29.7 C
Jakarta

Khazanah Tafsir al-Quran di Tanah Bugis yang Tidak Boleh Diremehkan

Artikel Trending

Asas-asas IslamTafsirKhazanah Tafsir al-Quran di Tanah Bugis yang Tidak Boleh Diremehkan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

To Ugi atau orang Bugis bukan lagi terbatas kepada mereka yang hidup di bahagian selatan Sulawesi, seperti Bone, Soppeng, Wajo dan Sidrap. Kini, hampir semua provinsi di Indonesia didiami oleh suku Bugis yang terkenal sebagai pelaut yang menjaga lautan Nusantara dahulu dan bukan lanun (bajak laut) sepertimana yang dituduhkan oleh sebagian orang yang tidak mengetahui sejarah kepahlawanan orang Bugis yang sebenar. Bukan hanya di kepulauan Indonesia, tetapi etnik tanah Bugis (berketurunan darah Bugis) juga banyak di dapati di Malaysia dan Singapura. Berdasarkan sensus penduduk Indonesia tahun 2000, populasi orang Bugis diperkirakan sebanyak enam juta jiwa.

Penulis teringat ketika masih mondok mangaji ttudang (belajar di pondok pesantren) di Darud Dakwah Wal Irsyad (DDI) Pattojo, Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan. Di pondok inilah kami dibekali pelbagai ilmu keislaman yang garis besarnya terdiri daripada akidah, tafsir, hadis dan ilmu-ilmu alat seperti bahasa Arab, ilmu Arudh, faraidh dan ilmu mantik. Masih teringat, tafsri Al-Jalalain (تفسير الجلالين) yang berulang-ulang dibaca setiap kali tafsir ini telah ditamatkan. Seprti itulah metode pengajaran kitab gondolo (kitab kuning, kitab turath) diajarkan di Pesantren ini. Selain kitab tafsir ini, kita juga belajar kitab-kitab lain seperti Bulughul Maram (بلوغ المرام), Al-Ajurumiyah (الآجرومية)  dan masih banyak lagi kitab lain. Semua kitab turath ini hanya diajarkan oleh Anregurutta Haji Muhammad Arsyad Lannu yang dikenal dengan Gurutta Masse (w. 2011) dan dibantu oleh Anregurutta Haji Muhammad Ghalib. Mereka di mata penulis adalah ulama-ulama yang mempunyai multi talenta keilmuan dalam bidang pengajian Islam.

Dalam ingatan penulis juga, Anregurutta Masse telah menerjemahkan Matan Mawlid Nabi yang dikenal sebagai Mawlid Al-Barazanji, karya Syeikh Ja’far bin Ismail Al-Barazanji (w. 1899) ke dalam bahasa Bugis dengan tulisan tangan sendiri. Majoriti ulama klasik seperti mereka tidak pernah ke luar belajar di tanah Arab. Walaupun demikian, penguasaan ilmu mereka tidak diragukan lagi. Mereka berguru dari seorang ulama yang berketurunan Bugis yang lahir di Mekah, Anregurutta H Muhammad As’ad (1907-1952) yang kembali ke tanah Bugis pada tahun 1928 M. Murid-murid hasil didikan beliau kemudian membentuk jaringan ulama di Sulawesi Selatan abad ke 20. Di sinilah bermula benih tafsir Al-Quran tumbuh di Tanah Bugis.

Munculnya Berbagai Macam Tafsir di Tanah Bugis

Menurut Muhsin dalam kajiannya (2015), semenjak awal abad 20 inilah bermunculan sejumlah karya terjemahan dan tafsir Alquran dalam bahasa Bugis. Di antaranya adalah:

  • Tafsir Juz Amma (juz ke-30 Al-Quran) oleh Anregurutta H. Muhammad As’ad (1907-1952), pendiri pesantren As’adiyah. Tafsir ini berjudul Tafsir Surah ‘Amma bil Lugah al-Bugisiyah. 
  • Tafsir al-Qur’an al-Karim bi Qalam al-Haj Muhammad Yunus Martan dan Tafsere Akorang Bettuan Bicara Ogi Buah Kallanna Hajji Muhammad Yunus Martan yang ditulis oleh murid beliau, Anregurutta H. Muhammad Yunus Martan (1914-1986).
  • Tafsir  al-Quran al-Hakim bi Qalam Hajji Abdul Kadir Khalidiatau Tafserene Akorang Malebbi’e Mabasa Ugi Ukina Hajji Abdul Kadir yang ditulis oleh Anregurutta H. Abdul Qadir Khalid (1920-1994), pendiri Ma’had Dirasatil Islamiyah wal Arabiyah (MDIA) di Makassar.
  • Tafsir Al-Qur’an al-Karim bil Lughah al-Bugisiyah yang ditulis oleh Anregurutta H. Muhammad Abduh Pabbaja (1918-2009), pendiri pesantren di Pare-Pare. Tafsir ini merangkumi enam surah-surah pendek: Al-Fatihah, An-Nas, Al-Falaq, Al-Ikhlas, Al-Lahab, dan An-Nasr. Pada tahun 1979, beliau juga menerbitkan dua karya tafsir dalam bahasa Bugis, yaitu Tafsir Surah al-Ahqaf dan Tafsir Surah Muhammad.
  • Tafsir Munir30 Juz dalam bahasa Bugis yang ditulis oleh Anregurutta H. Daud Ismail (1908-2006), pendiri pesantren YASRIB di Soppeng. Dalam proses penulisan tafsir ini, AG. H. Daud Ismail harus menafsirkan lebih awal juz Amma untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Setelah itu, beliau menyelesaikan sampai 30 juz selama 14 tahun dari 1980-1994.
  • Tafsir Akorang Bahasa Ogi yang ditulis oleh Anregurutta H. Abdul Muin Yusuf, pendiri pesantren Al-Urwatul Wutsqa di Sidrap .
BACA JUGA  Tafsir Ayat Perang: Melihat Konteks Qs. al-Taubah [9]: 29 dalam Tafsir Buya Hamka

Khazanah Tafsir di Bugis

Pada pandangan penulis, Ulama-Ulama tafsir dari Tanah Bugis ini sangat peka erhadap tuntutan masyarakat yang haus kepada tafsir Al-Quran. Mereka pada peringkat awal menafsirkan surah-surah pendek dalam juz Amma (juz ke-30 Al-Quran) mengikut keperluan masyarakat yang sangat mendesak ketika itu. Kemudian, majoriti masyarakat awam menghafal sebagian surah-surah pendek dalam Juz Amma, jika mereka tidak menghafal keseluruhan juz Amma. Inilah kelebihan pentafsir Bugis yang hidup berbaur dengan masyarakat setempat. Mereka tahu kebutuhan masyarakat dan prioritas tafsir digarap berdasarkan keperluan tersebut. Oleh itu, ketika tafsir mereka ini sudah terbit, masyarakat langsung menyambutnya dengan penuh gembira dan rasa syukur.

Pada pandangan penulis, khazanah tafsir di Tanah Bugis ini kurang mendapatkan perhatian. Kita harus ingat bahwa mereka menulis tafsir dengan bahasa Bugis karena mengikut kepada keperluan masyarakat Bugis ketika itu. Ini tidak berarti bahwa mereka tidak dapat menulis dalam bahasa Indonesia. Kemudian, pengalaman penulis sendiri ketika mondok di DDI Pattojo, terkadang bahasa kitab Gondolo (turath) sangat sesuai jika diartikan dengan menggunakan bahasa Bugis ketimbang bahasa Indonesia. Tafsir pun seperti itu, mungkin Anreguruta yang menafsirkan Al-Quran merasa lebih leluasa mengungkapkan makna-makna tafsir dengan menggunakan bahasa Bugis berbanding bahasa Indonesia.

Berdasarkan uraiana di atas, khazanah tafsir perlu ditulis semula ke dalam bahasa Indonesia supaya dapat dibaca dan dikaji secara meluas. Penulis percaya bahwa falsafah Tanah Bugis dan sentuhan budi bahasa Bugis yang lembut telah berbaur dalam tafsir Al-Quran dan keistimewaan seperti ini tidak akan ditemukan dalam kitab tafsir mana pun. Kini, tiba masa untuk menggali semula khazanah tafsir tanah Bugis dengan mengkaji metodologi pentafsiran mereka supaya sumbagan mereka terhdap Al-Quran ini turut dicatat dalam sejarah dunia tafsir Al-Quran dan dapat dirasakan oleh orang awam dan penggiat tafsir khususnya.

Dr. Muhammad Widus Sempo, Dosen Senior (Senior Lecturer) Fakulti Pengajian Quran dan Sunnah, Universiti Sains Islam Malaysia (USIM).

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru