30.1 C
Jakarta

Khalifah Itu Keniscayaan, Khilafah Itu Kemustahilan

Artikel Trending

Khalifah Itu Keniscayaan, Khilafah Itu Kemustahilan
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Yogyakarta. Seminar dengan tema “Khilafah Adalah Sebuah Kekhilafan” berbarengan dengan Pembubaran Ormas HTI oleh pemerintah Republik Indonesia. HTI selalu mengkampanyekan gagasan Khilafah di NKRI yang menganut sistem demokrasi. Ini merupakan penyelundupan dalam demokrasi.

“Ini yang disebut sebagai penyelundupan dalam demokrasi. Jadi mereka penyelundup,” ungkap dosen Fakultas Hukum Monash University Australia Nadirsyah Hosen, yang juga Rais Syuriah NU Pengurus Cabang Istimewa Australia, pada seminar kebangsaan bertajuk Khilafah Adalah Sebuah Kekhilafan: Dengan Semangat Nasionalisme Kita Perkukuh Persatuan Indonesia sebagai Negara yang Bersasaskan Pancasila, di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, kemarin.

Nadirsyah Hosen kemudian menjelaskan secara gamblang bahwa di dalam kitab kuning ketika berbicara tentang khalifah, yang dimaksud adalah kewajiban mengangkat sosok pemimpin, bukan sistem khilafah. Jika yang dimaksudkan khalifah (pemimpin) sebagai sosok, adalah sebuah keniscayaan bahwa harus ada harus ada pemimpin setelah yang sebelumnya mengakhiri masa jabatan (Ibnu Khaldun, Muqaddimah).

Oleh karena itu sekarang kita sudah punya pemimpin, Presiden Joko Widodo namanya. Intinya sederhana, sebuah kepemimpinan itu mutlak ada. Tapi bagaimana cara dia dipilih dan bagaimana pertanggung jawabannya (bagaimana kekuasaannya, berapa lama ia berkuasa), Rasulullah tidak membicarakan secara detail mengenai hal ini karena tidak ada sistem yang beliau tinggalkan. Semua sistem khalifah mulai dari Rasululllah, Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan sampai Hasan bin Ali, semua sistemnya berbeda.

Lantas politik Islam seperti apa yang mau kita lariskan ketika khalifah kedua, ketiga, dan keempat terbunuh? Perlu diingat bahwa pada masa Khulafa Rasyidin belum ada yang masa jabatan, dan inilah yang menjadi salah satu pemicu pemberontakan/pembunuhan (Utsman bin Affan)—pembatasan masa jabatan sendiri dimulai oleh Amerika pada 2006. Sepeninggal Utsman, Imam Ali diangkat menjadi khalifah ketika Islam sudah tersebar luas. Ia diangkat dengan segera di tengah negara yang sedang kacau, lima hari lamanya kota suci Madinah tergenang darah.

Sementara di Damaskus, Muawiyah yang sudah 20 tahun menjadi gubernur merasa ditikung karena tidak diajak rembug menentukan pimpinan, ia merasa cemburu dan tidak terwakili sebagai rakyat. Problem muncul, siapa yang mewakili suara umat? (Jika pada zaman Umar bin Khattab, sudah ada panitia 6 yang merumuskan khalifah selanjutnya). Pengangkatan tersebut terjadi ketika Siti Aisyah sedang umrah di Makkah. Ia mendengar kabar Utsman terbunuh. Di tengah perjalanan pulang ia bertemu rombongan, ada berita apa? Ali sudah kami baiat, kata rombongan tersebut. Ia tidak setuju, lantas ke Makkah mengumpulkan kekuatan. Kemudian terjadilah perang Jamal di Bashrah, tidak kurang dari 18.000 sahabat gugur dalam perang saudara pertama ini. Perang baru berakhir setelah kaki-kaki unta itu ditebas dengan pedang kemudian Siti Aisyah dipulangkan ke Madinah.

Pemberontak-pemberontak dari Mesir yang masuk ke Madinah dan membunuh Utsman yang sedang membaca Quran telah mencemarkan nama baik Madinah sebagai kota suci. Atas dasar itu Ali memindahkan ibu kota dari Madinah ke Kufah, agar terpisah antara urusan agama dan urusan negara. Di ujung selatan, Muawiyah telah selesai menyusun kekuatan untuk merebut kekuasaan dengan dalih gugatan pembunuhan Utsman yang tak kunjung diselesaikan. Terjadilah perang Shiffin hingga peristiwa tahkim yang akhirnya memunculkan istilah khawarij dan syi’ah. Pada suatu shubuh, Ali ditusuk dari belakang dan dua hari kemudian meninggal.

Selanjutnya Hasan dibaiat menjadi pimpinan karena memang kapabilitasnya (bukan karena ditunjuk Ali), Muawiyah lagi-lagi cemburu dan sama sekali tidak setuju. Untuk menghindari pertikaian Hasan mengundurkan diri, menjadi orang biasa dan berpindah ke Madinah. Namun kemudian Hasan meninggal diracun istrinya. Ada desas-desus kalau istri Hasan diiming-imingi Yazid bin Muawiyah agar mau meracun Hasan. Karena sebelumnya Muawiyah memiliki kesepakatan dengan Hasan jikalau dia meninggal, kekuasaan akan diberikan Hasan. Tapi karena Hasan meninggal terlebih dulu, ceritanya akan berbeda. Intinya, sistem kenegaraan belum ketemu.

Muawiyah juga datang ke Madinah menemui Abdurrahman bin Abu Bakar. Ia mengatakan kalau pemilihan Yazid adalah sunnah berdasarkan cara Nabi menunjuk Abu Bakar sebagai khalifah penggantinya. Pendapatnya ditentang Abdurrahman, bahwa Abu Bakar tidak memilih dirinya sebagai khalifah. Jawaban yang serupa dikemukakan Abdullah bin Umar ketika Muawiyah membujuknya. Kemudian karena otoritas Muawiyah, Yazidlah yang berkuasa. Dari sini, berdirilah sistem kerajaan Umayyah lalu Abbasiyah. Dimana yang menjadi raja (khalifah) adalah kerabat-kerabat kerajaan, bukan orang-orang yang punya kapasitas dan kapabilitas. Kebobrokan moral banyak terjadi, keluarga kerajaan yang termabuk kemewahan semakin lupa daratan, at-Thabari banyak mencatat hal ini dalam tulisannya. Pada masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah juga tercatat banyak sekali politisasi ayat. Sebagai contoh, Bani Umayyah mengklaim bahwa kerajaannya adalah kerajaan 1000 bulan. Tak mau kalah, Bani Abbasiyah mengklaim kekuasaannya adalah lailatul qadr yang melebihi malam seribu bulan.

Menanggapi sistem pemerintahan seperti itu, mulailah muncul para ulama yang menyusun konsep kepemimpinan dengan model baiat. Tersebutlah Imam Juwaini, Imam Ghazali, dan Imam Mawardi, yang menjelaskan konsep ini.
Kemudian tercetuslah pengembangan sistem kenegaraan menggunakan sistem wazir, yang diijtihadkan para ulama berdasarkan beberapa hadits Nabi. Berbeda dengan Ahkam Sulthaniyah Imam Mawardi, Siyasah Syar’iah Abd Wahab Khalaf bahkan sudah jelas membagi pemerintahan dalam trias politika.

Syekh Taqiyyudin Al-Nabhani dalam benang sejarah juga memiliki konsep sendiri tentang pemerintahan, hasil dari men-teori-kan sejarah ke belakang. Satu poin, sejarah bukan sumber hukum Islam, tapi kita memiliki tarikh tasyri’ (utamanya Al-Thabari) yang menjelaskan refleksi dari sejarah-sejarah yang pernah terjadi. Masalahnya HTI memposisikan pandangan Al-Nabhani menjadi satu-satunya konsep yang benar. Padahal bangunan-bangunan sistem ini disusun melalui sejarah, karenanya bukan merupakan sistem yang baku.

Oleh karena itu jika ada yang menganggap bahwa sistem khilafah adalah sebuah keharusan, itulah kekhilafan. Tapi jika yang dimaksud khilafah adalah kehadiran sosok pemimpin, sementara sistemnya merupakan ijtihad bangsa Indonesia, demikian sah-sah saja.

Demokrasi sebagai sebuah sistem bisa melahirkan pemimpin yang buruk, khilafah pun demikian. Bedanya, kawan-kawan sebelah menganggap jika sistem khilafah sudah mutlak benar karena sesuai agama dan menjadi solusi utama dan satu-satunya.

Sistem demokrasi sama halnya dengan sistem kenegaraan lain yang tidak memiliki kemutlakan. Nyatanya demokrasi pancasila berbeda dengan demokrasi yang diterapkan di Amerika maupun negara lainnya. Demokrasi yang dianut Indonesia sangat memungkinkan bagi semua pihak untuk menyampaikan aspirasinya, akan tetapi juga membuka diri bagi mereka yang ingin merusak demokrasi. Perusakan seperti ini yang disebut penyelundupan demokrasi yang ntuk mewaspadainya, semua pihak perlu memegang teguh kalimatun sawa (Bhinneka Tunggal Ika). []

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru