27.7 C
Jakarta
spot_img

Khatib dan Khotbah Semi-Radikal; Bagaimana Kita Memahaminya?

Artikel Trending

Milenial IslamKhatib dan Khotbah Semi-Radikal; Bagaimana Kita Memahaminya?
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Matahari Jumat siang tadi menyengat dengan lembut, saat saya melangkah, memasuki halaman sebuah masjid di Ciputat. Suasananya seperti biasa: jemaah berduyun-duyun, beberapa mencari tempat teduh di bawah pohon, sementara yang lain sibuk meluruskan saf di dalam. Tidak ada yang istimewa—hanya rutinitas mingguan semata. Saat azan pertama berkumandang, hati saya merasa tenang. Tidak ada firasat apa pun bahwa khotbah tadi siang akan menggugah perasaan dan pikiran.

Khatib naik ke mimbar dengan percaya diri. Wajahnya tampak biasa saja—tenang, mungkin sedikit dingin. Setelah muazin selesai azan kedua, khatib memulai dengan kalimat pembuka yang standar: memuji Allah, selawat kepada Nabi Saw, dan wasiat ketakwaan. Namun, semakin lama ia berkhotbah, topiknya mulai bergeser ke arah yang tak terduga.

Saudara-saudaraku,” katanya dengan suara yang lantang, “tidak lama lagi, kemenangan Islam akan datang. Tidakkah kita merasa harapan itu semakin dekat? Tidakkah kita melihat tanda-tanda bahwa umat Islam akan kembali berjaya seperti di masa lalu?

Awalnya, saya mendengarkan biasa saja, mengira itu bagian dari motivasi spiritual yang memang kerap jadi isi khotbah. Tapi perlahan, saya mulai merasa ada sesuatu yang berbeda. Ia mulai membahas kemenangan HTS di Suriah sebagai contoh nyata kebangkitan-kemenangan Islam. Dengan nada yang semakin berapi-api, ia menyebut negara Islam sebagai impian bersama, solusi agar Islam tidak lagi tertindas seperti yang dialami rakyat Palestina.

Di tengah khotbah, hati saya mulai resah. “Apakah ini masih dalam batas khotbah yang murni?,” pikir saya. Nada khotbahnya terasa seperti membawa pesan-pesan yang terlampau jauh. Saya melirik beberapa jemaah di sekitar saya. Beberapa tampak mengangguk-angguk setuju, sementara yang lain terlihat biasa saja, mungkin sama seperti saya, tidak menyangka khotbah akan sejauh ini. Sebaiknya tidur!

Khatib melanjutkan, “Kita harus bersiap! Jangan biarkan musuh-musuh Islam terus menekan kita. Kita punya tanggung jawab besar untuk mendukung jihad, baik dengan harta maupun dengan doa.” Khatib tampak memosisikan perjuangan HTS sebagai sesuatu yang mesti didukung umat Muslim di Indonesia, kendati tak secara langsung menyerukan tindakan tertentu. Namun, pesan implisitnya jelas: membangun narasi jihad global Islam yang mirip sepak terjang kelompok radikal.

Setelah shalat Jumat usai, saya berjalan keluar dengan perasaan campur-aduk. Saya tak bisa langsung pulang. Saya duduk di bawah pohon di halaman masjid, mencoba mencerna apa yang baru saja saya dengar. Seorang jemaah tua, mungkin usia 50-an, yang duduk di sebelah saya berkata, “Khotbah tadi bagus, ya? Mengingatkan kita tentang kejayaan Islam.” Saya hanya tersenyum tipis. Hati berkecamuk, “Memang khotbahnya bagus? Atau kita justru tengah digiring menuju radikalisme?

Tidak mudah untuk langsung memberi label pada khotbah itu. Bagi sebagian orang, boleh jadi itu hanya pengingat akan pentingnya persatuan umat. Tapi bagi sebagian lainnya, termasuk saya, isinya tampak semi-radikal. Saat berjalan pulang, saya pun terus merenungkan peran khotbah Jumat sebagai media komunikasi mingguan umat Muslim. Seberapa jauh batasan khatib menyampaikan pesan-pesan ideologis? Bukankah masjid itu tempat yang menyatukan, bukan memecah?

Saya tak tahu apakah khatib tadi sadar dampak khotbahnya. Namun yang jelas, jika tidak dicerna dengan bijak, itu bisa menjadi bahan bakar radikal menuju ekstremisme. Di situlah, kita mesti selalu menganalisis, memfiltrasi, dan memastikan pesan-pesan yang khatib sampaikan sejalan ajaran wasatiah Islam. Sebagai umat, kita juga punya tanggung jawab untuk kritis, bahkan terhadap suara-suara dari mimbar yang agung.

Meluruskan Narasi Khatib

HTS bukanlah kelompok yang muncul tanpa kontroversi. Ia lahir sebagai percabangan faksi jihadisme. Masyhur sebagai faksi pecahan Jabhat al-Nusra, HTS memisahkan diri dari Al-Qaeda untuk menyesuaikan strategi dengan konteks Suriah. Namun, meski berupaya tampil lebih moderat dalam strategi politiknya, HTS tetap mempertahankan pendekatan militeristis (‘asykarī) dan sektarian yang menyisakan banyak pertanyaan etis—ihwal status keradikalan mereka.

Klaim HTS sebagai pembela Islam kerap dibayangi aksi-aksi yang melegasi lebih banyak penderitaan rakyat sipil. Dalam konflik Suriah yang berlarut-larut sejak Arab Spring, HTS justru memperumit upaya rekonsiliasi, bukan menjembatani. Karenanya, narasi tentang kemenangan HTS sebagai representasi kebangkitan Islam perlu dipersoalkan dengan serius. Apakah ia membawa kemaslahatan bagi Muslim secara luas, atau hanya menguntungkan kelompok tertentu saja?

BACA JUGA  Menilik Strategi Kanada dalam Kontra-Terorisme, Bisakah Diterapkan di NKRI?

Sebagai agama keadilan dan kedamaian, Islam sama sekali tak membenarkan cara-cara barbar dalam hal apa pun. Perjuangan Islam—sebagaimana diteladankan Nabi Saw.—selalu menempatkan kemanusiaan sebagai pilar utama, bahkan dalam situasi konflik sekalipun.

Namun, khotbah tadi malah menitikberatkan hal berbeda. Khatib mengorelasikan kemenangan HTS dengan harapan umat untuk memiliki negara Islam yang kuat, yang konon merupakan solusi atas penindasan yang dialami Muslim Palestina dan belahan dunia lainnya. Satu sisi, narasi semacam itu menggugah spirit keberislaman universal. Tapi di sisi lain, narasi tersebut terlalu simplistis. Konflik Timur Tengah, termasuk HTS di Suriah, adalah soal dinamika sosial-politik dan perang proksi.

Saya rasa, sebagai umat Muslim, kita punya tanggung jawab menanggapi narasi semacam itu dengan kepala dingin dan analisis yang matang. Islam tak pernah mengajarkan sektarianisme, apalagi yang bernuansa radikal bagi NKRI. Apa yang terjadi di Suriah boleh jadi merupakan tragedi kemanusiaan, sehingga narasi sempit yang mengglorifikasi HTS justru berpotensi menambah keruwetan dalam memahami konflik Suriah itu sendiri.

Memang, khotbah tadi siang diniatkan untuk membakar semangat umat. Namun, jika ada pihak yang memelintir, ia akan jadi percikan api yang menjerumuskan kita ke dalam radikalisme secara kafah. Pada saat yang sama, esensi perjuangan Islam tidaklah tentang memaksakan kehendak atau menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan, melainkan tentang menegakkan keluhuran dan moderasi demi keadilan dan kemaslahatan universal—melampaui misi ideologis negara Islam.

Saya tidak sedang menuduh khatib dan khotbahnya tadi sebagai kaum radikal. Namun, kita mesti mawas diri hari-hari ini. Kita dituntut untuk moderat sekaligus kritis ihwal isu-isu yang kompleks seperti HTS di Suriah. Jihad sejati kita ialah menghadirkan keadilan dan perdamaian universal. Jika ada khatib yang menjadikan khotbah sebagai sarana diseminasi narasi-narasi radikal, kita mesti speak up. Namun, apakah pelurusan khatib di sini meniscayakan sterilisasi?

Perlukah Sterilisasi Mimbar?

Saya, jujur, agak takut mengusulkan ini. Khawatir dikiranya menggeneralisasi atas satu kasus di masjid Ciputat tadi. Bagaimana pun, saya sadar, mimbar Jumat adalah tempat suci untuk bernasihat: mengingatkan umat ihwal keimanan dan ketakwaan. Tetapi, ketika mimbar telah jadi alat diseminasi narasi yang bias radikalisme, provokatif, atau bahkan melegasi eksklusivisme pada umat, muncul pertanyaan di benak saya: apakah sterilisasi khotbah bisa jadi solusi?

Sterilisasi mimbar, dalam konteks ini, tak berarti membungkam kebebasan atau kreativitas para khatib dalam khotbah. Ia justru bertujuan memastikan bahwa suatu khotbah tetap berada dalam koridor moderasi: selaras dengan ajaran Islam wasatiah di satu sisi dan tidak merongrong spirit kebangsaan di sisi lainnya. Sebab, kita, sebagai umat, itu butuh pesan khotbah yang mencerahkan, bukan yang memperkeruh suasana dengan narasi yang semi-radikal.

Namun, strategi sterilisasinya mesti bijak. Tak semua narasi kritis dapat disimplifikasi sebagai radikalisme. Ada, memang, khatib yang murni berniat membangkitkan kesadaran umat terhadap ketidakadilan global, meskipun cara penyampaiannya terkesan emosional atau kontroversial. Karena itu, alih-alih membungkam, pendekatan yang pas ialah edukasi terhadap para khatib tentang pentingnya menjaga keseimbangan spirit berkhotbah dan substansi khotbah itu sendiri.

Di sinilah peran institusi keagamaan dan pemerintah menemukan perannya. MUI, misalnya, atau ormas NU, Muhammadiyah, dan lainnya, perlu aktif memberi panduan tema-tema khotbah yang relevan dengan kebutuhan umat. Mereka juga perlu memberi pelatihan kepada para khatib agar cara penyampaiannya menggugah sekaligus menyejukkan; tak timpang sebelah. Bahkan, kalau memungkinkan, umat juga perlu diedukasi tentang materi khotbah yang hak dan yang batil.

Sampai sini jelas, bahwa apa yang saya maksud dengan sterilisasi mimbar tidak tentang menciptakan kontrol berlebihan hingga membungkam kreativitas dan keberanian para khatib menyuarakan kebenaran. Sterilisasi adalah hal-ihwal memastikan mimbar tetap jadi tempat menyuarakan pesan-pesan takarub kepada Allah dan wasatiah Islam di tengah masyarakat. Mau tentang HTS atau apa pun, jihad sejati khatib adalah mengkhotbahkan perdamaian universal lewat mimbar-mimbarnya.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru