29.7 C
Jakarta
Array

Khilaf Khilafah ISIS

Artikel Trending

Khilaf Khilafah ISIS
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Mendirikan pemerintahan dengan sistem khilafah merupakan agenda politik utamayang diusung oleh ISIS. Hadisyang dijadikan dasar pendirian khilafah oleh mereka adalah:

Ismâ‘il ibn Ja’far al-Madini bercerita kepada kami, ‘Abdullah ibn Dinar bercerita kepada kami, dari Ibn ‘Umar ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya…” (Sahih Muslim)

Dalam memahami hadis ini, ISIS menyatakan dalam majalah resminya, Dabiq, bahwa konstruksi kepemimpinan (ra‘i) yang dimaksud dalam hadis tersebut, yang pemaknaannya terkait dengan QS. Al-Baqarah ayat 124 dan QS. Al-Nur ayat 55, yakni tentang janji Allah yang akan menyerahkan kepemimpinan kepada hambanya yang saleh, adalah mencakup kepemimpinan politik dan agama, sehingga menjadi landasan kewajiban dan tanggungjawab mendirikan khilafah (imamah al-kubra) bagi pihak yang mampu menjalankan syariat, karena menafsirkan suatu lafal, berupa kepemimpinan, dengan menggunakan beberapa makna yang tidak bertentangan, yakni agama dan politik, merupakan pendekatan yang benar.

Untuk menguatkan hujjah-nya, mereka mengutip perkataan ‘Umar ibn al-Khattab tentang keharusan mendirikan pemerintahan, “Tidak ada Islam tanpa jamaah, tidak ada jamaah tanpa ‘imarah (kepemimpinan), dan tidak ada kepemimpinan tanpa ketaatan.

Khilafah dipahami oleh ISIS sebagai kepemimpinan yang wajib dan sah secara ekslusif karena merupakan bagian dari tradisi Ibrahim (millah Ibrahim). Tradisi Ibrahim berarti gagasan bahwa umat muslim harus bersatu di bawah satu kepemimpinan untuk menerapkan syariat Allah. Pada masa ini, ISIS menganggap hanya mereka saja yang paling layak mewarisi tradisi Ibrahim ini, karena telah mampu secara maksimal dalam menerapkan syariat Allah.

Berdirinya kekhilafahan ISIS secara resmi diumumkan oleh Abu Muhammad al-‘Adnani, juru bicara ISIS, pada hari pertama bulan Ramadan 1435 H. Dalam fatwa ISIS, pendirian khilafah ini secara otomatis membatalkan janji setia kepada pemimpin atau pemerintahan yang ada sebelumnya, karena pada dasarnya khilafah global merupakan kewajiban ain dan pemerintahan teritorial terbatas (lokal) hanya sementara (darurat), sehingga ketika khilafah telah berdiri, semua umat Islam harus membaiatnya.

Tinjauan atas pemahaman dalil khilafah versi ISIS di atas adalah sebagai berikut, pemaknaan hadis tentang tanggung jawab sebuah kepimpinan dan tafsir QS. Al-Nur ayat 55 tentang janji Allah yang akan menyerahkan kepemimpinan kepada hamba yang saleh merupakan upaya istidlal yang batil, karena sebuah nas yang umum (‘am) tidak boleh digunakan atau dipelintir untuk menafsiri sebuah peristiwa terbatas (khas) dan tertentu, dalam hal ini naiknya Abu Bakar al-Baghdadi sebagai khalifah ISIS, yang terjadi setelah lebih dari 1400 tahun dari munculnya nas tersebut.

Menanggapi konsep khilafah ISIS, Ali Jum‘ah, mantan Mufti Mesir, secara tegas menyatakan bahwa tidak ada satu hadis pun yang menyeru untuk mendirikan khilafah, yang ada adalah hadis, “Ketika di dunia ini tidak terdapat khalifah, maka diamlah di rumahmu”, dan hadis lain mengenai larangan menyulut konflik, menciptakan fitnah, dan melahirkan perpecahan, ketiga-tiganya merupakan pelanggaran yang telah dilakukan oleh ISIS.

Deklarasi khilafah di wilayah yang mempunyai pemerintahan yang sah dan konstitusional adalah tidak diperbolehkan dalam Islam dan tergolongan pemberontakan (baghi), kecuali jika penguasa tersebut melarang didirikannya salat di wilayahnya atau kufur secara terang-terangan. Terdapat banyak ayat Alquran yang menyatakan demikian, seperti QS. Al-Nisa ayat 59. Begitu pula hadis Nabi, “Dengar dan taatilah seorang pemimpin, meski ia adalah seorang habashi yang kepalanya bagai dompol anggur.”

Ditilik dari aspek legal (fiqh), tentu saja banyak hal yang tidak dipenuhi oleh ISIS dalam mendirikan khilafah, misalnya adalah harus adanya keputusan ahl al-halli wa al-‘aqdi dan kesepakatan dari mayoritas umat Islam, Umar RA pernah menyatakan bahwa, seseorang yang mendeklarasikan kepemimpinan dirinya atau orang lain tanpa bermusyawarah dengan kaum muslimin, maka tidak ada jalan lain kecuali memeranginya. Umar tentu saja benar, karena deklarasi khilafah atas umat Islam di seluruh dunia yang dilakukan oleh sebuah kelompok saja hanya akan menimbulkan pertikaian dan chaos.

Seruan ISIS mengenai keharusan umat Islam di seluruh dunia untuk berada di bawah satu kepemimpinan, disertai pemberian ancaman mati bagi penentang seruan tersebut, merupakan pemikiran yang tidak realistis dan ahistoris. Menilik sejarah kekhilafahan Ali, ia tidak sampai mengkafirkan apalagi membunuh sebagian umat Islam yang tidak mau membaiatnya. Bahkan, sejak masa Khulafa’ al-Ra>shidin, Bani Umayyah, dan awal masa Bani Abbasiyah, umat Islam sudah mempunyai kepemimpinan yang beragam, dan terjadi hingga saat ini.

Imam Nawawi memaparkan bahwa, khilafah dalam arti pemerintahan yang membawahi seluruh umat Islam di sedunia, telah dijelaskan oleh Rasulullah, hanya akan bertahan selama tiga puluh tahun setelah beliau wafat. Pemerintahan yang lahir setelah itu hakikatnya adalah kerajaan. Kerajaan yang dimaksud dalam hadis tersebut bermakna kekuasaannya bersifat lokal dan parsial, yang dalam konteks saat ini formasinya dapat berbentuk negara-bangsa.

Ayat Alquran dan hadis yang dikutip oleh ISIS di atas, dan dijadikan dalil wajibnya mendirikan khilafah hanya lah salah satu dari sekian banyak ketidaksesuaian pemahaman teks Alquran dan hadis oleh ISIS dengan metodologi pemahaman nas yang menjadi pedoman mayoritas ulama, seperti dalam hal proses validasi hadis, pertimbangan maqasid al-shari>‘ah, komparasi satu teks Alquran/hadis dengan yang lain, dan mendiskusikan aspek asbab al-wurud, serta aplikasi petunjuk tata bahasa Arab dalam menentukan madlul al-nas. Pemahaman ISIS yang menyeleweng tersebut kerap berlatar belakang politis dan bersifat hipokrit. Retorika tentang arah pemaknaan teks suci agama seringkali menjadi alat klaim untuk memperjuangkan propaganda-propaganda politiknya.

Mayoritas ulama di seluruh dunia, menolak pemahaman teks suci ISIS, karena di samping banyak menggunakan ayat secara parsial, hadis yang daif, bahkan mawdu, dalam hujjah-nya, mereka juga mempunyai kekeliruan metodologis yang fatal, sehingga tidak memiliki akar teologis, ideologis, dan historis yang kuat, sahih dan otoritatif.

*Makalah untuk disampaikan dalam Halaqah Kepesantrenan “Kontribusi Pesantren dalam Meluruskan Paham Radikalisme dan Terorisme di Indonesia”, PP al-Mizan Muhammadiyah Lamongan, 7 April 2018.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru