28.2 C
Jakarta
Array

Khilafah dan Masa Depan Negara Bangsa

Artikel Trending

Khilafah dan Masa Depan Negara Bangsa
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Kelompok Islam konservatif (terutama pejuang khilafah), beberapa tahun belakangan, semakin menguat pengaruhnya di Indonesia. Terhitung sejak rangkaian unjuk rasa, bertajuk “aksi bela islam” 2016 lalu, kelompok Islam konservatif, seperti mendapatkan panggung dalam kehidupan kebangsaan kita.

Mereka yang dulunya bergerak secara terbatas di dalam lingkarannya, sejak fenomena “aksi bela islam”, mulai berani secara terbuka bersuara di hadapan publik. Berbagai isu keislaman yang biasanya disampaikan secara diam-diam, pelan-pelan bergerak menjadi terang-terangan.

Islam konservatif dan Demokrasi

Tentu dalam konteks demokrasi, hal tersebut sangat baik. Sebab demokrasi menghendaki adanya kebebasan berpendapat dan berpikir. Artinya, pandangan keislaman yang konservatif, dalam ruang demokrasi mendapat tempat yang sama dengan pandangan keislaman lain. Tinggal tiap pandangan tersebut diadu rasionalitasnya secara terbuka di hadapan publik. Yang diterima secara umum oleh publik itulah yang nantinya menjadi pemenang dan akan diterapkan menjadi kebijakan.

Konservatisme Islam, sebagai sebuah pandangan, sangat menarik untuk dicermati karena pengaruhnya yang semakin masif belakangan ini. Ia tidak hanya mempengaruhi munculnya fenomena hijrah dari para umat Islam perkotaan, tapi juga mempengaruhi cara pandang masyarakat umum mengenai tatanan sosial politik yang selama ini ada.

HTI Negara Khilafah

Kini, muncul suara-suara yang ingin merubah sistem sosial politik Indonesia dengan sistem Islam (khilafah). Ide ini kita sama-sama tahu, paling sering diteriakan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). HTI menginginkan agar sistem Indonesia dirubah menjadi khilafah. Menurut HTI, Indonesia harus dirubah menjadi negara khilafah karena Indonesia menggunakan sistem demokrasi yang bagi mereka haram.

Mengapa haram? Karena demokrasi menempatkan kedaulatan pada rakyat atau manusia. Padahal harusnya kedaulatan diletakan hanya untuk Allah. Artinya hukum utama yang mengatur kehidupan ialah hukum Allah, bukan hukum manusia hasil produk demokrasi.

Oleh sebab itu, HTI menolak Pancasila sebagai dasar negara karena Pancasila dihasilkan oleh manusia bukan oleh Allah. Berdasar hal tersebutlah, maka pemerintah pada tahun 2017 membubarkan HTI secara organisasi karena dianggap menolak dan ingin mengganti Pancasila sebagai dasar Negara.

Meski secara institusi dibubarkan, pengaruh ide HTI mengenai khilafah masih terus bergaung dalam kehidupan kebangsaan kita terutama kedalam kelompok Islam konservatif. Hal itu bisa dilihat dari tidak sedikitnya percakapan yang terjadi di dunia maya maupun dunia nyata mengenai gagasan ini.

Banyak kalangan mengkhawatirkan bahwa menguatnya suara-suara mengenai khilafah yang digaungkan oleh eks kelompok HTI dan Islam konservatif akan mengancam eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang telah diperjuangkan para pahlawan terdahulu. Kekhawatiran ini wajar mengingat pesatnya perkembangan teknologi informasi yang membuat ide ini menyebar dengan pesat. Apalagi tidak sedikit dari umat Islam yang pemahaman keislamannya tidak mendalam terkait isu-isu seperti khilafah, percaya begitu saja dengan berbagai retorika yang dikemukakan para pendukung khilafah.

Khilafah vs Negara Bangsa

Namun kini, kekhawatiran di atas bisa sedikit diminimalisir. Melalui buku Ulama dan Negara Bangsa: Membaca Masa Depan Islam Politik di Indonesia (2019), terungkap, bahwa terdapat 71,56 persen ulama atau tokoh muslim yang menerima konsep negara-bangsa.

Sementara mereka yang menolak berjumlah 16,44 persen dan sisanya tidak teridentifikasi. Artinya mayoritas ulama setuju terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45), juga demokrasi sebagai sistem terbaik di Indonesia. Sementara pendukung khilafah tak seberapa (kecil).

Hal tersebut menjadi kabar baik untuk kita semua. Bila para ulama secara umum menerima negara bangsa, kemungkinan untuk merubah Indonesia menjadi negara Islam akan semakin kecil. Di Indonesia, ulama menduduki posisi sentral dalam urusan keagamaan.

Masyarakat luas sebagian besar menggantungkan pendapat dan sikapnya pada otoritas ulama dalam berbagai urusan. Dalam konteks kenegaraan, jika para ulama secara umum menerima negara bangsa, dalam tingkat tertentu masyarakat pun akan ikut pula menerima hal tersebut. Oleh karena itu hasil penelitian yang terdapat dalam buku Ulama dan Negara Bangsa: Membaca Masa Depan Islam Politik di Indonesia menjadi angin segar bagi para pihak yang khawatir dengan eksistensi NKRI di masa depan. Dan menjadi semacam ancaman besar bagi pendukung khilafah.

Kecenderungan penerimaan maupun penolakan para ulama terhadap negara bangsa, dalam buku ini disebutkan, diiukur melalui penerimaan terhadap empat indikator, berupa: dimensi pro-sistem, anti kekerasan, pro-kewargaan, dan toleransi.

Dari suvei yang dilakukan ditemukan penerimaan yang sangat tinggi ada pada dimensi anti-kekerasan (penerimaan 92,89 persen; penolakan 7,11 persen) dan pro-sistem (penerimaan 90,22 persen; penolakan 9,78 persen). Sedangkan penerimaan dalam dua dimensi yang lain terbilang lebih rendah, yaitu dimensi toleransi (penerimaan 76,44 persen; penolakan 23,56 persen) dan dimensi pro-kewargaan (penerimaan 69,11 persen; penolakan 30,89 persen) (hlm 29-30).

Buku Ulama dan Negara Bangsa: Membaca Masa Depan Islam Politik di Indonesia merupakan hasil penelitian yang dilakukan Pusat Pengkajian Islam, Demokrasi dan Perdamaian (PusPIDeP), Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penelitian yang menggunakan metode survei ini dilaksanakan di kota-kota yang dipilih berdasarkan tiga kategori: kategori kota metropolitan di mana kultur urban muslim sangat kuat (Jakarta, Medan, Bandung, Makassar dan Surakarta); Kota dengan dominasi populasi ulama (dan tradisi Islam) arus utama yang cukup besar (NU dan Muhammadiyah), yaitu Banda Aceh, Padang, Palangkaraya, Surabaya dan Banjarmasin); Terakhir, kota dengan isu minoritas yang khas (Pontianak, Denpasar, Manado, Kupang dan Ambon) (hlm 18). Dari sini terlihat bahwa penelitian ini dilakukan secara menyeluruh di hampir seluruh Indonesia.

Ulama dan Wacana Keislaman

Dalam buku ini terungkap, bahwa dari 71,56 persen ulama yang menerima dan 16,44 persen yang menolak, terdapat karakteristik yang tidak seragam. Hasil survei memperlihatkan ulama di Indonesia yang terbesar berkarakter moderat (34 persen) dan inklusif (23,33 persen). Sementara mereka yang berkarakter konservatif 9,33 persen dan eksklusif 9,79 persen. Sisanya, kelompok ulama yang berkarakter progresif berjumlah 4,89 persen; mereka yang radikal berjumlah 4 persen, dan yang ekstrem hanya 2,67 persen (hlm 33).

Data ini menjadi penting untuk melihat pengaruh para ulama dalam berbagai wacana keislaman yang berkembang. Karena perbedaan karakteristik inilah yang menentukan sikap para ulama atas satu isu tertentu. Artinya bisa saja para ulama secara umum menerima negara bangsa, bukan khilafah, tapi belum tentu dalam isu yang lain mereka menerima.

Apa yang dipaparkan dalam buku ini dapat menjadi semacam jawaban atas berbagai glorifikasi para pendukung khilafah, yang dalam banyak kesempatan mengatakan, bahwa umat Islam Indonesia mengkhendaki berdirinya khilafah.

Dari survei yang termuat dalam buku ini terlihat jelas, kalau ternyata para ulama yang merupakan tokoh pemimpin umat, sebagian besar justru menerima negara bangsa sebagai bentuk negara. Artinya Pancasila, UUD 45, beserta demokrasi menjadi kesepakatan umum para ulama terhadap Indonesia.

Dari sini kita bisa sedikit lega, bahwa setidaknya ada sedikit jaminan kalau ke depannya eksistensi NKRI tidak akan berubah. Tinggal kita waspada akan berbagai kemungkinan yang dapat terjadi di masa mendatang.

Kendati demikian, apa yang terdapat dalam buku ini menjadi sumbangan penting dalam konstelasi wacana keislaman yang hari ini berkembang. Dengan hadirnya buku ini, ke depan, wacana ke islaman—khususnya dalam ruang politik—sepertinya akan lebih bergerak kepada berbagai isu yang lebih substansial, seperti kemiskinan, kerusakan lingkungan, nuklir, atau teknologi informasi. Isu mengenai khilafah pasti akan tetap ada, tapi suaranya mungkin akan kalah dengan berbagai isu lain yang jauh lebih penting.

 

Identitas Buku

Judul         : Ulama dan Negara Bangsa: Membaca Masa Depan Islam Politik di Indonesia

Penulis     : Noorhaidi Hasan, dkk.

Penerbit  : Pusat Pengkajian Islam, Demokrasi, dan Perdamaian (PusPIDeP) dan Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga

Cetakan   : I, Juni, 2019

Tebal        : xxxiv,+272 halaman

[zombify_post]

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru