobaan. Selain itu, para Khalifah di masa itu belum diikat dengan satu sistem penyelenggaraan kekuasaan.

Abu Bakr “terpilih” dalam pertemuan spontan di aula Bani Sāʻidah; ‘Umar ditetapkan sebagai Khalifah atas dasar pesan Abu Bakr sebelum meninggal; ‘Utsman di pilih dari beberapa nama yang ditunjuk ‘Umar sebelum ia meninggal akibat luka tusukan; ‘Ali “ditetapkan” dalam kekacauan setelah ‘Utsmān terbunuh oleh pemberontak Muslimin. Setelah itu jabatan Khalifah diwarisi oleh anak dari ayahnya atau perebutan antara anggota keluarga Khalifah yang baru saja meninggal. Khilāfah adalah produk historis yang dalam prakteknya di masa lampau tidak berbeda dari kerajaan.

*Penulis adalah Guru Besar UIN Sunan Kalijaga

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru