27.1 C
Jakarta
Array

Khairuddin Pasya al-Tūnisī (2)

Artikel Trending

Khairuddin Pasya al-Tūnisī (2)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Khairuddin Pasya al-Tūnisī (2)

Oleh: Prof. Dr. Muhammad Machasin, MA*
Salah satu hal penting yang dilakukan dalam usaha untuk memperbaiki keadaan Tunis adalah penerapan Trias Politika dalam penyelenggaraan negara. Khairuddin al-Tūnisī, sebagaimana ditulisnya dalam karyanya yang akan dibahas pada tulisan yang akan datang, meyakini bahwa kekuasaan yang tak terbatas cenderung untuk disalahgunakan. Walaupun ada penguasa mutlak yang berbuat untuk kebaikan negara dan rakyatnya. Akan tetapi itu jarang sekali terjadi dan karenanya tidak dapat dipegangi sebagai aturan. Adanya penguasa politik itu penting bagi kelangsungan ras manusia, katanya, namun ia tidak boleh dibiarkan berbuata sesuai dh kemauannya, melainkan mesti dibatasi. Batas itu bisa jadi Aturan Langit (Syarʻ samāwī) atau politik yang rasional (siyasah maqūlah).
Karena itulah, ketika Turki Usmani melakukan mengambil kebijakan Tanzimat, Khairudin terlihat penuh dalam penyusunan Konstitusi Tunisia (قانون الدولة التونسية), konstitusi pertama di dunia Islam. Ahmad Amin dalam bukunya, Zuʻamā’ al-Iṣlāḥ fī al-‘Aṣr al-Ḥadīts (Tokoh-tokoh Pembaharu di Masa Modern), menyebutnya sebagai akal yang berada di balik lahirnya konstitusi ini. Akan tetapi harus diingat bahwa konstitusi ini tidak lahir dalam kekosongan, melainkan didahului kegagalan pemerintahan Tunisia dalam menyelenggarakan pemerintahan yang melindungi kepentingan rakyatnya. Kegagalan ini terutama karena pemimpin utamanya, Bey (Gubernur), dan Perdana Menterinya (Khaznadar) banyak menghamburkan uang negara untuk kepentingan pribadi mereka. Selain itu ada kekuatan Barat yang berusaha untuk menguasai Tunis guna memperlemah Turki Usmani.
Karena tekanan Perancis dan Inggris serta desakan para pendukung reformasi, Bey Muhammad al-Ṣādiq setuju untuk menandatangani Pakta Jaminan Keamanan yang menjamin keamanan semua penduduk Tunis—tanpa melihat agama, bahasa, warna kulit dan kewarganegaraannya—pada tanggal 9 September 1857. Tekanan ini terjadi karena peristiwa pelecehan agama Islam yang menyangkut seorang Yahudi bernama Samuel “Batto” Sfez, sopir kereta pemuka agama Yahudi Nassim Shamama. Karena kelalaiannya, kereta yang dikendarainya menabrak orang dan dalam keributan yang terjadi setelah itu Batto mencaci maki orang Islam dengan menjelek-jelekkan agama Islam. Ia pun lalu diadili di pengadilan Syari’ah dan pada 24 Juni 1857 dijatuhi hukuman mati yang dilaksanakan pada hari itu juga. Usaha konsul Prancis dan Inggris untuk menunda pelaksanaan hukuman tidak berhasil, dan terpidana tetap dipancung.
Pakta Fundamental atau ‘Ahd al-Aman ini—yang kemudian ditahbiskan menjadi tanda kebangkitan bangsa Tunis, ṣaḥwah syaʻb atau l’Eveil d’une nation—menjadi bagian utama dari Konstitusi Tunis yang diluncurkan kemudian pada tanggal 21 Januari 1861. Di antara isinya, selain yang telah disebut di atas:
Setiap penduduk wajib membayar kewajibannya kepada pemerintah secara proporsional. (pasal 2)
Setiap penduduk sama haknya dalam memperoleh perlakukan yang adil atas dasar kemanusiaan; keadilan di atas bumi adalah keseimbangan yang menjamin hak dari yang batil dan yang lemah dari yang kuat. (pasal 3)
Setiap pendatang yang ingin tinggal di negeri ini bebas untuk bekerja apa saja dan menjalani profesi apa pun asalkan mengikuti undang-undang yang berlaku; tidak ada yang distimewakan; kebebasan ini diperoleh setelah kami sepakat dengan pemerintah mereka mengenai cara pelaksanaannya. (pasal 10)
Konstitusi 1861 terdiri dari 13 bab dan 114 pasal, mengatur tentang Keluarga Husein yang berkuasa di Tunis, hak-hak dan kewajiban Kepala Negara, Kabinet, Majelis Tinggi dan Pengadilan; penghasilan dan belanja negara; hak dan kewajiban warga negara; hak dan kewajiban warga negara asing yang tinggal di Tunis. Dalam Konstitusi ini dipisahkan tiga kekuasaan dalam negara: (1) kekuasaan eksekutif di tangan Raja (Bey) dan Perdana Menteri, (2) kekuasaan legislatif berada di tangan Majelis Besar (al-Majlis al-Akbar), dan (3) kekuasaan yudikatif di tangan beberapa peradilan sipil. Konstitusi ini menyatakan bahwa pemerintah bertanggung jawab kepada Majelis Besar dan Raja dapat dimakzulkan manakala melanggar ketentuan Konstitusi. Majelis Besar berfungsi menjaga hak-hak Raja, penduduk dan kerajaan (Bab III, pasal 3).
Khairuddin al-Tūnisi berperan besar dalam pembuatan draf Konstitusi dan diundangkannya. Kemudian ia ditetapkan sebagai Ketua Majlis Besar.
Majelis Besar beranggotakan 60 orang: 20 orang dari kalangan Menteri dan pejabat pemerintahan sipil dan militer, 40 orang dari kalangan pemuka masyarakat. Majelis Besar merupakan pemelihara semua pakta dan undang-undang, penjaga hak-hak semua penduduk, dan penolak terjadinya hal-hal yang bertentangan dengan atau melemahkan pokok undang-undang dan semua hal yang mengakibatkan ketidaksamaan manusia di depan pemerintahan (Bab VII, pasal 1).
Konstitusi yang kelihatan sangat maju pada masanya dalam menjamin hak-hak penduduk dan membatasi kekuasaan pemerintahan ini ternyata tidak berumur panjang dalam pelaksanaannya. Reja dan Perdana Menteri tidak puas dengan pembatasan kekuasaan yang diterapkan kepada mereka dan para ulama tidak puas karena adanya peraturan yang tidak berasal dari Syari’ah. Ketika meletus pemberontakan yang dipimpin oleh Ali bin Gedhahem (علي بن غذاهم) pada tahun 1864, Konstitusi ini tidak diberlakukan lagi, diganti dengan tindakan darurat.

*Penulis adalah Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, tinggal di Yogyakarta

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru